Aku Ingin Jadi Cantik.
Cantik. Satu kata yang bagi orang sangat relatif, namun diam-diam sangat mengidamkannya. Juga satu imaji yang katanya bukan segalanya, namun selalu dianggap sebagai altar keindahan. Ada teman saya, yang mati-matian ingin jadi cantik, cantik menurut persepsi yang ia percayai. Ia menyuntik kulitnya dengan apa yang membuatnya menjadi seputih susu, memadati barisan giginya dengan kawat yang sedang menjadi tren, melapisi bola mata hitamnya dengan lensa kecoklatan yang berkilau, dan tak lupa berdiet habis-habisan demi bentuk tubuh kurus berkurva seperti supermodel. Wah, cantik yang seperti ini agaknya sedikit merepotkan dan menghabiskan banyak uang, juga ditambah perasaan was-was terhadap sinar matahari yang berkilau riang dan air hujan yang sejuk. Padahal, matahari adalah sentra sang semesta dan hujan adalah sumber rejeki. Lalu...kejamkah menjadi cantik? Tidak juga. Ada teman saya yang lain, yang juga sangat percaya pada kecantikan. Ia tak memutihkan kulitnya, memagari giginya, mewarnai bola mata ataupun berdiet ganas. Katanya, kecantikan fisik hanyalah visualisasi yang dibuat manusia, dan kecantikan yang sebenarnya adalah apa yang dipancarkan oleh nurani. Menurutnya, kecantikan yang mengandalkan visualisasi adalah kecantikan yang fana, tidak kekal. Sementara wanita dikenal dengan makhluk sejuta nurani, jadi harus dipercantik dengan serangkaian aspek yang terjalin di dalamnya, yaitu ketulusan, percaya diri, tersenyum, dan kemampuan mencintai, sehingga kecantikan yang ia miliki bersinar tanpa batas dan tanpa redup sekalipun rambut memutih dan kulit menjadi keriput. Kecantikan tetap kecantikan. Tetapi visualisasi adalah lain. Visualisasi dituntut memuaskan mata, kecantikan sesungguhnya tak harus memuaskan mata, namun merujuk pada kepuasan hati. Kecantikan nurani akan membentuk visualisasi yang mengagumkan pada wajah seorang wanita, dengan rona ketulusan dan bukan kepura-puraan. Wah..semudah itukah menjadi cantik? Masalahnya, kecantikan didasari oleh kepentingan yang berbeda, kepentingan visual dan kepentingan nurani. Bila kepentingan saling membentur akan menimbulkan konflik baru, konflik kecantikan. Memang ada, konflik kecantikan? Yah, mungkin. Dunia sekarang terlalu menuntut. Menuntut ini, menuntut itu. Tak terkecuali kecantikan, yang menjadi satu-satunya alasan wanita mendapatkan 'titel' layak sebagai perhiasan semesta. Kecantikan sudah diinterpretasikan dalam berbagai makna, dengan keberagaman persepsi dan sudut pandang. Pilihan mutlak ada pada wanita untuk menentukan, kecantikan mana yang akan dipilih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H