Ada yang bilang bahwa media di Indonesia lebih senang menampilkan berita-berita buruk (bad news) di banding berita-berita baik (good news). Berita-berita buruk misalnya berita mengenai kekerasan, konflik, perang, terorisme, bencana, dan yang semacamnya. Iseng-iseng saya ingin membuktikan pernyataan itu. Ternyata tidak meleset.
Sejak mulai klik power TV, setiap channel yang saya lihat memang lebih banyak menampilkan berita-berita buruk, entah itu yang bersifat breaking news ataupun reportase dalam laporan khusus. Saya lihat berita-berita perselisihan antar warga, konflik horizontal di berbagai daerah, demonstrasi yang berujung rusuh, bencana alam, bentrok aparat dengan warga, kerusuhan di ruang sidang, dan lain-lain.
Infotainment juga termasuk berita. Mari cermati infotainment, maka kita akan segera melihat lebih banyak berita buruk yang tampil di dalamnya: perselisihan antar dua orang kekasih, putus cinta, perebutan hak asuh anak, atau perceraian. Ada sih berita mengenai perkawinan. Seharusnya perkawinan merupakan berita gembira. Tapi sayang media menyorot dari sisi yang negatif, misalnya kawin paksa, kawin tidak direstui orang tua, atau angle perkawinan buruk lainnya.
Padahal, masyarakat dapat maju jika masyarakat itu selalu disajikan kabar gembira atau berita bagus. Misalnya seorang siswa yang menonton berita pemberian beasiswa yang diterima siswa lain. Berita ini dapat memotivasi siswa itu untuk belajar lebih giat agar juga bisa mendapat beasiswa. Ini bagus sebagai modal dalam proses nation-building negeri ini. Atau berita mengenai penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih, berita mengenai betapa akrabnya polisi dengan masyarakat, berita tentang para pemilik perusahaan yang semangat melakukan community development, dan berita bagus lainnya. Semua hal itu jika disajikan secara intens, berkelanjutan dan bahkan mengalami repetition, akan mempengaruhi masyarakat untuk berpikir dan bertindak positif.
Loh yang terjadi kan sebaliknya. Berita buruk (bahkan kini mulai melanggar kode etik jurnalistik) selalu lebih banyak ditampilkan oleh media tanah air. Maka jadilah masyarakat kita menjadi masyarakat yang akrab dengan kekerasan, main hajar, suka mencemooh, dan sederet sikap buruk yang lain.
Tapi apa media salah 100% ketika menampilkan berita-berita buruk itu? Tidak juga. Media merupakan sebuah industri. Mereka butuh keuntungan untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya dan mencari profit dari bisnis itu. So, media kemudian "tunduk" kepada pengiklan dan penerimaan publik. Media menampilkan berita-berita buruk itu karena publik menyukainya dan iklan banyak masuk. Oleh sebab itulah media kemudian menganut "bad news is good news", berita yang buruk merupakan berita baik, paling tidak "baik" bagi keuntungan bisnis media. Makanya TPI kapok jadi televisi yang memprioritaskan tayangan pendidikan. Karena tidak laku.
Namun demikian, salah atau tidak, media mulai harus berani menyampaikan berita gembira dan tayangan-tayang positif lain jika ingin masyarakatnya cerdas dan memiliki kualitas yang unggul. Beban media memang besar kok. Karena besar, lebih baik beban itu sekalian saja diarahkan ke jalur yang konstruktif dengan menayangkan lebih banyak berita bagus. Paling tidak, tingkatkanlah sedikit dari sebelumnya.
Mohon maaf, kalau Anda menyukai tulisan ini, itu karena saya menuliskan materinya dengan angle "bad news".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H