Oleh Zinda Zhafira Ardhani
Mahasiswi Tingkat 1 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Sedang ramai diperbincangkan adanya peringatan darurat untuk seluruh rakyat Indonesia dengan logo Pancasila dan background berwarna biru. Ada apa? Apa yang terjadi di Indonesia? Mengapa demokrasi di Indonesia dikatakan dalam bahaya? Untuk apa peringatan darurat dikeluarkan?
Kita kembali ke Pilpres 2024 kemarin, dimana terdapat aturan bahwa capres/cawapres minimal harus berusia 40 tahun. Tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah/memberi tambahan peraturan berupa 'kecuali pernah menjabat/berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilu' yang termaktub dalam Pasal 169 huruf Q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Imbasnya Gibran, putra Jokowi yang baru berusia 38 tahun bisa maju mencalonkan dirinya sebagai cawapres 2024. Masalahnya bukan di Gibran, melainkan masyarakat bertanya-tanya 'kok bisa aturan hukum MA diubah demi kepentingan politik individu tertentu?'. Kemudian karena ketua Mahkamah Agung adalah Anwar Usman yang notabene-nya merupakan ipar pak Jokowi/paman Gibran, maka timbul dugaan nepotisme.
Kemudian saat ini kasus terbaru, yakni Mahkamah Agung (MA) tiba-tiba saja mengubah aturan bahwa calon kepala daerah harus berusia minimal 30 tahun pada saat dilantik, bukan saat pendaftaran. Imbasnya, Kaesang bisa kemungkinan besar untuk maju pilkada. Jadi sekali lagi, aturan hukum diubah demi kepentingan politik. Sama seperti sebelumnya, masalahnya bukan di Kaesang ataupun Gibran, tetapi bagaimana bisa aturan hukum diubah-ubah demi kepentingan politik?
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk mengubah syarat usia calon kepala daerah agar dihitung saat pelantikan calon terpilih, karena kekhawatiran menimbulkan ketidakpastian hukum. Namun sehari setelah putusan tersebut, pada tanggal 21 Agustus 2024, DPR RI justru menggelar rapat mendadak sebagai upaya merevisi UU Pilkada yang diduga bertujuan untuk menghambat putusan MK agar tidak langsung berlaku pada Pilkada 2024. Padahal patut diketahui bahwa putusan MK bersifat final sehingga tidak dapat direvisi.Â
Sifat final putusan MK bahkan merupakan amanat UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang tercantum secara eksplisit pada Pasal 24C ayat 1. DPR mengadakan rapat digedung DPR, tetapi rapat bukan untuk kepentingan rakyat? Kemana hilangnya sila ke-5 Pancasila itu?
Demokrasi Indonesia saat ini berada dalam keadaan darurat. Tiga pilar demokrasi kini sudah dalam keadaan rawan, reot, dan runtuh. Demokrasi dikalahkan oleh nepotisme. Negara untuk keluarga, bukan untuk rakyat. Politik dinasti terjadi di Indonesia. Pancasila sudah tidak dijadikan landasan negara, tapi hanya dijadikan pajangan diruangan.
Suara rakyat tidak didengar, undang-undang diubah semena-mena. Negara benar-benar dalam situasi darurat demokrasi. Demokrasi Indonesia sedang didorong, dijatuhkan, diinjak;injak, dan diludahi oleh orang-orang yang menganggap negara kita sebagai Perusahaan keluarga.
#KAWALKEPUTUSANMK Â #BATALKANBUKANTUNDAÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H