Perkembangan teknologi telah menghantarkan kita semua ke era digital, zaman yang didalamnya meiliki kondisi perkembangan yang begitu pesat sehingga semua kegiatan manusia bisa dilakukakn secara digital. Kecepatan perkembangan ini sendiri tercipta karena adanya tuntutan dan permintaan dari keperluan manusia sendiri untuk melakukan segala sesuatunya dengan praktis namun tetap efisien. Salah satu perbuahan besar yang terjadi di era digital ini adalah adanya alat komunikasi berbasis digital yang jauh lebih efisien dibandingkan dengan komunikasi tradisional.
Komunikasi digital dapat didefinisikan sebagai proses pemindahan pesan atau informasi dari komunikator ke komunikator melalui media digital (Susila, 2023). Komunikasi digital memiliki karakteristik yang jauh lebih berbeda dibandingkan dengan komunikasi tradisional, seperti bagaimana informasi itu disajikan dengan cara yang unik dan memiliki daya tarik yang unggul serta penggunaan waktu yang cepat dan lebih nyaman. Jangkauan yang diberikan juga jauh lebih luas, dimana koresponden dan komunikator dapat saling berbicara atau berkirim pesan dengan jarak jauh. Namun, dibalik kemudahan ini, muncul sebuah permasalahan baru yang timbul akibat ketergantungan pada alat digital atau gadget. Hal ini membuat generasi muda menjadi semakin terjebak di dunia virtual yang mengarah pada hilangnya kontak secara langsung dengan orang sekitar hingga melunturkan rasa empati dan kepedulian antar sesama. Redhana mengungkapkan bahwa media digital tidak hanya mengubah cara komunikasi tetapi juga menciptakan tantangan baru, seperti rendahnya kepercayaan dan empati dalam interaksi online. Keterampilan interpersonal menjadi penting untuk mengatasi tantangan ini (Rifiyanti et al., 2025).
Melakukan komunikasi dengan empati menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakkan oleh setiap orang di masa sekarang. Empati sendiri diperkenalkan pertamakali oleh psikolog asal Jerman bernama Theodore Lipps pada tahun 1880 dengan istilah “einfuhlung” atau juga dengan sebutan “in-feeling” yang diarahkan kepada pengetahuan mengenai cara dalam memperoleh dan menyerap informasi dari orang lain mengenai kebutuhan, pengetahuan, pemahaman serta kondisi afektif yang disimpan didalam memori kolektif baik secara sengaja maupun disengaja (Winangsih et al., 2021).
Melibatkan empati dalam berkomunikasi secara langsung maupun digital merupakan suatu hal yang penting. Bayangkan bagaimana jadinya bila setiap komunikasi itu tidak terdapat empati, tentu saja ini akan menimbulkan suatu kesalahpahaman yang berujung konflik. contohnya saat seseorang sedang memposting suatu unggahan tentang dirinya yang diterima di perguruan tinggi swasta kemudian ada yang menanggapi dengan berkomentar “apa gunanya sekolah tinggi-tinggi?” atau “buat apa kuliah kalau tidak di perguruan tinggi negeri” itu pasti akan sangat menyakitkan dan sama sekali tidak menunjukkan empati untuk orang yang memposting unggahan tersebut.
Dengan adanya internet memungkinkan orang untuk berkomentar bebas, yang kadang tidak mempertimbangkan perasaan orang lain. lalu bagaimana caranya kita menunjukkan empati dalam komunikasi via online? Perlu kita ketahui sebelumnya, bahwa dalam komunikasi online ini banyak keterbatasan yang membuat banyak sekali kesalahpahaman terjadi. salah satu penyebabnya adalah minimnya isyarat nonverbal. Tidak adanya ekspresi wajah, nada suara, atau bahasa tubuh membuat pesan itu menjadi datar hingga mungkin malah justru disalah artikan. padahal memberikan respon non-verbal dalam komunikasi itu besar dampaknya. Hal ini membuat pesan yang disampaikan serasa datar, tidak ada kualitas komunikasi.
Lantas bagaimana cara kita untuk membangun empati itu dalam komunikasi. Berikut merupakan beberapa cara sederhana untuk membangun empati dalam komunikasi digital.
- Perhatikan Pilihan Kata
- Pilihan kata ini sangat penting dan berpengaruh dalam komunikasi digital. usahakan menggunakan kata-kata yang mudah dipahami yang menunjukkan penghargaan dan pengertian terhadap lawan bicara bukan kata yang mengandung makna lain yang dapat disalah artikan terutama dalam teks yang tidak memiliki konteks emosional.
