Mohon tunggu...
Resi Wahono
Resi Wahono Mohon Tunggu... -

Pensiunan - pemerhati budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menang Tanpa Mengalahkan

2 April 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 2443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Dalam melakoni kehidupan di dunia ini sebetulnya orang Jawa banyak mendapat tuntunan dari para pencerah, sujana ,ataupun cendekiawan yang telah meninggalkan hasil perenungannya berupa falsafah-falsafah kehidupan yang tetap relevan hingga saat ini.Dan karena merupakan tuntunan kehidupan yang menyangkut norma-norma bermasyarakat maka sebetulnya meliputi berbagai ilmu sosial antara lain menyangkut  komunikasi dan manajemen.
Kalau dalam ilmu manajemen kita mengenal istilah “win win solution” maka dalam falsafah Jawa kita mengenal/diajari apa yang sebaiknya dilakukan yakni “menang tanpa ngasorake”. Ke-dua  istilah ini  inti dan maksud tujuan pengetrapannya adalah sama yakni dalam berkomunikasi, berbisnis ataupun bernegosiasi supaya menyenangkan atau menguntungkan kedua belah pihak, tidak ada yang merasa dirugikan ataupun dipermalukan.
Dibawah ini ada beberapa contoh lagi yang sama atau setidak-tidaknya mirip inti dan tujuan pengetrapannya :

1.    loyalitas    =  melu handarbeni ( ikut memiliki)
2.    SWOT (Strength, Weakness, Opportunity , Threat) =  mulad sarira hangroso wani ( introspeksi diri menjadi landasan untuk bertindak)
3.    skala prioritas  =  hambeg paramarta

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa  para pencerah, sujana ataupun cendekiawan kita dulu telah  dapat melahirkan ajaran-ajaran manajemen kehidupan yang tetap relevan hingga sekarang padahal jelas belum ada pelajaran ilmu komunikasi ataupun manajemen secara akademis seperti di dunia barat hingga muncul istilah/pengertian win win solution, loyalitas , SWOT dan lain-lain tersebut.
Kita ketahui bahwa komunikasi antar warga masyarakat adalah masalah yang cukup sensitif. Keharmonisan kehidupan masyarakat bisa terlaksana dengan baik sangat tergantung dari kualitas komunikasi diantara mereka. Kualitas berkomunikasi dipengaruhi oleh cara berkomunikasi, sedangkan cara berkomunikasi dipengaruhi oleh karakter masing-masing individu.
Mungkin karena menyadari demikian besarnya peranan karakter seseorang dalam berkomunikasi maka para pencerah, sujana ataupun cendekiawan kita dulu berkesimpulan bahwa untuk mendapatkan keharmonisan bermasyarakat maka yang perlu digarap adalah karakter masyarakat itu sendiri. Dan sesuai dengan sifat ketimurannya yang lebih mengedepankan ”rasa” maka pendekatannya justru kedalam diri sendiri. Dalam perenungannya, dirinya sendiri dijadikan obyek sasaran dari perlakuan cara-cara berkomunikasi sehingga ”rasa”-nya terungkit. Rasa yang menggambarkan enak atau tidak enak, berguna atau tidak berguna, manfaat untuk diri sendiri atau masyarakat banyak dan sebagainya. Hasilnya dapat dimengerti mengapa falsafah atau ajaran-ajarannya lebih didasari perasaan ”tepa selira”. Kelemahan pendekatan model ini terasa menjadi ”kurang / tidak ilmiah”, akibatnya sekarang  dilecehka sebagai ”kuno” dan tidak perlu dipelajari
Sedangkan pendekatan model barat secara universal dikatakan ilmiah karena didasarkan pada hasil pengalaman impiris dan pengkajian dengan mengedepankan nalar Pengalaman membuktikan pertentangan kepentingan antara majikan dan buruh tidak pernah akan selesai selama masing-masing pihak masih ngotot mempertahankan kepentingan atau  keuntungannya sendiri sedangkan kekuatan mereka ternyata seimbang. Berdasarkan perhitungan angka-angka terbukti bila mau saling mengakomodasi kepentingan masing-masing hasilnya justru lebih menguntungkan kedua belah pihak. Maka muncul pengertian win win solution untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan dan dijadikan satu acuan yang harus dipelajari oleh para mahasiswa
Dari beda pendekatan cara penemuannya ternyata mempengaruhi jiwa dari ajaran ini. Karenanya meskipun didepan disebutkan inti dan maksud tujuan pengetrapannya adalah sama, ternyata sebenarnyalah bisa  beda dalam pelaksanaannya. Menang tanpa ngasorake ditemukan dari hasil perenungan yang dilandasi rasa tepa selira maka pengetrapannya tidak situasional, sepenuhnya dilakukan karena rasa tidak nyaman untuk menyakiti pihak lain meskipun dalam posisi yang lebih kuat yang diyakini bisa memaksakan kehendaknya sendiri. Sedangkan win win solution yang penemuannya didasarkan pada hitung-hitungan angka rugi-laba maka pelaksanaannya sering kali situasional, buat apa win win kalau dalam posisi yang lebih kuat dan pasti bisa memaksakan kehendaknya.
Kalau demikian halnya, tepatkah kalau kita melecehkan ajaran warisan para sujana cendekiawan bangsa kita sendiri yang ternyata bukan hanya benar tetapi lebih dilandasi  budi luhur. Memang ada kekhawatiran pengetrapan menang tanpa ngasorake akan merugikan kita sendiri bila kita berhadapan dengan pihak lain yang tidak sejiwa  dengan kita yang kemungkinan akan mengetrapakan win win solution, karena posisi kita saat itu dibawah angin. Hal ini terlebih dalam konteks hubungan global / internasional. Namun untuk kenyamanan bersama dalam mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara kiranya perlu disosialisasikan secara nasional penjiwaan dan pengetrapan ”menang tanpa ngasorake”, karena pendekatan model ini dapat dipastikan sejalan dengan makna pancasila yang menjadi dasar negara kita. Tanpa menafikan ajaran ajaran dari luar yang memang baik dan belum kita punyai, marilah kita cari dan gali  kembali ajaran ajaran leluhur kita yang inti dan tujuan pengetrapannya sebenarnya sudah atau bahkan melebihi ajaran ajaran dari luar yang ternyata salah kaprah diberi label modern. Saya yakin dari seluruh suku-suku di Indonesia ini masing-masing mempunyainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun