Mohon tunggu...
Restu Utami
Restu Utami Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Melestarikan Budaya Mencuri

11 April 2016   15:16 Diperbarui: 20 April 2016   18:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: theaustralia.au"][/caption]

Siapa yang tidak mau ke Lombok? "Hati-hati kalau ke Lombok, banyak pencurinya." Kira-kira seperti itulah kalimat himbauan seorang kawan ketika saya hendak pergi berlibur ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. Muncul rasa heran dan penasaran dalam benak saya. Apakah benar, di Lombok banyak pencuri?

Kata 'pencuri' tentu sudah dianggap negatif oleh mayoritas masyarakat. Jelas saja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencuri diartikan sebagai orang yang mengambil milik orang lain tanpa izin dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tetapi, memang benar adanya makna 'pencuri' di kota sejuta pesona tersebut. Dan nyatanya, memang banyak 'pencuri' di Lombok, mencuri dalam artian sesungguhnya, mencuri seorang anak perempuan dari keluarganya.

Pencuri atau mencuri adalah sebuah tradisi asli Suku Sasak dalam hal perkawinan. Tradisi perkawinan ini atau boleh disebut seperti kawin lari dan terus dipertahankan. Meski kata 'pencuri' dipandang sebagai prilaku negatif, disisi lain, hal itulah kemudian yang terlihat menarik untuk mengetahui realitas sosio-kultural masyarakat suku Sasak.

Mengenal budaya mencuri

Tradisi 'mencuri' dilakukan oleh seorang pemuda yang hendak menikahi seorang gadis pujaannya. Menurut adat Suku Sasak, seorang pria yang 'mencuri' dianggap lebih kesatria dibanding meminta secara hormat ke orang tua mempelai wanita. Namun, mencuri dalam tradisi ini tetap memiliki sejumlah aturan adat.

Pertama, pencurian tersebut harus berlangsung pada malam hari. Sang pemuda atau yang disebut ‘Teruna’ datang bersama seorang kerabat sebagai saksi supaya proses penculikan tidak terlihat oleh siapapun. Jika pencurian tersebut terlihat, maka sang pemuda harus dikenakan denda oleh keluarga perempuan ataupun desa setempat.

Kedua, setelah gadis tersebut berhasil diculik, sang gadis dibawa kerumah kerabat laki-laki terlebih dahulu dan disembunyikan selama beberapa malam. Barulah setelah itu, keluarga kerabat laki-laki mengirimkan utusan kepada keluarga si gadis dan memberitahukan bahwa anak perempuannya telah diculik. Proses tersebut, dikenal dengan istilah 'Nyelabar'.

Dalam proses Nyelabar, rombongan terdiri dari 5 orang kerabat dan pihak orang tua laki-laki tidak boleh ikut, serta mereka wajib menggunakan pakaian adat. Tak berhenti disitu, prosesi dalam perjalanan menuju pernikahan masih memiliki sejumlah aturan yang harus dipatuhi. Seperti harus terlebih dahulu meminta izin kepada ketua adat setempat atau Kliang sebagai bentuk penghormatan.

Sesampainya dirumah sang gadis, rombongan tersebut juga tidak langsung diperkanankan untuk masuk ke dalam rumah. Mereka hanya duduk bersila dihalaman depan, dan salah satu dari utusan rombongan tersebut akan menjadi juru bicara untuk pemberitahuan.

Sungguh unik bukan? Sangat disayangkan jika kita berlibur hanya untuk menikmati pesona alam Indonesia tanpa mengetahui tradisi budaya yang ada. Padahal, kita bisa mendapatkan keduanya sekaligus, jelajah nusantara sambil belajar ragam budaya. Tradisi budaya yang unik seperti 'mencuri' ini harus lebih diperkenalkan dan dilestarikan sebagai salah satu ragam budaya Indonesia. Indonesia raya, Indonesia kaya. Kaya pesona dan kaya budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun