Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Front Pembela Republik Indonesia Berdaulat (FPRIB)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tolak Utang Najis Obligasi Rekap BLBI Dalam APBN RI

12 Februari 2015   06:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Well... tulisan berjudul: Tolak Utang Najis Obligasi Rekap BLBI Dalam APBN RI, adalah merupakan lanjutan dari tulisan saya pada bagian pertama, saya ingin mengajak kita semua merenungkan tentang masa depan Indonesia, khususnya pada saat ini. Ketahuilah, betapa bangsa ini telah terjebak dalam kubangan utang yang entah kapan bisa dilunasi. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sebab, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mewarisi utang luar negeri dari pemerintahan sebelumnya, dimana jumlahnya menurut data Bank Indonesia, hingga akhir Juni 2014 tercatat sebesar Rp.3.133,90 triliun. Dapat dipastikan jumlah utang luar negeri ini akan semakin meningkat jika Presiden Joko Widodo dalam memenuhi janji-janji kampanyenya meniru cara atau kebijakan presiden terdahulu, yaitu membuat utang baru. Kecenderungan ini bukan tanpa alasan... mencermati rekam jejak Jokowi ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta, hanya dalam waktu dua tahun, Jokowi telah membebani provinsi DKI Jakarta denganutang luar negeri sebesar Rp.35 triliun. Dana asing itu digunakan untuk membiayai berbagai megaproyek di Jakarta (Baca juga: Jokowi buat utang baru bagi Jakarta).

Utang luar negeri yang semakin meningkat ini juga dapat dipastikan, jika benar berita yang dilansir oleh detik.com bahwa Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) bakal menyuntikkan dana sebesar US$ 1,5 miliar atau Rp 18 triliun pada 2015 kepada Indonesia. Dana tersebut di antaranya untuk mendukung proyek-proyek di bidang kemaritiman yang diusung Presiden Joko Widodo.

Sulit untuk kita membatahnya, bahwa republik dan rakyat bangsa ini telah tenggelam ke dalam kubangan “utang najis” dan “utang kriminal”. Semakin bangkit dan berusaha keluar dari jebakan utang ini, semakin dalam kubangan utangnya. Seperti orang yang tercebur dalam aliran lumpur hisap, semakin berusaha melepaskan diri dari hisapan lumpur, maka semakin dalam lumpur itu menenggelamkannya.

Utang Najis dan Kriminal

Berbicara mengenai konsepsi utang, ada pendapat yang sangat radiks, mendasar yang dikemukakan oleh Dr. Revrisond Baswir. Dia mengatakan, bahwa selama ini banyak yang tidak menyadari bahwa konsepsi utang yang dianut oleh pemerintah Indonesia cenderung sangat didominasi oleh pandangan para ekonom neoliberal. Dimana pembuatan utang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: Pertama, untuk menutup kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap). Kedua, khusus untuk utang luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh berbagai paket pinjaman yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral tersebut.

Berdasarkan kedua tujuan itu, menurut Dr. Revrisond Baswir, jelas sekali kelihatan betapa konsepsi utang para ekonom neoliberal tersebut sangat dipengaruhi oleh paradigma pembangunan ekonomi yang mereka anut. Dalam pandangan para ekonom neoliberal, pembangunan memang cenderung tumpang tindih dengan pertumbuhan ekonomi, kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan ekonomi di atas pemerataan. Sebagaimana sering mereka kemukakan, jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?.

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, diakui atau tidak, ekonom neoliberal sesungguhnya dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas berbagai pertimbangan lainnya. Dalam bahasa sederhana, paradigma pembangunan ekonom neoliberal pada dasarnya bertumpu pada semboyan,investor first, people second.Kecenderungan inilah antara lain yang dibahasakan melalui ungkapanbersahabat dengan pasar,yang sangat populer tersebut (Dr.Revrisond Baswir).

Artinya, keputusan-keputusan ekonomi para ekonom neoliberal, mulai dari menyusun kabinet, memilih orientasi kebijakan, dan merumuskan program, pertama-tama harus dilihat dari sudut pengaruhnya terhadap kepercayaanpara investor. Setiap keputusan ekonomi yang mendapat respon negatif dari para investor, harus segera dihentikan.

Dapatlah dipahami dan dimengerti, jika ekonom seperti Dr. Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Ichsanuddin Noorsy, dan Dr. Hendri Saparini yang cenderung menganut paham ekonomi konstitusi, tidak mendapat tempat dan kesempatan untuk duduk di jajaran kabinet pemerintahan yang menganut paham ekonomi neoliberal ini.

