Mohon tunggu...
Resti liyawati
Resti liyawati Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

saya adalah seorang mahasiswi di salah satu universitas di surakarta, hobby saya berjalan mendaki gunung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Terhadap Istri yang Keluar dari Agama Islam

6 Maret 2023   22:55 Diperbarui: 6 Maret 2023   22:57 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak Terhadap Isteri Yang Keluar Dari Agama           Islam
Penulis: Zulfa Efendi, M. Pd. I
Penerbit: STAIN SULTAN ABDURRAHAMAN PRESS
Tahun Terbit: 2019

Hak Asuh Anak (hadhanah)

Hadhanah berasal dari kata "hidnan" yang berarti lambung. Seperti ungkapan "hadhana ath-thaairu baidhahu", seekor burung memegang telur di bawah sayapnya seperti seorang wanita (ibu) memegang anaknya. Mengasuh anak disebut "hadhanah" dalam bahasa Arab. Tujuannya untuk mengasuh dan melatih atau membesarkan bayi/anak  yang belum mampu mengurus dan mengatur diri sendiri. Para ahli hukum mendefinisikan "al-hadhn" sebagai anak kecil laki-laki atau perempuan atau orang yang kurang akal dan tidak dapat membedakan keduanya. 

Ensiklopedia Hukum Islam menjelaskan bahwa hadhanah mengurus bayi atau anak normal yang tidak hidup atau tidak dapat hidup mandiri yaitu memenuhi kebutuhannya, melindunginya dari hal-hal yang merugikan, memberikan pendidikan jasmani dan rohani, mengembangkan perkembangan intelektual. keterampilan sehingga mereka dapat bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan hashana dan kafalah secara sederhana adalah "peduli" atau "peduli". Dalam arti yang lebih lengkap, ini adalah dukungan dari anak-anak kecil setelah  putusnya pernikahan. Hal ini disebutkan dalam fikih karena dalam praktiknya suami  istri berpisah ketika anak membutuhkan bantuan  ayah dan/atau ibu.1
 

Hadhanah adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak  dengan sebaik-baiknya. Pengasuhan ini meliputi urusan pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar anak. Dari pengertian hadhana di atas, dapat disimpulkan bahwa hadhana meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
 1. Pendidikan
 2. Kesesuaian kebutuhan
 3. Umur (yaitu bahwa hadhana diberikan kepada anak sampai dengan umur tertentu).
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa, "Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya". M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah:
Tanggungjawab orangtua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.
Tanggungjawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat kontiniu (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.
Dari pengertian pemeliharaan-pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah mencakup segala kebutuhan anak, jasmani dan rohani. Sehingga termasuk pemeliharaan anak adalah mengembangkan jiwa intelektual anak melalui pendidikan.
Dasar Hukum Hadhanah
Menurut para ulama : Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah :

