Setiap dari kita pasti punya kampung halaman yang berasal dari orang tua atau para leluhur. Sebagai masyarakat agraris pada umumnya para leluhur berasal dari pedesaan. Pertumbuhan kota menyebabkan urbanisasi seperti laron yang selalu mendatangi sinar lampu yang terang. Kota dianggap lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Anak anak muda berpindah ke kota dan desa hanya diisi oleh orang tua atau kakek dan nenek serta beberapa kerabat. Kunjungan ke kampung halaman hanya pada saat tertentu mengakibatkan ikatan dengan kampung halaman memudar , terutama bagi keturunan selanjutnya seperti cucu,cicit,buyut dan seterusnya.
Seiring dengan berjalannya waktu hubungan kekerabatan juga mulai merenggang. Ketika orang tua atau kakek nenek meninggal biasanya kunjungan kekampung halaman juga mulai berkurang hingga akhirnya tidak sama sekali. Generasi baru yang lahir kemudian sering tidak tahu bahwa mereka memiliki kerabat dan kampung halaman disuatu tempat yang terkadang belum pernah mereka lihat dipeta. Kesibukan semakin menjauhkan hubungan itu.
Bapak saya berasal dari sebuah desa di Purworejo Jawa tengah. Ketika eyang masih hidup bisa dipastikan setiap lebaran kami akan pulang kampung. Ibu saya berasal dari sebuah desa di lereng gunung Lawu. Dalam satu perjalanan kami akan mengunjungi kedua tempat ini. Begitu eyang dari ibu meninggal kunjungan ke desa yang sejuk itu menjadi berkurang. Setelah kakak ibu satu satunya meninggal sejak itu kami tidak pernah lagi berkunjung kesana. Ketika eyang dari pihak bapak meninggal kewajiban pulang kampung tidak lagi ada. Jika bapak ingin pulang kampung karena rindu hawa pedesaan barulah kami menemani. Semakin lama kunjungan juga semakin berkurang.
Eyang  kami dari pihak bapak memiliki sawah yang terhitung luas. Sepeninggal eyang maka tanah tanah itu dibagi waris. Sebelum tanah dibagi sesuai hak maka diberitahukan dahulu pesan leluhur yang diwasiatkan secara turun temurun. Pesan itu menyatakan bahwa tanah tanah itu tidak boleh dijual kepada orang luar. Jika karena sesuatu hal yang mengharuskan tanah tanah itu dilepas maka hanya boleh dijual kepada keluarga besar inti artinya harus ditawarkan kepada keluarga kandung dari pihak bapak terlebih dahulu.
Jika tidak ada yang mau membeli karena ketiadaan dana baru diijinkan kepada keluarga besar dari pihak eyang atau sepupu dari bapak. Begitu seterusnya. Ada yang mengeluh bahwa aturan ini merugikan karena tidak bisa menjual kesembarang orang padahal butuh dana cepat sedangkan keluarga besar belum tentu punya dana. Meski begitu tidak ada yang berani melawan wasiat tersebut karena kakek buyut yang berwasiat itu dikenal sebagai 'orang yang berilmu'. Dipatuhi semua perintahnya dan disegani oleh seluruh keluarga besar. Semua takut kuwalat.
Wasiat ini menurut saya memang luar biasa, kearifan pemikiran yang jauh kedepan. Tidak saja menjaga agar tanah tanah tersebut tetap terjaga tapi juga menjaga ikatan dengan kampung halaman. Tanah tanah itu, yang seluruhnya sawah, sampai sekarang masih tetap produktif. Ada anggota keluarga yang ditunjuk untuk mengurus mulai dari tanam hingga membagi hasil. Komunikasi antar keluarga tetap terjalin. Kunjungan kekampung halaman juga menjadi agenda rutin.
Seandainya tidak ada wasiat itu bisa dipastikan semua tanah akan terlepas. Padahal dahulu eyang kami mengumpulkan dengan kerja keras. Dengan tetap menjaga sebagai milik keluarga  berarti kami juga menghargai jerih payah mereka. Selain itu kami juga masih berhubungan dengan kampung halaman, meski tidak semua anggota keluarga rutin pulang, tapi selalu ada perwakilan.Â
Saya hanya bisa berharap bahwa wasiat ini terus dipegang oleh generasi selanjutnya. Bukan hanya untuk mempererat ikatan kekerabatan dan kampung halaman tapi juga mengingatkan bahwa mereka berakar dari sebuah desa kecil di Purworejo Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H