Mohon tunggu...
Veronica Rompies
Veronica Rompies Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Lulus tahun 1998 dari Universitas Darma Persada, Jakarta jurusan Sastra Inggris D3. Memulai bisnis furniture sejak tahun 2000 di Jepara, hingga saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Serigala Berbulu Domba, Ego Berbulu Cinta

15 Oktober 2021   19:09 Diperbarui: 15 Oktober 2021   19:33 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari idntimes.com

Sebisanya, anak kita memiliki apapun yang dulu hanya bisa kita bayangkan untuk bisa memiliki.  Kita curahkan 'dendam' itu pada anak.  Kita tidak ingin mereka menderita menahan keinginan seperti yang dulu kita alami.  Demikian juga saat mereka berselisih dengan teman, dengan guru, atau permasalahan nilainya di sekolah.  Kita maju dan menyelesaikan masalah mereka dengan cara apapun untuk memenangkan perselisihan itu.  Agar anak tidak menderita seperti kita dulu, yang harus menyelesaikan segalanya sendiri, penuh ketakutan dan ketidakmampuan, penyesalan yang rasanya masih ada hingga saat ini.  Ada orangtua yang bahkan rela membayar posisi bangku di sekolah, supaya anaknya dapat duduk paling depan.  Atau membayar lebih saat nilai anak tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah lanjutan yang diimpikan.

Ya, banyak orangtua yang melakukan segalanya, agar anak kita memiliki hidup yang jauh lebih baik daripada apa yang mereka alami dahulu.  Kita mempersiapkan tabungan untuk bekal anak menjalani kehidupannya kelak, tanpa harus mengalami masa-masa lapar seperti dulu kita alami.   Kita mempersiapkan apapun yang kita mampu, rumah, deposito, tanah, dan sebanyak mungkin aset untuk menjamin kehidupannya kelak, agar ia tidak perlu bersusah payah sebagaimana orangtuanya dulu.  

Pada titik ini, kita sulit menyadari, bahwa apa yang kita lakukan adalah merampas kesempatan anak untuk memiliki pengalaman seperti apa yang dulu kita punyai, yang membentuk kita menjadi orang yang kuat.  Pengalaman yang menghantarkan kita berada pada level kehidupan stabil saat ini.  Semua kesulitan yang dulu kita alami, membentuk kita menjadi pekerja keras, pribadi yang kuat yang tahu bagaimana harus menahan diri dari keinginan berlebih. Semua hal yang tidak bisa dibeli dalam kemasan instant.  Semua hal yang bisa didapat melalui proses panjang. 

Kita telah lupa, bukankah anak memiliki hidupnya sendiri?  Hidup mereka, bukan milik kita.  Tanggung jawab kita sebagai orangtua yang telah menghadirkan mereka di bumi ini, adalah mendampingi.  Bukan menyediakan semua keinginan mereka demi pembalasan dendam atas apapun yang pernah gagal kita miliki di masa dulu.  

Bukankah semua kesulitan kita dulu, telah membentuk kita hingga menjadi manusia tangguh seperti saat ini? Bukankah kita, menjadi kita saat ini, karena semua pengalaman baik dan buruk yang pernah terjadi di masa lalu? Bukankah kita, pernah berangkat dari titik nol dan menjalani semua proses, babak belur berjuang, jatuh bangun mengkoleksi luka, menyapu air mata, tertidas harga dirinya, hingga hari ini kita berada di posisi yang stabil dengan begitu banyak pengalaman yang menguatkan?  Bukankah kita, menjadi lebih bijak di usia kita saat ini, karena semua pengalaman hidup yang kita lalui?

Layak kah kita, mengingkan hasil yang sama, atau bahkan lebih baik untuk anak kita, padahal kita memotong banyak proses yang membentuk hasil yang kita capai saat ini?

Ada baiknya, kita mulai belajar memilih, mana yang benar baik untuk kehidupan anak, mana yang merupakan pembalasan dendam kehidupan kita sendiri.  Belajar mencintai anak, sebagaimana seharusnya cinta itu diwujudkan.  Tidak berlindung dibalik kata cinta, lalu menggunakan kehidupan anak sebagai kepanjangan hidup kita sendiri, kemudian membentuk dan mewarnainya sesuai keinginan kita yang dulu tidak terpenuhi.  

Lebih berhati-hati dalam mewujudkan cinta, berlatih membedakan antara cinta dari ego yang mengatasnamakan cinta.  Merelakan anak belajar berjuang demi kehidupannya sendiri.  Seperti dulu kita yang harus jatuh bangun dan terluka, namun kita terus bangun dan berdiri tegak kembali, bukan?

Memang lebih mudah untuk terus menggendongnya, agar kita bisa menjamin ia akan selalu aman dalam pelukan, daripada melihat mereka belajar jatuh dan terluka.  Namun, sekuat dan selama apa tangan kita bisa menggendongnya?  Pada suatu masa, yang pasti akan terjadi, tangan kita akan terjatuh lunglai.   Anak akan terlepas paksa dari dalam gendongan.  Saat itu ia harus berlajar berjalan sendiri, menghadapi jatuh dan lukanya, dan kita... tidak ada lagi di situ untuk mendampinginya.  

Segalanya akan menjadi lebih berat bagi anak untuk mengerti caranya bangun dari kejatuhan, karena seumur hidupnya ia berada dalam buaian kita.  Kita tidak ada lagi di sisi untuk membimbingnya agar selalu bangun dan berdiri tegak kembali.  Semua aset yang pernah kita persiapkan untuk kehidupannya yang layak, tidak akan dapat dipertahankan oleh anak yang tidak tau caranya bangun dari kejatuhan.  Dan itu terjadi, karena ego berbulu cinta yang gagal kita kenali sebagai ego.

Semoga kita dapat lebih mawas diri dan tidak lelah mencoba belajar untuk mewujudkan cinta kita kepada orang-orang yang kita cintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun