“ Arini…”
Sepasang mata dengan tatapan kosong menoleh. Pras membawa sepiring nasi beserta gudeg kesukaan istrinya.
Disisinya, Nadia dan Akbar ikut menyemangati.
“ Bunda…” Akbar menimpali kalimat kakaknya.
Arini tahu, harus bangkit. Tidak boleh terkubur dalam rasa sepi dam kehilangan terus menerus. Dua anaknya sudah menjadi tabungan di surga. Berada di puncak keridhaan Allah yang mustahil nisa di raih jika ikhlas terasa begitu jauh.
Pras dan lingkaran hitam disekitar mata yang terus bertambah.
Memandang lelaki bermata tenang itu, Arini tereyak. Dia tidak boleh egois. Kedukaan ini juga menghantui Pras, Nadia, bahkan Akbar.
Tetapi perlu waktu sebelum Arini memulihkan diri sehingga dapat beraktivitas seperti biasa. Bulan bulan pertama kepergian kudua permata hati, Arini merasa lumpuh. Dia kehilangan keinginan melakukan apa pun.
Batinnya penuh pergolakan. Mati matian berupaya memupus habis perasaan menyalahkan setiap teringat hal yang berhubungan dengan kecelakaan. Juga, meski tertatih mencoba berdamai dengan sengatan yang menyebabkan dada nyeri setiap kali mendapati baju baju mungil milik putra putrinya terlipat di lemari. Belum lagi saat merespons Nadia dan Akbar yang lupa bertanya atau mencari cari dimana Putri dan Adam.
Perlu banyak hitungan bulan sampai Arini menemukan tempat berpijak.
Perempuan berjilbab itu berjuang mencari fokus lain,agar tidak berlarut larut dalam kesedihannya. Kadang rasa iri terhadap Pras timbul, menyadari sebagai tulang punggung keluarga, sosoknya tidak selalu berada di rumah.
Di luar sana dengan setumpuk pekerjaan pasti lebih mudah menjadi lupa.
“ Itu tidak adil.”
Bantah Pras saat Arini melontarkannya.
“ Kamu tahu aku selalu membawa kamu dan anak anak dalam hati dan pikiran, ke mana pun aku pergi.”
Sisi perempuannya, jika tak ditahan mungkin akan dengan cepat menimpali jawaban suami dengan sedikit sindiran,
“ Kami ada di mana waktu kamu menikahi Mei Rose?”
Paling tidak dalam hati. Sekarang keinginan demikian sirna bukan karena perempuan rivalnya sudah pergi, tetapi lebih di karenakan Arini terlalu sibuk bersedih.
“ Setiap orang pasti pernah berduka dalam hidup. Perlu waktu sampai mereka bisa melarutkan duka dalam aktivitas lain. Memindahkan fokus,” bisik Pras lembut, “ Lihat Nadia…”
Ya, Arini tahu Nadia melarikan perasaan bersedihnya dalam dongeng. Dengan sengaja dia menambahkan kata ‘ Putri ‘ pada boneka yang mewakili karakter favoritnya, Shabrina. Kemarin dia menelepon Sita minta dibelikan boneka tangan untuk karakter pangeran Adam, selain beberapa DVD kartun. Sahabat bundannya itu memang paling rajin berburu DVD murah.
Sedangkan Pras, mungkin membawakepiluan dengan menghabiskan waktu lebih banyak daripada pekerjaan.
Arini perlahan meraih laptop. Satu satunya cara yang dia pahami untuk menyalurkan berbagai kekusutan hati dan pikiran.
Perasaan, kemampuan berempati merupakan kunci bagi penulis untuk menghidupkan ruh dari deret tokoh yang di garapnya. Sebagaimana keriangan menggerakkan, kesedihan punya kekuatan yang sama.
Berangsur jemari Arini kembali menekan tombol keyboard di laptop. Menikmati ritual lama sambil memandangi daun daun kering dari balik jendela kamar yang terbawa angin sebelum mencium tanah.
Saking tersedot pusaran imajinasi, sering ia lupa makan dan minum. Syukurlah, Mbok di rumah tanggap dan rutin mengingatkan.
Pras bahagia menemukan istrinya kembali menulis. Tahun tahun berlalu tak mengubah kesenangannya melihat dahi Arini berkerut atau bibirnya yang mengerucut saat mentransfer gagasan dari kepala ke laptop.
