Mohon tunggu...
Resti MaulinaChusnul
Resti MaulinaChusnul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

olahraga dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perairan yang Mendidih: Mengupas Konflik Laut China Selatan (LCS) Menuju Indonesia Maju

30 Mei 2024   16:03 Diperbarui: 30 Mei 2024   20:56 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Resti Maulina C. C

            

          Laut China Selatan, yang juga dikenal sebagai Laut Tiongkok Selatan, adalah bagian dari perairan tepi Samudra Pasifik yang memanjang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan, dengan luas wilayah mencapai sekitar 3.500.000 km persegi. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah, serta posisinya yang strategis sebagai jalur perdagangan internasional, menjadikannya pusat perhatian global. Namun, dibalik keindahannya, laut ini juga menjadi sumber konflik yang kompleks, terutama berkaitan dengan klaim wilayah maritim yang diperebutkan antara negara-negara di sekitarnya. Republik Rakyat Tiongkok telah menegaskan klaimnya atas wilayah ini dengan menggunakan konsep "Sembilan Garis Putus-Putus", yang telah memicu ketegangan yang meningkat antara negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia, yang berbagi perbatasan maritim dengan wilayah tersebut.

         Ancaman perselisihan di Laut China Selatan bukan sekadar isu geopolitik belaka, melainkan juga berdampak secara langsung terhadap kedaulatan negara, keamanan maritim, dan kelangsungan ekonomi di Indonesia. Ketegangan muncul di Laut China Selatan ketika China menekankan untuk menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas alam di wilayah yang mereka klaim. Reuters, sebuah media Internasional berbasis di London, Inggris memberitakan bahwa China telah memperkuat klaimnya terhadap perairan di sekitar Kepulauan Natuna, yang secara sejarah merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

        Menanggapi hal tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengeluarkan pernyataan keras menolak klaim China dan mempertegas integritas wilayah Indonesia. Indonesia telah dengan tegas menyatakan bahwa bagian ujung selatan Laut China Selatan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang dikenal sebagai Laut Natuna Utara.  Namun, China menolak perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur tersebut termasuk dalam klaim teritorialnya di Laut China Selatan. Sengketa di Laut China Selatan telah terjadi sejak 1947. Dasar klaim China atas seluruh kawasan Laut China Selatan adalah garis sembilan putus-putus atau ninedash-line.

        Pakar hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Ari Afriyansah, menyampaikan pandangannya dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun TV swasta mengenai konflik di Natuna. Afriyansah menilai bahwa China semakin menunjukkan sikap asertifnya terhadap klaim teritorial di Laut Cina Selatan, khususnya di Natuna. Namun, menurutnya, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak mengambil tindakan reaktif seperti bernegosiasi atau membawa sengketa ini ke pengadilan internasional. Afriyansah mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tindakan reaktif semacam itu bisa diartikan sebagai pengakuan Indonesia terhadap klaim China.

        Dalam rangka menjaga kedaulatan dan mengelola konflik di Laut Cina Selatan (LCS), pendekatan diplomatis sangat diperlukan. Sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memajukan proses negosiasi Code of Conduct (CoC) terkait LCS. Perlu dikembangkan strategi khusus untuk memastikan hak dan kepentingan negara-negara ASEAN dijaga dalam sengketa LCS. Presiden Jokowi telah menyiapkan strategi terkait sengketa LCS, dengan fokus pada kepatuhan terhadap UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Beliau bahkan memperingatkan China atas klaim LCS yang tidak memiliki dasar hukum, menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap hukum internasional.

        Meskipun Indonesia tidak secara langsung terlibat dalam perselisihan atas kedaulatan di LCS, namun keprihatinan tetap timbul atas klaim tak beralasan China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna Utara. Indonesia secara sungguh-sungguh mendukung upaya untuk segera mewujudkan Code of Conduct (CoC), dengan harapan LCS dapat menjadi kawasan yang stabil, damai, dan sejahtera. Kendati seringkali terjadi pelanggaran oleh kapal asing di Natuna Utara, Indonesia belum menggerakkan kapal perang TNI AL untuk menangani masalah tersebut. Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Laksdya Irvansyah, kehadiran TNI AL tidak selalu diperlukan dalam pertahanan LCS karena mayoritas pelanggaran dilakukan oleh kapal sipil. Ia menyarankan agar lebih tepat memprioritaskan penggunaan kapal coast guard daripada kapal perang TNI AL di LCS, mengingat kapal-kapal sipil menjadi penyebab utama pelanggaran saat ini.

        Selain itu, Indonesia memiliki hak atas Laut Natuna sesuai dengan UNCLOS 1982, yang memberikan kedaulatan atas perairan 12 mil laut dan kontrol ekonomi hingga 200 mil laut. Hal Ini menunjukkan kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional. Meskipun demikian, penting untuk memperhatikan kompleksitas klaim wilayah di Laut Cina Selatan dan menekankan pentingnya dialog, diplomasi, dan penyelesaian damai berdasarkan hukum internasional. Dengan mengutamakan dialog dan kerja sama regional, Indonesia berupaya menjaga stabilitas dan kedamaian di kawasan, sambil menegakkan kepatuhan terhadap hukum internasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun