Kata "orang awam" pd judul tidak lain adalah utk menunjuk pd diri saya sendiri. Dan sebagai orang awam, boleh dong kalo saya merasa prihatin dng banyaknya saudara2 Muslim yang menyampaikan hadits secara "gampangan" dimana saja. Dan jika Anda memiliki akun Facebook atau Twitter, liat aja bgmn tmn2 Anda melakukannya hampir setiap hari.
Mungkin bagus menyampaikan nasihat, salah satunya dengan menyampaikan hadits. Hanya saja, kita selalu mesti kembali pada prinsip bahwa tujuan jangan sampai bertentangan dengan cara. Menyampaikan hadits bagus, namun mesti dilihat dulu bagaimana kualitas haditsnya. Yang seringkali bikin saya prihatin adalah banyak teman2 Muslim yang menyampaikan hadits2 yang bernuansa deskriminatif dan intimidatif. Dan tampaknya mrk sngt senang, bangga atau merasa lebih tahu dng menyampaikan hadits2 itu. Oh my! Jngn2 mrk sama awamnya dng saya.
Seperti kita tahu bahwa hadits bersumber pada Nabi Muhammad. Sementara kita, melalui sejarah, juga paham betul bahwa Nabi Muhammad merupakan figur yang anti terhadap deskriminasi. Jika Nabi anti terhadap deskriminasi, lalu terdapat hadits yang berbahasa deskriminatif, maka itu artinya (jangan2) hadits tersebut palsu.
Dalam bukunya, Harun Nasution mengidentifikasikan bahwa salah satu sosok parawi hadits paling produktif adalah Bukhari. Banyak umat Muslim yang mengutip hadits shahihnya. Namun menurut Harun Nasution, dari 600.000 (enam ratus ribu) hadits yang disampaikan Bukhari, hanya 3.000 (tiga ribu) saja yang bisa dianggap orisinil. Bayangkan, jumlah tsb hanya setengah persennya!
Pendapat paling kritis muncul dari Ali Syariati, seorang sarjana Muslim dari Iran. Menurut Ali, banyak hadits yang lahir tidak benar2 dari Nabi, melainkan diproduksi utk kepentingan politik dan ekonomi penguasa Islam, dimulai pada dinasti Bani Umayyah. Seperti diketahui bhw Abu Hurairah merupakan sosok yang paling banyak meriwayatkan hadits. Padahal dalam sejarah dikatakan bahwa pergaulan Abu Hurairah kepada Nabi hanya berkisar satu thn. Ukuran waktu yang sangat singkat. Sehingga tidak wajar jika dalam waktu yang relatif singkat itu Abu Hurairah meriwayatkan hadits yang begitu banyak. Sementara sahabat Nabi lain yang sejak awal mendampingi tidak mengeluarkan hadits sebanyak Abu Hurairah. Ali syari'ati mengklaim bahwa Abu Hurairah, juga Abu Darda dan Abu Musa, tidak disangsikan telah memproduksi banyak hadits utk kepentingan penguasa Dinasti Umayyah. Dan dalam sejarah memang ketiga nama parawi hadits besar ini begitu mulia di dalam kerajaan dinasti Umayyah.
Gugatan keabsahan dan validitas hadits Abu Hurairah ternyata disampaikan juga oleh tokoh2 lain. Abu Ruyyah, Muhammad al-Gahazali dan Musthafa al-‘Azami juga mempertanyakannya. Bahkan menurut Jalaluddin Rakhmat (kang Jalal), Abu Hurairah adalah parawi yang bersifat tadlis, atau parawi yang tidak dipercaya.
Baik, mari lihat fakta yang sekarang terjadi yang menjadi dasar dibuatnya artikel pop ini. Seringkali di dinding situs jejaring sosial teman2 Muslim menyampaikan hadits yang bersifat deskriminatif dan intimidatif terhadap kaum perempuan atau kpd kaum minoritas sempalan. Deskriminasi dan intimidasi thd perempuan misalnya, beberapa hadits kerap berseliweran yang mengidentikan perempuan dengan neraka, sesuatu yang haram, pangkal dari zina, sosok yang rendah dan tidak lengkap, mirip dengan iblis, tidak bisa menjadi pemimpin, tidak pantas menjadi mitra, dan sederet istilah horor dan steotipe-stereotipe yang kurang bersahabat lainnya terhadap perempuan. Wajarkah Islam sbg agama yang adil, agama yg rahmat bagi semesta alam, membuat klaim2 yang merendahkan seperti itu? Jawabannya tidak.
Sumber hukum utama Islam adalah Al-Quran. Segala yang bertentangan dengan Al-Quran akan ditolak. Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, fungsinya adalah sebagai bayan atau penjelas ayat2 Al-Quran. Namun demikian posisi hadits mesti dipulangkan kembali kpd Al-Quran; jika bertentangan maka wajib hadits itu ditolak. Karena tidak mungkin hukumnya mengambil hadits yang bertentangan dengan Al-Quran, krn itu sama saja dengan menolak Al-Quran.
Di dalam Al-Quran, Islam memuliakan kaum perempuan, sebagaimana Islam memuliakan kaum laki2. Surat Al-Baqarah ayat 35, misalnya, mengatakan: "Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim".
Pada ayat di atas jelas terlihat bahwa Allah memuliakan Adam sebagaimana Dia juga memuliakan Siti Hawa. Keduanya mendapat hak yang sama utk mendiami "surga" dan menikmati fasilitasnya tanpa ada perbedaan. Kelanjutan dari ayat di atas adalah diusirnya Adam dan Hawa dari "surga" karena memakan "buah terlarang." Menurut beberapa hadits, Adam memakan "buah terlarang" adalah karena godaan Hawa. Padahal jelas2 keduanya (Adam dan Hawa) memakan "buah terlarang" itu karena godaan iblis. Dan Allah pasti tahu itu akan terjadi.
Berseliwerannya hadits2 yang sangat diragukan kebenarannya di dinding2 situs jejaring sosial menunjukan kurangnya pemahaman kita thd kualitas hadits dan masih tingginya diskriminsi terhadap perempuan. Padahal, Islam itu agama yang adil; sementara secara terang benderang diskriminasi berbasis kelamin itu tidak adil. Seseorang tak pernah bisa memilih lahir dengan kelamin apa—laki-laki atau perempuan. Namun, sebagian orang tetap berpendirian bahwa perempuan adalah manusia tak sempurna; separuh diri perempuan adalah manusia, dan separuhnya yang lain merupakan setan yang mengganggu keimanan laki-laki. Pandangan misoginis ini menghuni sebagian pikiran umat Islam, dulu dan sekarang.
Dan berbeda dengan Al-Qur’an, keotentikan hadits masih bisa dipersoalkan. Bukan utk tujuan mereduksi "keutuhan" Islam, melainkan utk memurnikannya dari tangan2 jahil kekuasaan manusia.
Namun sodara...saya hanya orang awam dalam hal ini. Lupakan saja ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H