Dia tidak peduli jika Arini lupa menyiapkan makan siang atau lebih teh panas di pagi hari. Si mbok bisa mnegerjakan semua. Yang terpenting saat ini istrinya bangkit, menemukan semangat untuk berbagi cerita seperti dulu. Menurut Sita sudah banyak pembaca menanyakan kelanjutan buku Istana Bintang.
Konon, menulis bisa menjadi terapi. Sepertinya Arini sedang membuktikan. Mencoba mengobati jiwa yang rapuh setelah dua anak yang Allah titipkan, diminta kembali oleh sang pemiliki sejatinya.
Kehilangan teramat besar yang juga menemukan jiwa Pras. Tetapi sebagai laki laki, dia tumpuan istri dan anak anak.
Menatap Arini yang cahaya matanya meredup, mendorong kesadaran. Pras tahu dia harus lebih cepat menggapai kembali pijakan kekuatan. Allah. Kemana lagi? Mencurahkan tangis ketika beban di pundak tak sanggup lagi dipikul dalam hamparan sajadah hingga terisak isak.
Dia rindu Putri dan Adam. Merasa bersalah karena tak cukup menghabiskan waktu bersama, meskipun memiliki hubungan ayah anak yang akrab. Jika tahu betapa pendek kebersamaan mereka, Pras pasti akan mengiyakan semua ajakan, meladeni seluruh sapa, juga merespon setiap pertanyaan anak anak, betapa pun kadang terkesan remeh.
Sekarang dia kehilangan momen itu selama lamanya.
Parah ayah yang mengalami peristiwa serupa bisa mengerti. Penyesalan yang akan selalu menyertai. Tidak peduli seberapa sering mereka menghabiskan waktu dengan keluarga, tidak akan ada cukup. Apalagi jika sepenuhnya sibuk dengan rutinitas kantor dan lalai mengindahkan anugerah nya.
Arini ibu bagi putra putrinya. Minus AKbar, meski bocah itu sudah begitu lekat dan seolah tidak mengenal sosok bunda selain Arini. Hanya jika ia oulih, Nadia dan Akbar akan kembali riang seperti dulu. Dan ini tugas Pras sebagai suami.
Lagi pula dia pernah memporak porak istana surga mereka. Diantara semua, dialah yang paling bertanggung jawab menegakkan bangunan bahagia itu kembali.
Sulitnya, ujian yang melibatkan Mei Rose sepertinya menjadi bukan apa apa, dibanding kedukaan yang harus ditanggung seorang ibu ketika ditinggak sang dua buah hati.
“ Jika harus memilih, membiarkan kamu berpologami atau berpulang ke hadirat Allah… aku pilih yang pertama.”
Tegas Arini dengan senyum di bibi yang melukiskan ketulusan setengan Pras yang sempat kritis di rumah Sakit kembali ke Istana kaca sebutan tempat tinggal mereka di awal pernikahan dulu.
Tetapi kini keikhlasan yang baru pulih,menemukan tantangan baru.
“ Kamu tahu, Pras… sekarang ini hubunganmu dengan Arini juga di pertaruhkan,” ujar Arman, seperti biasa dengak nada sok tahu.
Hartono yang taidak ubah partai oposisi, kali ini justru mendukung.
“ cukup banyak keluarga , maksudku suami istri yang tidak bisa melewati ujian seperti ini. Kehilangan anak malah membuat mereka saling menyalahkan dan akhirnya bercerai.”
Astagfirullah. Demi apapun, dia tidak ingin kelangan Arini dan surga yang telah mereka bangun selama ini.
Siapa yang salah? Perlukah alasan ketika malaikat maut sampai pada keputusan Rab nya untuk mengambil jiwa yang telat dipilih? Bukankah dia yang tidak pernah salah mencabut nyawa?
Arini sedang sakit,mengalami haid lebih dari biasa dan karenanya tidak bisa menjemput anak anak. Tapi Nadia pulang dengan jemputan sekolah tanpa kurang suatu apapun.
Pras sendiri sedang rapat penting yang tidak bisa ditinggalkan, atau puluhan keluarga akan kehilangan tempat tinggal yang siap di gusurr.
“ Temanku, anaknya lulus SMA dan minta izin mengendarai mobil untuk acara perpisahan,” cerita Hartono.
“ Lalu?”
“ Sebagai ayah, dia mengizinkan. Memang anaknya belum punya SIM tapi sudah bisa menyetir. Jadi kunci mobil diberikan meski istrinya keberatan.”
Tengah malam, sepasang suami istri mendapat kabar dari kepolisian bahwa mobil yang dikendarai anak mereka ditabrak truk yang sopirnya mabuk.
“ Kendaraan hancur dan putra satu satunya tidak bisa diselamatkan. Setelah itu, mereka terus saling menyalahkan.”
Istri menyalahkan suami yang mengizinkan putra mereka menyetir. Sementara sang suami beranggapan jika saja si istri ridha dan merestui putranya pergi, mungkin peristiwa tragis ini bisa dibenarkan.
“ Lagi pula menurut si ayah ini bukan kesalahan putra mereka, tetapi kelalaian sopir truk. Keduanya memutuskan bercerai setelah lelah selalu bertengkar selama tiga tahun.”
Padahal keributan suami istri, apalagi perceraian, tidak akan mengembalikkan nyawa anak yang hilang.
“ Seburuk itu?”
Arini tertegun tegun mendengar kisah yang diulang Pras.
“ Jika harus memilih antara kamu harus menikah lagi, atau anak anak kita pergi mendahului…”
“ Arini…”
“ Kamu tahu apa yang akan dipilih?”
Pras mengangguk.
“ Tapi Mei sudah pergi. Aku tidak mau kamu mengungkit ini.”
Air mata Arini meleleh.
“ Maafkan. Hanya saja, seandainya…”
“ Arini…” Pras membelai rambut panjang permaisuri hatinya,” pengadaian apa pun tidak akan mengembalikkan kedua anak kita.”
Arini sadar, suaminya benar.
“ Sebagian jiwa orang tua mati ketika anak anak pergi. Tapi ada Nadia dan Akbar. Mereka membutuhkan kita terlebih ibunya. Untuk mereka kamu harus tegar.”
Arini mengiyakan.
Bersyukur, Arini. Bersyukur.
Ada ibu lain yang kehilangan satu satunya anak yang dimiliki.
Setidaknya Allah masih memercayakan Nadia dan Akbar. Betapa pun berat, mereka harus bisa menggantikan rasa nelangsa dengan kalimat hamdalah.
Tidak mudah. Allah memberi ujian selama setahun terakhir ini. Sebenarnya tidak cuman keluarga Arini dan Pras. Sita pun mengalami kedukaan setelah Mas Ilham tutup usia karena serangan jantung.
Ketika pasangan… itukah yang menyebabkan semangat hidup dalam diri ibu memudar, hingga akhirnya redup selamanya? Hanya setahun setelah Bapak pulang, Ibu pun menyusul ke pangkuan Allah.
Arini memandang Pras yang berbaring di sisinya dengan kelopak mata terbuka mengamati langit langit kamar. Allahu ya Rahman, semoga panjang kebersamaan dengan lelaki bernama Hershey’s ini.
Arini menggeser tubuh, mendekati suaminya.
“ Demi Allah,” bisik Arini di telinga Pras, “ selama Allah masih memberi usia, aku tidak mau kehilangan kamu, Mas.”
Mereka bertatapan, saling mengisi kehilangan yang setahun ini menggelapkan jiwa sejak Putri dan Adam tidak lagi menjadi bagian kehidupan fisik mereka.
“ Dan demi Allah,” bisik Pras lembut di telingan istrinya, “ aku tidak mau kehilangan kamu, selama Allah perkenankan.
Waktu menjahit luka,dengan iman sebagai perekatnya.
Perlu waktu untuk membiasakan ketiadaan bocah kecil yang menggemaskan. Di bulan - bulan pertama, secara berkala kesedihan masih menghampiri. Arini tidak punya cara lain kecuali menenggelamkan diri dalam naskah yang ditulisnya.
Alhamdulillah,buku kedua Istana Bintang Selesai.
Apakah Arini berhenti? Tidak, sebab luka dan kesedihan karena ketiadaan Putri,Adam,lalu akbar masih sering memburu. Khususnya karena Nadia membawa ke mana saja foto adik - adiknya, termasuk Akbar,dalam ransel bergambar princess.
“ Kamu sudah menyelesaikan draft lain? “ Arini mengangguk.
“ Ya tuhan” suaranya setengah terkejut melihat draft yang diserahkan Arini.
Sulit menghentikan seorang penulis yang sedang digerakkan semangat tak terbendung untuk mengkhatamkan tulisan. Tak ada hal yang mampu mencengah jemari Arini diatas keyboard komputer hingga naskah selesai. Dia hanya meninggalkan meja kerja yanng menghadap jendela saat Nadia di rumah.