- Gunakan Emoji dan Tanda Baca dengan Bijak
- Jika dalam komunikas digital tidak dapat menunjukkan respon non-verbal, maka kita dapat menggunakan emoji atau tanda baca lainnya sebagai bentuk pengekspresian diri. Emoji atau tanda baca seperti “😊” atau “!” dapat membantu menyampaikan nada positif dan mengurangi risiko salah paham. Namun, pastikan penggunaannya sesuai dengan konteks.
- Dengarkan dengan Aktif dalam Format Digital
- Meski dalam bentuk tulisan, tunjukkan perhatian dengan respons yang relevan dan tepat waktu. Misalnya, “Saya mendengar apa yang kamu sampaikan, dan saya memahami bahwa ini sangat penting bagi kamu.”
- Hindari Multitasking saat Berkomunikasi
- Ketika berinteraksi secara online, fokuslah pada percakapan tersebut. Jangan membalas pesan sembari melakukan hal lain yang dapat mengurangi perhatian kita, karena hal tersebut akan sangat memungkinkan untuk terjadinya salah penafsiran sehingga timbul kesalah pahaman.
- Tunjukkan Empati
- Melalui Tindakan Digital hal tersebut dapat kita lakukan dengan mengirim pesan dukungan ketika seseorang membagikan kabar sedih. menggunakan fitur video call untuk menyampaikan keprihatinan atau ucapan penting, agar lebih personal dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. ini penting karena biasanya banyak orang yang tidak bisa memahami sesuatu bila itu hanya dalam bentuk tulisan saja. serta yang paling terpenting adalah jangan ragu untuk mengakui kesalahan jika terjadi kesalahpahaman. saling menunjukkan empati sehingga menurunkan sifat egoisme yang tinggi.
- Jaga Etika dalam Komunikasi Digital
- Hindari menulis komentar negatif yang menyakitkan atau hate coment, bahkan saat kamu tidak sependapat dengan unggahan tersebut. Sebaiknya hal tersebut disimpan dan bila memang dirasa unggahan tersebut sangat salah, berkomentarlah dengan kata-kata yang baik dan tidak menjelekkan, karena penting bagi kita untuk menunjukkan rasa hormat terhadap pendapat orang lain.
Tentu saja masih banyak cara yang dapat kita lakukakan untuk membangun empati dalam komunikasi digital, namun enam cara diatas merupakan cara yang umum dan cukup efektif untuk digunakan sebagai upaya meminimalisir kesalah pahaman dan beremati saat berkomunikasi di era digital ini.
Di era digital yang serba cepat ini, empati dapat kita artikan sebagai sebuah jembatan yang mampu menyatukan hati dan pikiran antara individu. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui pondasi-pondasi utama sebagai upaya untuk membangun empati dalam komunikasi digital. Mengapa? karena empati dalam komunikasi digital bukan hanya tentang apa yang kita katakan, akan tetapi tentang bagaimana menyampaikan pesan tersebut. Pemilihan kata, penggunaan tanda baca, emoji, ketikan huruf, dan banyak sekali aspek lainnya yang perlu kita perhatikan dalam berkomunikasi secara digital. Kita juga perlu memperhatikan apa saja informasi yang akan kita jadikan unggahan, jangan sampai uggahan tersebut bersifat negative, mengandung unsur SARA, ataupun sebuah informasi hoax. Dengan demikian kita mampu menunjukkan kepekaan, empati, dan kepedulian kita pada orang lain, meskipun terbatas oleh layar dan jaringan.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sebagai bagian dari generasi penerus bangsa mampu membangun empati dalam komunikasi digital? Perlu kita ingat bersama bila Krisis moral yang dialami oleh remaja kita saat ini, bukan hanya menjadi pekerjaan rumah untuk orang tuanya namun pekerjaan rumah yang cukup besar bagi semua komponen masyarakat seperti pihak sekolah, tokoh masyarakat dan agama serta Pemerintah (Winangsih et al., 2021). Jadi mari kita bersama-sama membangun empati dalam setiap komunikasi kita, baik secara langsung maupun berbasis online atau digital.
Cari lebih banyak informasi lain mengenai bimbingan dan konseling di laman berikut: https://bk.fip.unesa.ac.id/