Mohon tunggu...
Restu Kandela
Restu Kandela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Restu Kandela

Mahasiswa Sarjana dan Magister (on-going) Akuakultur IPB | SR Asrama PPKU IPB | HMI Komisariat C Cabang Bogor | Yakusa!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perikanan Terukur. Terukur untuk Kapitalis?

26 Juni 2023   22:56 Diperbarui: 27 Juni 2023   00:05 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2023 tentang perikanan terukur menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, baik kalangan akademisi, pebisnis, warga sipil dan pemerintah. Regulasi ini telah disahkan pada 6 Maret 2023 serta dirasa masih perlu dikaji lebih lanjut karena belum menunjukkan keterukuran dan diduga berpeluang menyebabkan ketidakberlanjutan dalam implementasinya di lapangan. Hal ini didasari penetapan kuota penangkapan ikan oleh menteri yang tidak terpublikasi dengan baik, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan terhadap pemerintah itu sendiri, yaitu KKP. 

Oleh karena itu, menteri terkait perlu untuk menjelaskan secara rinci terkait penetapan kuota dalam bentuk peraturan menteri yang terpublikasi dengan baik di kalangan masyarakat, terutama nelayan lokal di Indonesia.

Pasal 1 PP Nomor 11 tahun 2023 berbunyi "Penangkapan Ikan Terukur adalah penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional, dilakukan di zona penangkapan ikan terukur, berdasarkan kuota penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional.". Secara definisi, peraturan ini memiliki tujuan mulia, namun terkait bagaimana implementasi regulasi ini perlu untuk dipertanyakan. Pemerintah dalam hal ini dirasa belum menunjukkan keseriusan dalam menciptakan regulasi dan pengawasan terkait penangkapan ikan dalam konsep pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan. 

Kelestarian sumber daya ikan dapat diwujudkan melalui regulasi yang baik, namun pengawasan terkait praktik penangkapan ikan yang baik perlu diprioritaskan untuk mewujudkan penangkapan ikan yang terukur itu sendiri. Oleh karena itu, pengawasan penangkapan ikan perlu dijadikan fokus utama sebagai bagian dari planning, organizing, actuating, controlling dan evaluating terhadap regulasi ini. 

Tingkat Pemanfaatan Ikan di WPPNRI, Dominan fully dan over exploited. Sumber: Suhana (2022)
Tingkat Pemanfaatan Ikan di WPPNRI, Dominan fully dan over exploited. Sumber: Suhana (2022)

Pembentukan dan pengesahan regulasi ini tentunya didasari oleh tingkat pemanfaatan ikan yang dominan tinggi (fully dan over-exploited) berdasarkan data yang diperoleh dari seluruh WPP di Indonesia. Regulasi ini bertujuan baik, hanya saja dalam implementasinya berpeluang terdapat celah terkait kuota penangkapan ikan yang dijelaskan pada Pasal 7 PP No.11 tahun 2023, yaitu kuota industri dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Pasal 10 ayat 2 PP No.11 tahun 2023 berbunyi "Kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Setiap Orang, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, serta kesenangan dan wisata.". 

Diksi "kuota", "industri, "orang" dan "kesenangan" dalam pasal 10 tersebut menimbulkan pertanyaan besar serta kontra di kalangan nelayan lokal. Penjelasan yang tidak jelas terkait kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial sangat disayangkan, sehingga dirasa menjadi salah satu dari beberapa kecacatan dalam regulasi ini. Ditambah lagi cakupan wilayah untuk kuota kegiatan tersebut sangat luas, yang tercantum dalam pasal 10 ayat 1 yang berbunyi "Kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c diberikan pada setiap Zona Penangkapan Ikan Terukur sampai dengan 12 (dua belas) mil laut dan di atas 12 (dua belas) mil laut.". 

Penetapan regulasi ini sangat disayangkan karena 10 pasal awal dari 28 pasal dalam PP tersebut belum mampu menjawab kebutuhan nelayan lokal dan pelaku perikanan, sehingga penetapan regulasi ini terkesan terburu-buru dan tidak memihak nelayan lokal yang dominan secara jumlah, yaitu nelayan miskin sebesar 7,87 juta jiwa (Wafi et al. 2019). Total nelayan miskin adalah 25,14 % dari 31,02 juta penduduk miskin indonesia. Hal ini menjadi kontradiktif terhadap Pasal 33 ayat 1-4 UUD 1945.

Singkatnya, regulasi ini perlu dikaji lebih lanjut dengan melibatkan seluruh kalangan masyarakat, seperti akademisi, pebisnis dan warga sipil umumnya serta nelayan lokal khususnya, sehingga regulasi ini mampu mencapai tujuannya, demokratis perumusannya, masif dampaknya dan mantap pengawasannya. Gagasan perikanan terukur sejatinya mulia, namun implementasinya perlu untuk dikawal, sehingga ekonomi biru dan perikanan yang berkelanjutan dapat diwujudkan di masa depan untuk anak cucu kita semua. 

"Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur." (QS. An-Nahl [16] : 14). Jaya Kelautan! Jaya Perikanan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun