Dalam pagelaran wayang ( kulit maupun wong ) pada adegan kerajaan , dalang selalu menggambarkan suasana kerajaan tersebut dengan ungkapan sebagai berikut: “Negara gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan ........dst. Punika sadaya awit kaprabawan luhuring Sang Nata kang hambeg berbudi bawa laksana,wicaksana , saha adil paramarta. Karana punika Sang Nata tansah sinuyudan dening para kawula dasih “ .
Ungkapan, yang sebetulnya adalah petunjuk bagi kita semua dan tentu terutama para pemimpin negara / pemerintahan , bahwa suatu negara akan makmur aman sentosa dan rakyatnya hidup sejahtera bila rajanya / pemimpinnya berbudi luhur, bijaksana dan selalu bertindak adil tidak pilih kasih. Raja / pemimpin yang berkarakter seperti itu pasti akan selalu disayangi oleh rakyatnya.
Raja / pemimpin yang berbudi luhur, bijaksana dan selalu bertindak adil itu dalam pengertian masyarakat Jawa dimaksudkan bila beliau mengetrapkan kepemimpinan dilandasi filosopi sebagaimana petuah kepemimpinan yang disebut “hasta brata”.Hasta berarti delapan sedangkan brata bermakna laku/lampah/sifat. Petuah ini diberikan oleh Rama Wijaya (titisan Wisnu) kepada Wibisana saat dinobatkan sebagai raja Alengka menggantikan kakaknya , Rahwana yang telah gugur melawan Rama Wijaya , dan juga oleh Kresna (titisan Wisnu) kepada Arjuna yang ditakdirkan akan menjadi pewaris yang menurunkan para raja. Inti petuah ini adalah mengajarkan hendaknya para raja / pemimpin dapat merasuk dan mengetrapkan sifat delapan benda alam dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni bumi, matahari, bulan, bintang, samodra, angin, air dan api.
Secara singkat pemimpin akan senantiasa berusaha mensejahterakan kehidupan warganya sebagaimana bumi menjadi tempat hidup dan kehidupan bagimanusia, hewan dan tumbuhan Dengan sabar namun pasti memberikan dorongan kekuatan kepada warganya untuk menapaki kehidupan sebagaimana matahari senantiasa memberi sinar kehidupan seluruh jagat raya. Memberikan ketenteraman dan harapan terlepas dari kesusahan hidup sebagaimana bulan memberikan suasana teduh sembari menyinarkan cahayanya dimalam gelap. Dapat menjadi panutan perikehidupan pribadinya sebagaimana bintang bersinar indah dan menjadi penunjuk arah bagi bahtera di malam hari. Sabar, lapang dada dan luas jangkauan pemahaman kemanusiaannya sehingga mampu memahami dan memberi solusi segala permasalahan warganya sebagaimana samodra yang luas dan menerima segala yang mengalir kepadanya tanpa mampu mengeruhkan airnya. Sifat angin yang lembut, merambah di segala ruang dan waktu memberi nafas kehidupan akan mengilhami pemimpin untuk berlaku penyayang , adil, siap dan selalu waspada menjaga kesejahteraan kehidupan warganya. Sedangkan air selalu mencari tempat yang rendah mengajarkan pemimpin semestinya selalu rendah hati, tidak sombong apalagi arogan menyakiti hati dan berlaku semena-mena. Namun juga harus meniru sifat api yang panas membara membakar apapun yang menyentuhnya, artinya tegas lugas tidak pandang bulu, rawe-rawe rantas malang-malang putung membela keyakinan atas perjuangannya membela kebenaran serta kedaulatan dan kewibawaan negara demi kesejahteraan warganya.
Kalau disimak adakah sekarang ini pemimpin kita yang mengerti dan mau mengetrapkan ajaran kepemimpinan hastabrata ini. Jika ukuran hasil kepemimpinan yang “ber-hastabrata” adalah negara yang gemah ripah loh jinawi ......dst, jelas negara kita masih jauh dari gambaran seperti itu. Karena kita menganut otonomi daerah, maka “negara” dapat dimaksudkan kabupaten, kota, propinsimaupun Republik Indonesia.
Karena pimpinan kabupaten, kota, propinsi dan Republik Indonesia ini harus dipilih langsung oleh rakyat maka sebagai pemilih rakyat harus benar-benar jeli untuk menentukan pilihannya. Pemilukada DKI Jakarta baru-baru ini mestinya bisa dijadikan contoh, pemilih tidak goyang oleh iming-iming imbalan ataupun isu negatif lain-lainnya. Celakanya pemilih kadang-kadang terpaksa harus memilih dari calon-calon pemimpin yang sesungguhnya dapat diperkirakan tidak akan bisa membuat “negara” gemah ripah loh jinawi karena terbelenggu oleh sistem pencalonannya. Bahwa pemilukada telah dapat memunculkan calon-calon independen sungguh menggembirakan, tetapi bagaimana dengan kepala pemerintahan/negara Republik Indonesia ? Selama calon pemimpin yang mengerti dan mau ‘ber-hastabrata” - yakin ada – tetapi tidak bisa dimunculkan karena kendala sistem tadi, rasanya negara gimah ripah ...... dst masih tetap berupa impian saja. Tetapi agar tidak putus asa masyarakat Jawa menciptakan harapan akan munculnya “satria piningit” , bahwa yang muncul “satria bergitar” ya tesenyum saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H