Kembali ke masalah utang luar negeri Indonesia. Ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Patricia Adams yang mengistilahkan dua kategori utang, yakni “utang najis” (odious debt) dan utang kriminal. Indonesia terjebak dalam kedua jenis utang itu. Utang luar negeri, baik melalui skema Bank Dunia, antarpemerintah, maupun skema lainnya, telah menjadi utang najis karena uangnya dihambur-hamburkan untuk pembiayaan berbagai program pemerintah yang boros dan penuh penyelewengan dan korupsi. Termasuk, untuk “menggelembungkan” birokrasi dan memberikan fasilitas berlebih kepada pejabat negara, elite politik, dan pengusaha kroni. Artinya, utang itu adalah najis bagi seluruh rakyat bangsa ini untuk membayarnya. Utang itu adalah utang rejim yang berkuasa.

Sedangkan utang kriminal bisa meliputi pula utang dalam negeri. Utang kriminal semacam itu jelas sekali terlihat dalam kasus megaskandal korupsi BLBI. Terkait hal ini, pada akhir pemerintahan Megawati sebuah badan evaluasi independen di dalam tubuh IMF yang bernama Independent Evaluation Office mengakui bahwa IMF telah melakukan banyak kesalahan di Indonesia. Salah satu kesalahan yang paling mencolok ialah dengan ditutupnya 16 bank tanpa persiapan yang matang dengan akibat BLBI sebesar Rp 144 trilyun dari BI ditambah Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebesar Rp 430 trilyun beserta kewajiban pembayaran bunganya dengan jumlah Rp 600 trilyun. Jadi total seluruh beban adalah Rp 144 trilyun BLBI + Rp 430 trilyun Obligasi Rekap (OR) + Rp 600 trilyun beban bunganya, atau keseluruhannya menjadi Rp 1.174 trilyun.Wow...bayangkan entah kapan utang sebanyak itu bisa dibayar lunaskan? (Baca: Kwik Kian Gie)

Konsep utang najis dan kriminal di atas tidak datang dari negeri antah berantah, melainkan dibangun berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi di masa lalu. Sebagaimana dikemukakan Adams, negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu adalah Amerika Serikat (AS), yaitu ketika negara itu mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol tahun 1898, menyusul beralihnya penguasaan Cuba dari Spanyol ke tangan AS, maka pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggungjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat semasa pemerintahan pendudukan Spanyol itu kepada AS.

Tetapi AS secara tegas menolak pelimpahan tanggungjawab untuk melunasiutang-utang Cubatersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, AS antara lain mengatakan,They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.Sebab itu, AS berpendapat, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.

Merujuk konsep utang najis tersebut di atas, dapat disaksikan bahwa sesungguhnya terbuka peluang yang sangat lebar bagi pemerintahan Indonesia pasca Soeharto, khususnya pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini untuk setidak-tidaknya tidak membayar seluruh utang luar negeri yang dibuat semasa rezim Soeharto. Sebagaimana diketahui, rezim Soeharto yang terguling pada tanggal 21 Mei 1998 itu, yaitu menyusul berlangsungnya perlawanan panjang mahasiswa sejak pertengahan 1990, adalah sebuah rezim yang otoriter dan korup (baca juga: Utang DanImperialisme).

Sebagai sebuah rezim yang otoriter, pemerintahan Soeharto seringkali membuat utang secara bertentangan dengan kepentingan rakyat. Sebaliknya, tidak jarang pemerintahan Soeharto justru membuat utang untuk menindas rakyat. Bahkan, sebagai sebuah rezim yang korup, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto, justru diselewengkan oleh para pejabatnya untuk memperkaya diri mereka sendiri dan para kroninya. Dalam taksiran Bank Dunia, volume utang luar negeri yang diselewengkan rezim Soeharto meliputi sekitar 20 - 30 persen dari total utang luar negeri yang dibuat rezim tersebut (World Bank, 1997)
.

Tidak terbantahkan, bahwa karena sebagian utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto tidak dinikmati oleh rakyat bangsa ini, sesungguhnya tidak ada sedikit pun alasan bagi setiap pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto untuk mensosialisasikan dampak beban utang najis tersebut kepada rakyat banyak. Sebaliknya, menurut Dr. Revrisond Baswir, adalah kewajiban setiap pemerintahan yang memihak kepada rakyat untuk meminta pertanggungjawaban para kreditur atas kesalahan mereka menyalurkan utang-utang itu. Caranya tentu bukan dengan meminta penjadualan ulang (debt reschedulling), melainkan dengan meminta pemotongan utang (debt reduction). Nah, bersediakah Presiden Joko Widodo dan DPR mengambil langkah ini untuk menuntaskan masalah utang luar negeri dan OR BLBI tersebut?.... (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun