Kegiatan akuakultur terdiri dari tiga segmen, yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran (Effendi 2004). Effendi (2019) menyatakan bahwa segmen pembenihan menghasilkan ikan stadia larva, segmen pendederan menghasilkan ikan stadia juvenil dan segmen pembesaran menghasilkan ikan ukuran konsumsi. Ketiga segmen tersebut berperan penting sebagai kegiatan hulu untuk memproduksi bahan pangan bagi manusia di tengah situasi bonus demografi. Tren produksi sektor akuakultur terus mengalami peningkatan (See et al. 2021). Data FAO (2020) menjelaskan bahwa produksi akuakultur pada tahun 2018 mencapai 82,1 juta ton dengan rata-rata tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 4,51 persen.
Peningkatan produksi akuakultur menyebabkan ekploitasi sumber daya yang menyebabkan kerusakan lingkungan (Pullin et al. 2007), sehingga perlu diminimalkan melalui penggunaan sumber daya yang efisien dan upaya perbaikan kualitas lingkungan untuk mencapai produktivitas yang tinggi (Folke dan Kautsky 1992). Pullin et al. (2007) menambahkan bahwa manajemen akuakultur perlu dimodifikasi menjadi manajemen terintegrasi yang mengedepankan hubungan mutualisme dengan alam dan memperhatikan daya dukung lingkungan sebagai ecosystem services. Akuakultur memiliki peran strategis secara sosial dan ekonomi, sehingga manajemen akuakultur yang bertanggung jawab perlu menjadi perhatian bagi akademisi, pelaku usaha, pemerintah dan masyarakat.
Pada tahun 1985, FAO menyusun dan mengesahkan kode etik untuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). CCRF dalam konteks akuakultur bertujuan mengatur negara-negara yang memiliki sumber daya perikanan untuk menetapkan kebijakan pengelolaan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Cocon (2020) menjelaskan bahwa terdapat 5 poin penting terkait kebijakan negara untuk pembangunan akuakultur yang bertanggungjawab, yaitu:
1.Negara harus menetapkan, memelihara dan mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang tepat untuk memfasilitasi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab.
2.Negara harus mempromosikan pengembangan dan pengelolaan budidaya ikan yang bertanggungjawab, terkait evaluasi awal dari dampak pengembangan akuakultur pada keragaman genetik dan integritas ekosistem, berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia.
3.Negara harus menghasilkan dan secara teratur memperbarui strategi dan rencana pengembangan akuakultur adalah berkelanjutan secara ekologis dan memungkinkan penggunaan sumber daya secara rasional untuk kegiatan akuakultur dan lainnya.
4.Negara harus memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat lokal dan akses ke wilayah penangkapan ikan tidak terkena dampak negatif oleh perkembangan budidaya perairan.
5.Negara harus menetapkan prosedur yang efektif sebagai penilaian dan pengontrolan lingkungan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan lingkungan dan konsekuensi negatif sosial ekonomi dari aktivitas akuakultur, seperti penggunaan sumber daya air, penggunaan lahan, pembuangan limbah, penggunaan obat-obatan dan bahan kimia dan kegiatan akuakultur lainnya.
Kegiatan akuakultur di Indonesia diatur oleh UU Nomor 45 Tahun 2009 dalam pasal 1 ayat 6 yang berbunyi “Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya ”. Undang-undang tersebut membahas potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI, mengatur tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan dan manejemen akuakultur lainnya. Implementasi dari UU Nomor 45 Tahun 2009 mengatur pengelolaan perikanan termasuk akuakultur dengan 11 asas, yaitu manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan pembangunan yang berkelanjutan. Aturan-aturan dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 lebih lanjut diatur lebih detil melalui peraturan pemerintah (perpres) atau peraturan menteri kelautan dan perikanan (permen).
Pengelolaan budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia lebih lanjut diatur oleh Peraturan Badan Standardisasi Nasional RI No. 14 tahun 2019 terkait skema penilaian kesesuaian terhadap standar nasional indonesia sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. BSN (2019) mengesahkan peraturan tersebut dengan pertimbangan bahwa daya saing produk perikanan perlu ditingkatkan dan penilaian kesesuain produk sektor perikanan perlu dilakukan. Peraturan tersebut memuat beberapa standarisasi yaitu sebagai berikut:
1.SNI 8228.1 terkait kriteria budidaya ikan nila di tambak.
2.SNI 6140 terkait benih ikan nila hitam.
3.SNI 6495 terkait produksi pembesaran ikan nila di karamba jaring apung.
4.SNI 7550 terkait produksi ikan nila kelas pembesaran di kolam air tenang.
5.SNI 8124 terkait pembesaran ikan nila di kolam air deras.
6.SNI 8119 terkait produksi polikultur ikan nila dan udang vaname di tambak.
7.SNI 01-7242 terkait pakan buatan untuk ikan nila pada budidaya intensif.
Ketujuh standarisasi tersebut merupakan acuan pengelolaan budidaya ikan nila pada segmen dan teknologi yang umumnya dilakukan di Indonesia. Ikan nila merupakan salah satu komoditas akuakultur Indonesia (KKP 2018). Produksi nasional ikan nila dari sektor akuakultur mencapai 1,17 ton pada tahun 2020 (KKP 2020). BSN (2019) mengatur teknis sertifikasi budidaya komoditas ikan nila melalui Indonesian Good Aquaculture Practices (IndoGAP). IndoGAP terdiri dari dua bagian, yaitu bagian 1 terkait cara pembenihan ikan yang baik dan cara budidaya ikan yang baik, serta bagian 2 terkait cara pembuatan pakan ikan yang baik (BSN 2019). BSN (2019) mengesahkan IndoGAP sebagai sertifikasi guna mengevaluasi (mengontrol) aktivitas akuakultur dan meningkatkan daya saing produk budidaya komoditas nila. Oleh karena itu, peran IndoGAP terhadap kegiatan budidaya komoditas nila di Indonesia perlu dikaji lebih lanjut.
IndoGAP (Indonesian Good Aquaculture Practices) merupakan sertifikasi yang diberikan oleh BSN terhadap unit usaha akuakultur yang menerapkan cara pembenihan, pembesaran dan pembuatan pakan ikan yang baik. IndoGAP terdiri dari dua bagian, yaitu bagian 1 terkait cara pembenihan ikan yang baik dan cara budidaya ikan yang baik, serta bagian 2 terkait cara pembuatan pakan ikan yang baik (BSN 2019). Sertifikat IndoGAP berlaku untuk pembudidayaan seluruh komoditas ikan konsumsi dan hias. Sertifikat tersebut berlaku untuk sertifikasi individu maupun kelompok. Sertifikasi tersebut terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat B untuk unit pembudidayaan kecil dan tingkat A untuk selain unit pembudidayaan kecil. Sertifikasi IndoGAP dilakukan oleh Lembaga Penilaian Kesesuain (LPK) yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) berdasarkan SNI ISO/IEC 17065. Permohonan sertifikasi IndoGAP perlu dilengkapi dengan beberapa berkas sebagai administrasi, yaitu sebagai berikut:
1.Informasi pemohon
Berupa identitas pemohon, jenis usaha budidaya ikan, jenis ikan, skala usaha, salinan surat ijin usaha perikanan (SIUP) atau tanda daftar bagi pembudidaya ikan kecil (TDPIK) dan surat penyataan permohonan
2.Informasi proses pembudidayaan ikan
Berupa data umum unit pembudidayaan, struktur organisasi dan fungsi jabatan terkait, data budidaya dan produksi, gambar tata letak unit usaha, data fasilitas unit usaha, serta informasi terdokumentasi sesuai lingkup sertifikasi.
Proses seleksi untuk mendapatkan sertifikat IndoGAP melalui beberapa tahapan, yaitu audit tahap 1, audit tahap 2, review dan keputusan. Audit tahap 1 dilakukan terhadap berkas usaha pemohon. Audit tahap 2 dilakukan saat pemohon melakukan kegiatan pembudidayaan ikan. Review dilakukan untuk memastikan pemohon memenuhi syarat penerbitan sertifikat IndoGAP. Keputusan dikeluarkan oleh LPK terhadap pemohon yang menunjukkan kelayakan berdasarkan hasil review. Sertifikat IndoGAP berlaku selama 4 tahun setelah diterbitkan.
CPIB merupakan sertifikasi yang dilakukan oleh LPK terhadap segmen usaha pembenihan (BSN 2019). Sau et al. (2017) mengemukakan bahwa CPIB memiliki pengaruh positif terhadap kinerja unit pembenihan udang di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Parameter yang menunjukkan pengaruh positif adalah keamanan pangan dan lingkungan. Sau et al. (2017) menambahkan bahwa penerapan CPIB meningkatkan kinerja produksi pembenihan udang sebesar 19% di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Namun, penerapan prinsip-prinsip CPIB di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan tidak konsisten dan belum mampu memenuhi kepuasan pelanggan (Sau et al. 2017).
CBIB merupakan sertifikasi yang dilakukan oleh LPK terhadap selain segmen usaha pembenihan, yaitu segmen pendederan dan pembesaran (BSN 2019). Yulisti et al. (2021) menyatakan bahwa tambak yang tersertifikasi CBIB memiliki efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan tambak yang tidak tersertifikasi CBIB di Kabupaten Lampung Timur, Lampung. Hal ini disebabkan penggunaan input produksi yang secara signifikasi lebih efisien. Yulisti et al. (2021) menambahkan bahwa tambak yang tidak tersertifikasi CBIB menggunakan input secara berlebihan. Yulisti et al. (2021) mengemukakan bahwa umur, pengalaman usaha, intensifikasi, luas tambak dan status lahan dapat meningkatkan penerapan CBIB, sedangkan jumlah anggota keluarga yang bekerja dapat menurunkan penerapan CBIB.