Artinya: Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. (Qs. Al-Baqarah: 233).
Hadhanah Menurut Hukum Positif
Suami-istri wajib merawat dan memelihara anak-anaknya, tumbuh kembang jasmani, rohani, kecerdasan dan pendidikan agamanya. Suami bertanggung jawab atas biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan dan pendidikan anak sesuai dengan penghasilannya. Batas Usia Tugas. dari kedua orang tua berlaku selama anak tersebut menikah atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu tetap berlaku meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus. Batasan usia anak yang menjadi tanggungan/dewasa adalah 21 tahun. Jika anak tersebut tidak cacat fisik/mental dan belum menikah. Dalam kasus perceraian, hak asuh anak di bawah usia dewasa (masih 12 tahun) adalah hak ibu, begitu anak mencapai usia dewasa, ayah tinggal memilih. atau ibu sebagai pemilik hak asuh. Tunjangan anak tetap ditanggung oleh sang ayah, semua biaya tunjangan dan pemeliharaan tetap menjadi tanggung jawab sang ayah kepada anak-anaknya yang berusia di bawah 21 tahun sesuai dengan kemampuannya.
Tugas dan kewajiban orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 26 Undang-Undang. Tujuan perlindungan anak adalah membesarkan, mengasuh, mendidik, dan melindunginya. Kembangkan sesuai kemampuan, bakat dan minat serta cegah pernikahan dini. Jika orang tua tidak ada atau tidak dapat memenuhi tugas dan tanggung jawabnya karena alasan apapun, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarga. Namun, jika orang tua mengabaikan tanggung jawabnya, tindakan kontrol dapat dilakukan dan bahkan otoritas dapat diambil dari orang tua dengan perintah pengadilan.  Permohonan penetapan pengadilan dapat dimintakan oleh salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga.
Surat kuasa orang tua juga dapat dicabut oleh pejabat atau lembaga yang berwenang, dalam hal pengadilan dapat menunjuk seseorang (harus seiman) atau lembaga negara/masyarakat sebagai wali. Dalam syarat37 juga harus diperhatikan bahwa perwalian tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya, juga tidak menghilangkan kewajiban orang tua untuk menjaga anaknya dan menyebutkan batas waktu penarikan. Di antara asas penyelenggaraan perlindungan anak juga terdapat asas kepentingan yang terbaik bagi anak, yang artinya dalam segala tindakan yang menyangkut dirinya harus diperhatikan kepentingannya di atas segalanya . Lembaga sosial harus menjamin bahwa setiap anak beribadah kepada ibadahnya menurut miliknya sendiri. Agama dan sebelum seorang anak dapat menentukan pilihannya, ia harus mengikuti agama orang tuanya. Perlindungan meliputi pembinaan, pengajaran dan pengamalan pelajaran agama . Anak dapat menentukan agama pilihannya apabila ia bijaksana dan bertanggung jawab serta memenuhi persyaratan dan tata cara agama pilihannya dan ketentuan undang-undang.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
 Dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.
 Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
 1) Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
 2) Ayah;
 3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah ;
4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
 6) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Hak Hadhanah Isteri Non-Muslim
Syafi'iyah dan Hanabilah menegaskan bahwa seorang wanita yang melakukan hadhana haruslah seorang Muslim, seorang wanita yang tidak beriman tidak memiliki hak atau otoritas atas seorang anak Muslim karena itu mempengaruhi agama anak tersebut. Padahal menurut Zakariya al-Anshary, hadhana seorang ibu yang tidak setia diterima karena dia berhak mendapatkannya. Menurut Al-Istakhri, seorang ibu kafir Zimmi memiliki hak lebih atas anak daripada seorang ayah Muslim sampai anak berusia 7 tahun, setelah itu sang ayah memiliki hak, seperti halnya anak kafir Zimmi di Hashana sebagai seorang Muslim. anak, ibu lebih berhak atas dirinya. Namun, jika seorang anak menggambarkan dirinya sebagai seorang Muslim, seorang kafir dirampok darinya, terlepas dari apakah Islamnya benar atau tidak.
Menurut Muhyiddin al-Nawawi, hadhana tidak boleh diberikan kepada seorang kafir karena dia bukan seorang yang beriman. Anak itu tidak akan datang, itu akan merugikan agamanya dan itu adalah kerugian yang paling besar. Menurutnya, hadits yang didasarkan pada Abu Hanifah, Ibnu Qasim al-Maliky dan Abu Tsauri dibatalkan karena mayoritas sepakat bahwa harta seorang muslim tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Hadits ini dapat menjadi dalil menurut mata rantai periwayatan, namun dalil memiliki dua standar, yaitu ibu yang kafir dan hak (anak) untuk memilih. Menurut Al-Sayyid al-Sabiq, wanita non-Muslim tidak memiliki hak untuk hadhana, tetapi kelompok Hanafi Ibnu Qasim, bahkan Maliki dan Abu Tsaur percaya bahwa pengasuh yang tidak beriman tetap dapat melakukan hadhana, meskipun anaknya beragama Islam. Karena hadhana tidak lain hanyalah merawatnya dan pelayanan, orang kafir dapat melakukan keduanya. Namun, sekte Hanafi menetapkan bahwa kekafirannya bukan karena kemurtadan, karena untuk kemurtadan seorang kafir dapat dipenjara sampai dia bertaubat dan kembali ke Islam atau meninggal di penjara, dan karena itu tidak dapat diberikan kesempatan untuk membesarkan anak kecil. kecuali dia bertobat dan kembali ke Islam.
Status Hukum Perkawinan Orang Murtad.
Dalam Peraturan, Undang-Undang mengatur mengenai murtad hanya spesifik pada perkara murtad yang bisa menjadi alasan perceraian sesuai dengan Pasal 75 KHI (Kompilasi Hukum Islam) mengenai keputusan:
1) Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad.
2) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
3) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekuatan hukum yang tetap. Mengenai murtad dapat menjadi alasan-alasan perceraian sebagaimana yang diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf k peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.. Putusnya Perkawinan Karena Murtad

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun