Mobil pasar bak terbuka berjalan terseok-seok melintas aspal yg masih basah oleh embun. Penumpangnya sebagian besar adalah pedagang kelas teri; para perempuan. Mereka berkutat mencari beberapa suap nasi. Bangun dan mulai bekerja sejak subuh ketika orang sedang lelap tertidur.
Di tempat lain para buruh pabrik yg sebagian besar juga perempuan mengusap peluh yg dipaksa keluar dari pori2 oleh panasnya hawa mesin. Di luar, di jalan2 sebuah perumahan, perempuan menyapu setiap inci jalan sembari menyapu kerasnya hidup dan pandangan merendahkan. Mereka semua hanya mencari sesuap nasi.
Aku seorang laki-laki. Tapi jika aku berada di posisi kaum perempuan, aku akan merasa betapa beratnya hidup ini. Mereka bekerja sebagaimana laki-laki, bahkan terkadang bekerja dengan lebih berat; mereka juga merawat anak2nya yg jadi tumpuan sebuah bangsa dengan penuh kasih sayang; mereka melahirkan yg terkadang dalam prosesnya harus mempertaruhkan nyawa; mereka melayani suami pada malam hari ketika badannya lelah bukan main; mereka bersedia memasang spiral demi menahan laju pertambahan penduduk meski terkadang harus mengalami pendarahan (terkadang, karena ganasnya suami, meski sudah dipasang spiral masih juga terjadi kehamilan di luar kandungan!); dan uniknya....mereka juga masih direndahkan. Berat sekali menjadi perempuan.
Dalam surat-suratnya kepada seorang Belanda, Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyampaikan pergulatan pemikirannya. Dia berontak, walau pada akhirnya kalah juga. Kartini mirip dengan apa yg dikatakan Chairil Anwar: menunda kekalahan sebelum pada akhirnya menyerah.
Sepertinya jalan panjang untuk sekedar dihargai dengan tulus masih akan terus dihadapi oleh kaum perempuan di negeri ini. Dan jalan itu akan semakin panjang jika masih banyak perempuan yg ingin secara mudah mencari uang dengan mengandalkan fisiknya, memaksa suami untuk melakukan korupsi, atau....bersikap yang seolah-olah menempelkan sebuah tulisan di jidatnya: hina kami!
Kartini tidak tahu bahwa gelap belum habis dan terang belum tiba dalam dunia kaum perempuan Indonesia. Kita tidak perlu mendalami feminisme dan pergulatan gender. Kita hanya perlu menghargai, kita hanya perlu menghormati; toh antara laki-laki dan perempuan secara substansial adalah sederajat. Tuhan tidak menciptakan perempuan sebagai warga kelas dua. Tuhan menciptakan perempuan sebagai partner laki-laki untuk menghadapi hidup yg semakin kusam, kusut dan liar.
Gelap pasti habis, dan terang pasti datang. Saat itu tiba...mari kita rayakan sebuah kemenangan baru bagi kemanusiaan. Kemenangan yg menghargai manusia layaknya manusia.
Mobil pasar bak terbuka berjalan terseok-seok melintas aspal yg masih basah oleh embun. Para penumpangnya sebagian besar adalah perempuan yg sejak pagi buta rela bercampur dengan bau dan kotoran. Mungkin sesekali mereka mengeluh. Tapi coba perhatikan dengan seksama sinar mata mereka: semangatnya selalu nyala!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H