Luar biasa. Seri Istana Bintang yang ketiga pun selesai.
“ Sebagaimana kegembiraan memantik ilham.”
“ Aku tahu…” Sheila menyela , “ Kesedihan juga menggerakkan.”
Arini tersenyum.
Tulisan, dongeng - dongeng yang direkanya adalah sedekah. Semoga Allah terima hingga bernilai ibadah. Mudah - mudahan dia ikhlas ketika mengerjakan. Arini harus produktif dan tidak boleh berhenti. Agar lebih banyak yang dibawa saat menghadap Allah nanti. Tanpa itu bagaimana dia bisa bersama anak - anak yang telah mendahului kelak di surga?
“ Kemungkinan besar,naskah ini akan dipublikasikan pada waktu yang sama di beberapa negara Eropa.” Suara Sheila memecah keheningan. Juga pikiran Arini yang mengelana,teringat anak - anaknya yang pergi.
“ Penerbit disana pasti senangdapat menerbitkan seri berikutnya Istana Bintang. Aku akan memberi tahu mereka.”
Arini mengangguk. Bahagia menemukan pancaran semangat dimata Sheila, yang hari itu datang dengan sejumlah kontrak untuk ditandatangani.
“ Bila mereka terbitkan seri terbaru pun,hanya masalah waktu saja sebelum mereka menghelat jemputan promo kat sana.”
Arini mengacungkan ibu jari. Seperti biasa serahkan semua pada Sheila. Insting gadis malaysia itu boleh dipuji. Geraknya pun cepat,dia memastikan penulis mendapatkan deal terbaik. Tidak semua penerbit d luar negeri memiliki budget promo,setelah menerbitkan naskah asing.
“ Percayalah kepadaku mereka pasti nak. Siap siap sinuk kat sana” Senyum Arini melukis lebih lebar.
“ Lakukan apa yang kamu sukai dan kamu tidak akan pernah bekerja seharipun dalam hidup kamu.”
Sheila menghentikan jari,”Persis.”
Tiga bulan berikutnya,peluncuran buku terbaru Arini, berlangsung meriah. Sita dan Hartono yang hadir menjadi catatan kebahagiaan lain. Lia datang bersama suaminya,senior ketika di kampus dulu, teman Pras juga. Meski belum kembali berhijab, sehelai kerudung tersampir di pundak.
Fakta yang menurut Sita merujuk pada tanda tanda baik. Insya Allah sahabat mereka tercinta dalam proses mendapatkan hidayah.
Arini mengaminkannya paling keras. Hingga Pras kaget dan memadangnya kocak, sementara Nadia yang sedang memainkan boneka tangan, tergeletak.
Satu satunya yang kebingungan hari itu mungkin Arman. Dia lupa telah menghubungi dua gadis untuk mendampinginya untuk peluncuran buku Arini. Akibatnya dua sosok manis muncul bersamaan. Arman yang panik memutuskan bersembunyi. Terjadilah adegan kucing kucingan yang menguras tawa. Bertambah parah karena dalam saat yang sama dia berusaha mencari perhatian Sheila yang hadir dengan raut tegas.
“ Eh, Sheila, kalau ingin jalan jalan keliling Jakarta, biar saya antar.”
Sheila hanya memandang sekilas sebelum menjawab
“ Tidak, terimakasih. Saya tidak mau pusing pusing.”
Arman mau menjelaskan,dia tidak ada niat membuat Sheila pusing. Justru menurutnya jalan jalan bisa saja jadi obat sakit kepala. Tapi salah satu ‘gandengan’ Arman yang memergoki mereka dan nimbrung tanpa diminta, langsung membuyarkan kesempatan.
Di mata Arini semua terasa sempurna. Tak sama, tapi sempurna.
Cara pandang terhadap kata yang satu itu mungkin berbanding lurus dengan rasa syukur.
Bagi Arini,begitu banyak yang masih bisa disyukuri. Allah telah memberi limpahan nikmat tak terkira. Salah satunya lelaki terkasih yang sikapnya kian mesra dan romantis.
Kadang saat menatap pria bermata miliknya, Arini mencoba menebak warna hati sang suami. Benarkah tak lagi menyimpan sedikit perasaan pun terhadap perempuan yang pernah ia habiskan waktu bersama.
Kenyataannya tidak sekalipun lelaki itu menyebut nama Mei Rose. Atau melontarkan ungkapan yang mengingatkan istrinya. Pras benar benar berusaha menjaga agar puing puing istana kaca Arini yang berusaha mereka bangun kembali, tidak goyah oleh bayangan masa lalu.
Kalaupun ada komentar Pras yang sering terdengar adalah soal badan istrinya yang menurutnya makin ciut.
Keluhan serupa juga terdengar dari dua sahabat Arini,
“ Kamu kayak anak kurang gizi!” Ceplos Sita.
“ Kasih tahu resepnya dong,ajak kita kurus juga,” ledek Lia yang tubuhnya belakangan semakin sintal.
“ Periksa ke dokter. Tensi Cinta kan,suka rendah, biar dikasih multivitamin.”
Suaminya yang baik, dalam kesibukan masih selalu memperhatikan, batin Arini.
Tidak ada salahnya cek,mungkin akibat terlalu banyak begadang akhir akhir ini. Meski begitu tawaran Pras keesokan hari untuk mengantar perempuan itu ke dokter ditolaknya.
“ Memangnya periksa kehamilan? ” mulu Arini setelah meledek.
Dari celah jendela kendaraanya, Pras tersenyum lebar.
Dia tidak keberatan istrinya melahirkan lagi. Belakangan dilihatnya Arini suka mengelus perut, entah sadar entah tidak. Mungkinkah…
“ Jangan jangan kamu hamil?”
“ Usia segini?”
“ Belum empat puluh. Masih boleh, kan?”
Ya. Pikirannya langsung hinggap pada flek flek yang selama beberapa bulan ini timbul. Mungkinkah ini kehamilan? Pasti menghebohkan jika dia hamil, sementara yang semangat untuk memiliki momongan justru Lia. Agar ada tautan buah hati antara dia dan suami. Setiap bulan sejak mereka rujuk, Lia selalu ke rumah membawa test pack. Alasannya, jika hamil dia ingin Arini menjadi yang pertama tahu.
Tidak mungkin mendahului kebahagia sahabatnya. Lagi pula perempuan berwajah teduh itu yakin hanya masalahnya hanya kurang darah atau sesuatu yang biasa. Kecuali jika dia hamil.
Tetapi keseriusan dokter perempuan setengah baya yang memeriksa, membuat dahi Arini berkerut.
Sita dan Lia berulang kali mengingatkan. Di usia sekarang sudah boleh waspada. Tapi Arini merasa belum perlu. Kesibukan selepas novel terbit seakan tidak berhenti.
Terbayang raut antusias Sheila beberapa hari lalu ketika mengunjunginya.
“ Tak sabar saya. Arini,kamu berhasil. Ada jemputan promo dari 5 negara di Eropa, tapi semua menjemput di bulan yang sama. Kamu pilih salah satu yang prioritas UK, Denmark, Austria, Hungaria, atau Nederland.”
Persis seperti perkiraan Sheila, akan ada penerbitan di luar negeri. Tapi 5 negara di Eropa, bersamaan pula, benar benar di luar bayangan.
Arini tak mampu menahan debar kebahagian di hati. Kembang api berkelip kelip di matanya. Segala puji bagi bagi Allah, yang telah mengkaruniakan limpahan nikmat. Semoga ujian kesenangan ini tidak membuat lalai.
Terlebih ketika menyampaikan kabar tersebut pada Pras dan Nadia. Respons kedua sosok terkasihnya menyemaikan kebahagian. Dari 5 negara, Arini harus memilih salah satu.
Inggris menakjubkan, negeri dengan kastil kastil indah di atas bukit. Menawarkan suasana sendu yang pekat setiap kali cuaca mendung disertai rintik gerimis menyelimuti kota. Mewakili sisi melankolis setiap perempuan, terutama bagi penulis.
Di negara ini, Harry Potter dilahirkan. Membuncah keinginan Arini mengunjungi Kastil Hogwarts yang asli, sebuah tempat peribadatan berarsitektur cantik bernama Katerdal Durham yang ditetapkan sebagai salah satu situs Warisan Dunia UNESCO.
Sementara Denmark, salah satu negara dengan warga paling bahagia di muka bumi, melainkan deretan kota romantis. Keromantisan eksklusif,kata orang.
Bahkan tokoh Hamlet karya Shakespreare terinspirasi dari cerita mitos di Nordik paling selatan ini. Melakukan peromo buku di negara yang menghasilkan begitu banyak dongeng akan mewujudkan impian menjadi nyata.
Pesona Austria tidak kalah menarik. Nada dan alam seolah menyatu menjadi alunan musik. Bayangan panorama Hallstatt, desa mungil dan juga cantik dikelilingi deretan pegunungan Alpen dengan pulasan es yang memutih,mengepul di kepala Arini. Keinginan menafakuri ciptaan Allah yang terhampar di negeri itu mendesak desak benaknya.
Kecantikan Hungaria bayangkan negeri dongengdi Eropa Timur. Penduduk setempat begitu mencintai cerita serta lagu lagu rakyat. Sejumlah cerita rakyat Indonesia telah diterjemahkan disana. Belum lama ini bahkan digelar pameran lukisan dari buku dongeng anak Indonesia di Budapest, ibu kota negara tersebut. Jejak jejak Islam yang tersisa di negeri itu menerbitkan harapan Arini untuk menelusurinya dan memperkenalkan pada Nadia.
Terakhir, negeri Kincir Angin pun mengisap benak Arini untuk turut mempertimbangkan dengan baik. Selain memiliki kedekatan sejarah, negara yang mencatai warna oranye ini melahirkan sejumlah seniman luar biasa, pelukis seperti Van Gogh yang terkenal dengan karya karyanya.
Barangkali pencipta Istana Bintang harus bergegas melakukan Istikharah. Arini tidak ingin memilih sesuatu tanpa mengajukan tanya pada Rab yang Maha Mengetahui.
“ Makin bertambah ladang sedekah kamu, cinta.”
Tulus suara suaminya ketika pertama mendengar berita itu.
“ Jadi, Mas mengizinkan aku dan Nadia pergi?”
Pras cemberut.
“ Cuma Nadia yang diajak?”
Arini tertawa.
“ Aku takut kamu sibuk, ngurusin proyek dari klien besar. Pasti semua harus tepat waktu.”
“ Insya Allah bisa diatur. Biar jadi bulan madu kedua.”
Berkata begitu Pras mendaratkan ciuman di hidung Arini.
“ Genit.”
Lelaki itu tertawa.
Kemesraan diantara keduanya hampir sepenuhnya pulih. Sikap Arini yang tidak pernah mengungkit, dan upaya Pras menjaga untuk tidak menyebut satu nama itu, ataupun kenangan dengannya di masa lalu, memberi andil.
Sudah terbayang rencana di depan mata. Sejauh ini Denmark sangat menggoda mengingat Hans Christian Andersen merupakan salah satu penulis cerita idolanya. Namun, Austria juga menawarkan keromantisan dengan pesona musik klasik, negeri cantik yang insya Allah akan memantik lebih banyak ilham bagi setiap pekerja seni.
Seluruh rencana dan agenda yang hanya mungkin dilakukan jika dia dan keluarga sehat.
Sentuhan lembut dari doktek perempuan membuyarkan lamunan Arini.
Ragu ragu ia memastikan, “ Memangnya ada yang gawat, dok?”
Raut kaku dokter berubah.
“ Belum, cuman ingin memastikan beberapa hal saja. Berat badan ibu yang turun drastis dalam waktu dua tiga bulan ini harus didalami penyebabnya. Lalu flek yang ibu sebutkan. Kita coba lakukan beberapa test, ya?”
Awalnya satu test. Berikutnya menjadi dua, lalu tiga.
“ Kalau masih sekolah, saya sudah lulus nih, dok… tinggal skripsi.”
Seloroh Arini mengomentari tatapan serius sang dokter.
“ Bisakah saya menemui Ibu beserta Suami?”
“ Maksud dokter?”
Perempuan setengah baya di depannya melepas kaca mata. Menyadarkan tubuh di kursi sebelum berhati hati berbicara.
“ Saya khawatir ini lebih serius dari yang diperkirakan.”
“ Seserius apa pun, saya bisa menerimanya,dok.”
Ringan, tulus, ikhlas.
Beberapa detik, dokter perempuan dibalik meja yang memisahkan mereka, menarik napas panjang, sebelum menyusun kalimat.
Arini menahan debar di jantung. Apa pun skenario Allah pada hambanya, akan ia terima dengan keteguhan hati. Semoga dia cukup sehat.
Rencana indah yang sudah dibahasnya bersama Pras dan Nadia, tak boleh terusik apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H