Mohon tunggu...
Resty
Resty Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat fiksi dan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Efek Samping Konstruksi Sosial-Budaya Kita Soal Keperawanan

19 September 2019   15:34 Diperbarui: 14 September 2023   21:08 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: flo.health

Jika kudengar lebih jauh alasan di balik keputusannya untuk masih bersama seseorang yang jelas ia sesali, sering membuatnya menangis, dan juga memanfaatkannya untuk uang, mungkin aku bisa sedikit paham.

Reni berasal dari keluarga sangat terhormat. Kedua orang tuanya adalah guru dan kakaknya adalah kebanggaan kampus, mahasiswa berprestasi. Jika orang tuanya tahu ia melanggar norma, melakukan seks di luar nikah dan di bawah umur pula, ia bahkan tidak berani membayangkan reaksi mereka.

Setiap ia menangis, aku selalu bilang padanya. Pasti suatu saat ia akan mendapatkan laki-laki yang mau menerimanya. Aku mengatakan hal yang sama selama tiga tahun padanya. 

Sekarang saat aku sudah lebih paham akar permasalahan, aku berharap bisa memutar waktu dan memberikannya jawaban lain, jawaban yang lebih memberdayakan. 

Sebab mungkin dengan begitu, Reni masih akan ada di dunia ini, menjadi sahabat terbaik, satu-satunya tempatku berbagi rahasia terdalam. Tapi pemikirannya membuatnya sakit. Sangat sakit. Bukan hanya batin tapi juga fisik. Ia depresi dan jatuh sakit. Pada akhirnya, ia tak mampu bertahan lagi. Pada akhirnya, ia meninggalkan semua orang yang peduli padanya. Untuk selamanya.

***

Kepergian Reni adalah pukulan telak bagiku. Ia satu-satunya teman yang sering berbagi cerita denganku. Berbagi cerita terdalam tanpa takut ia akan menghakimi. Ia membuatku lebih kuat. Dan hal yang paling kusesali ialah aku tak mampu membuatnya kuat sama seperti ia membuatku kuat.

Dunia kuliah banyak mengubah pandanganku. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional mengenalkanku pada banyak perspektif, baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun yang paling mengubah pandanganku mungkin studi gender. Kupikir yang paling menarikku ke studi gender adalah kepedulianku pada tingginya angka kekerasan seksual, terutama kepada perempuan dan anak-anak.

Kupikir, akar permasalahan dalam tingginya kasus kekerasan seksual adalah pandangan masyarakat terhadap tubuh perempuan. Dari kekerasan seksual aku bertemu dengan konsep body autonomy. Body autonomy bagiku bukan terbatas pada masalah aborsi dan euthanasia. 

Lebih jauh, body autonomy menurutku adalah persoalan paling dasar tentang bagaimana perempuan masih mengalami kekangan terkait tubuhnya sendiri, misalnya kekangan tentang cara berpakaian.

Hal ini kemudian terkait dengan victim blaming dalam kasus perkosaan dan pelecehan seksual. Korban dianggap sebagai pendosa utama karena mengundang nafsu dari pelaku. Seolah pelaku berhak dan merupakan suatu kewajaran jika ia melakukan pelecehan pada perempuan yang berpakaian terbuka. Padahal standar tentang pakaian sopan saja sudah sangat variatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun