Generasi sandwich merupakan salah satu istilah yang cukup familiar dewasa ini. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller pada tahun 1981 sebagai generasi yang tidak hanya merawat dirinya sendiri tetapi juga anak dan kedua orang tuanya. Akibatnya, kondisi ini menimbulkan tekanan kompleks dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan. Hingga saat ini, pengertian generasi sandwich masih terus berkembang dan menunjukkan bahwa tanggung jawab finansial individu tidak hanya terbatas pada orang tua dan anak-anak, tetapi juga mencakup generasi di atas dan di bawah mereka. Berdasarkan Survei Jakpat tahun 2020, sekitar 48% dari masyarakat Indonesia merupakan generasi sandwich. Keluarga sandwich seringkali menghadapi konflik kerja-keluarga yang timbul dari peningkatan tuntutan waktu dan peran ganda yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis maupun hubungan keluarga. Konflik tersebut umumnya dikenal sebagai konflik kerja dalam keluarga dan konflik keluarga dalam kerja. Konflik yang hadir seringkali tidak dapat dihindari, akan tetapi dapat diminimalisasi dengan manajemen yang baik.
Konflik kerja-keluarga pada generasi sandwich tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi juga terjadi secara global salah satunya di Malaysia. Pada tahun 2017, Aazami melakukan riset terkait dengan isu konflik pekerjaan dan keluarga yang mengacu pada bentuk konflik antar peran yakni tekanan peran dari ranah pekerjaan dan keluarga di Malaysia. Aazami menggunakan tolak ukur waktu dan tingkat stres atau beban dalam penelitiannya. Lebih jauh riset ini menunjukkan bahwa perempuan yang secara bersamaan merawat orang tua dan anak-anak yang lanjut usia secara signifikan mengalami tingkat Interferensi Keluarga dalam Pekerjaan berbasis waktu yang lebih tinggi. Dengan kata lain, perempuan yang terlibat dalam pengasuhan multigenerasi umumnya mengalami kekurangan waktu di tempat kerja yang disebabkan oleh banyaknya waktu yang dicurahkan untuk memenuhi tanggung jawab keluarga. Sebaliknya, dalam generasi sandwich tidak terdapat hubungan Interferensi Kerja dalam Keluarga berbasis waktu yang lebih tinggi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh sifat peran pekerjaan yang lebih kaku dalam strukturnya. Karyawan biasanya diharapkan untuk menjauhkan kehidupan keluarganya dari tempat kerja.
Berdasarkan teori identitas peran, interferensi keluarga-pekerjaan mencerminkan hambatan terhadap keberhasilan kewajiban dalam pekerjaan. Namun interferensi pekerjaan- keluarga dalam konteks teori peran diartikan sebagai hambatan terhadap tanggung jawab dalam keluarga yang pada akhirnya melemahkan citra diri terkait keluarga. Penggabungan peran dan identitas di antara pengasuhan multigenerasi menunjukkan bahwa perempuan yang memprioritaskan identitas peran kerja mereka mengalami interferensi keluarga dalam pekerjaan. Hal ini pada akhirnya merusak kemampuan individu dalam menjalankan kewajiban terkait pekerjaan akibat beban tanggung jawab keluarga yang berlebihan. Kendati demikian, tingkat stres dan beban dalam riset ini tidak menunjukkan nilai yang signifikan. Hal ini dikarenakan keyakinan budaya dan agama serta nilai-nilai perempuan Malaysia yang menganggap peran sebagai ibu rumah tangga sebagai peran yang diprioritaskan. Ada dua pendekatan untuk membantu perempuan generasi sandwich dalam meminimalisasi konflik pekerjaan misalnya dengan layanan pengasuhan formal. Pendekatan pertama ialah dengan menyediakan fasilitas penitipan anak di tempat kerja bagi perempuan yang memiliki anak di bawah usia 5 tahun. Salah satu program yang bermanfaat adalah Kebijakan Ramah Keluarga yang diterapkan di beberapa negara termasuk Malaysia yang masih perlu ditegakkan. Pendekatan kedua adalah memperluas penggunaan fasilitas penitipan lansia yang juga menyediakan lingkungan yang sesuai bagi lansia itu sendiri.
Sementara itu di Indonesia sendiri konflik kerja-keluarga dalam keluarga sandwich bukanlah hal yang asing. Umumnya konflik keluarga terhadap pekerjaan yang sering muncul di antaranya adalah tuntutan dan ekspektasi keluarga terhadap anggota keluarga Sandwich. Selain itu, perbedaan pendapat dan kepentingan seringkali memicu perselisihan. Sedangkan konflik pekerjaan terhadap keluarga di antaranya tuntutan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan dan digantikan oleh pekerja yang lain sehingga mengganggu kegiatan keluarga yang mendesak. Bentuk konkretnya misalnya kewajiban untuk masuk lembur di hari libur yang seharusnya waktu tersebut bisa dimaksimalkan untuk anak malah jadi harus bekerja. Anak pun terpaksa harus dititipkan kembali ke orang tua apalagi jika kebetulan sang suami juga harus lembur. Akibatnya kadang hal tersebut juga memicu masalah dengan orang tua karena harus menitipkan anak lebih lama terlebih karena anak berada dalam fase sangat aktif sehingga kadang membuat orang tua kewalahan. Fenomena tersebut selaras dengan konflik kerja-keluarga yang merupakan keinginan yang berbeda atau berlawanan antara pekerjaan dengan  keluarga  yang  mana  peran yang satu  menuntut  lebih  peran  yang lain sehingga salah satunya terganggu.
Keluarga sandwich yang merangkul peran ganda sebagai pekerja dan pengasuh keluarga, menghadapi tantangan keseimbangan antara kebutuhan kerja dan kebutuhan keluarga. Strategi yang diterapkan untuk mengelola konflik yang muncul dari tuntutan ganda ini  diantaranya dengan mendahulukan hal yang lebih penting dan membina komunikasi yang baik. Pendekatan ini efektif karena memberikan ruang untuk menyelesaikan konflik di waktu yang tenang, menciptakan kesepakatan bersama melalui komunikasi terbuka.  Selain itu, dukungan moral dan motivasi juga termasuk salah satu hal yang paling penting. Komunikasi, interaksi, dan dukungan lingkungan menjadi aspek yang paling sering muncul untuk menangani konflik kerja-keluarga. Lebih lanjut, konflik kerja-keluarga cenderung memiliki tekanan dan risiko lebih besar pada perempuan di keluarga Sandwich terutama yang memiliki beban ganda. Hal ini  berkaitan erat dengan kesejahteraan keluarga karena sebagian besar pengaruh kesejahteran keluarga umumnya ada pada perempuan.  Pengaruh interaksi ibu-anak memiliki peran signifikan terhadap kesejahteraan keluarga apabila dibandingkan dengan interaksi ayah-anak. Oleh karena itu, umumnya perempuan dari anggota keluarga Sandwich tentunya akan mengalami konflik antara tuntutan pengasuhan anak, pekerjaan, dan mengurus orang tua. Â
Dengan demikian, keluarga sandwich merupakan kondisi pada individu yang melakukan pengasuhan multigenerasi serta memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan. Konflik antara peran pekerjaan dan keluarga menjadi tantangan yang serius bagi individu generasi sandwich. Konflik tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti peran ganda, tuntutan pekerjaan, tuntutan dan ekspektasi dari keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, serta keterbatasan waktu dan komunikasi. Manajemen konflik antara pekerjaan dan keluarga dapat dilakukan dengan jalinan komunikasi anggota keluarga yang aktif sehingga dapat mengembangkan strategi yang efektif, seperti meningkatkan komunikasi terbuka dan penuh empati, memberikan dukungan emosional dan sosial yang kuat, serta menetapkan prioritas yang jelas dalam manajemen waktu. Dengan melakukan hal tersebut, anggota keluarga diharapkan dapat bekerja sama dalam mengatasi konflik yang timbul, menciptakan lingkungan yang seimbang, serta memastikan kebutuhan keluarga dan pekerjaan mereka terpenuhi dengan baik. Semetara itu, dalam menanggapi isu beban ganda dan konflik kerja-keluarga pada perempuan di keluarga Sandwich, pemerintah atau lembaga terkait dapat meningkatkan fasilitas pelayanan penitipan anak balita di bawah lima tahun bagi para ibu pekerja atau fasilitas perawatan bagi lansia.
Manajemen Sumber Daya Keluarga
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB
- Dr. Ir. Lilik Noor Yulianti, MFSA
- Dr. Megawati Simanjuntak, S.P.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H