Kekhawatiran penulis yang diungkapkan pada tulisan berjudul DUH GUSTI, PARINGANA ELING akan akibat yang terkait dengan peri laku dan kehidupan para pribadi yang dapat mempengaruhi terselenggaranya ketertiban, keselarasan, keadilan dan kesejahteraan kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini rupanya telah pula menjadi kekhawatiran berbagai pihak.
Dengan segala usaha mereka tetap mencoba mengabaikan suara dan kegelisahan masyarakat dan menutup mata atas kenyataan kenestapaan kehidupan sebagian besar masyarakat berkedok angka-angka indikator makro yang diyakini benar. Bahwa masih ada yang belum menikmati keberhasilan makro tersebut, diakui, tetapi ini adalah karena perjalanan belum selesai atau masih dalam proses menuju kemakmuran bersama. Demikianpun dalam bidang penegakan hukum mereka selalu menyatakan sudah jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya, selalu membantah bahwa hukum hanya untuk menindas rakyat kecil dan sama sekali tidak berlaku untuk mereka.Artinya mereka yakin perjalanan yang dipilih ini telah berada di jalur/track yang benar sesuai dengan amanah UUD 1945maupun dasar negara Pancasila. Merekamenerapkan aji PINTERE KANGGO MINTERI , yang jelas berkonotasi membohongi.
Dalam khasanah pewayangan para bagawan/pendeta/resi sebagai pengamat dan penjaga tata kehidupan masyarakat bernegara dan berbangsa selalu hidup dan berada di padepokannya masing-masing, Mereka mengamati dan mengarahkan tata kehidupan umat melalui pengelolaan moral dan etika. Raja, ksatria maupun masyarakat umum yang mendatangi mereka untuk minta petunjuk mengenai kebenaran dan kebaikan sejati agar masing-masing dapat menjalankan dharmanya dengan benar dan baik.
Bagawan/pendeta/resi tidak akan muncul kepermukaan apalagi mendatangi kerajaan bilamana tata kehidupan masyarakat dirasakan telah sesuai dengan kaidah agama,undang–undang dan peraturan negara. Mereka tidak akan ikut campur tangan urusan keseharian pelaksanaan ketatanegaraan karenamemang bukan itu dharma yang harus mereka jalani, meskipun banyak diantara mereka yang sebelum “madeg pandita” adalah seorang raja atau ksatria, yang dengan demikian sangat mengetahui bagaimana cara mengelola negara yang bertujuan menyejahterakan rakyatnya Mereka memilih hidup dipedesaan karena bisa sangat dekat dengan umatnya dan mengetahui dan ikut merasakan kehidupan dan tingkat kesejahteraannya yang adalah ukuran keberhasilan atau kegagalan pengelolaan negara. Apakah negara dalam keadaan tata tentrem kerta raharja ataukah sebaliknyaNamun mereka juga tidak akan cengeng untuk dengan gampang melontarkan kritik apalagi menyalahkan raja bilamana sampai terjadi salah kelola yang berakibat menyengsarakan rakyatnya, karena penghormatan dan kepercayaannya bahwa raja mampu melihatkekurangan dan kesalahannya dan akan mampu pula mengkoreksi kebijakannya.
Namun bilamana akibat kebijakan raja makin menyengsarakan rakyatnya sedang tidak ada tanda-tanda raja menyadari kesalahannya maka mereka akan merasa salah bila tidak turun gunung memperingatkan sang raja. Pasti mereka tidak ingin menurunkan apalagi menggantikan kedudukan sang raja tetapi hanya sekedar mengingatkan bahwa kebijakan yang sedang dijalankan tidak berada di jalan yang benar yang bila berlarut-larut tidak segera diperbaikipasti akan mendapatkan ganjaran hukuman dari para dewa.
Maka bila beberapa waktu yang lalu para pemuka lintas agama yang tidak lain adalah pengeja-wantahan dari para bagawan/pendeta/resi dalam dunia nyata sekarang ini dengan keras memperingatkan pemerintah adalah sangat tidak beralasan bila dicurigai mereka bermain politik ataupun ditunggangi oleh kepentingan golongan politik tertentu. Kalau langkah ini dimaknai sebagai tindakan politik, memang benar, tetapi bukan dalam konteks gerakan politik untuk mengambil alih kekuasaan. Kalau mereka menggunakan kosa kata keras bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan/pembohongan publik adalah disebabkan bahwa pemuka lintas agama ini sangat mengerti bahwa mereka para pribadi yang disebutkan pada awal tulisan ini sedang menerapkan aji PINTERE KANGGO MINTERI yang memang berkonotasi membohongi sebagaimana disebutkan dimuka. Para pemuka lintas agama ini turut merasakan dahsyatnya akibat penerapan aji tersebut.
Para pemuka lintas agama ini juga meyatakan kekhawatirannya akan adanya ”hukuman dari para dewa” yang dalam konteks kekinian adalah marahnya rakyat yang sudah tidak tahan akan penderitaan hidupnya yang tentu akan sangat mahal biaya sosialnya. Oleh karena itu semoga peringatan para pemuka lintas agama ini mendapatkan perhatian yang semestinya dengan menyerap makna substansialnya secara jernih
Satu lagi analogi yang bisa kita ambil dari ujaran dalam dunia pewayangan adalah : “Negara gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja awitkaprabawan Sang Nata kang hambeg berbudi bawa laksana,wicaksana sarta adil paramarta” (maaf untuk yang kurang memahami bahasa jawa)
Akhirnya sambil berdoa kembali : “duh Gusti paringana eling” mari kita tambahkan harapan semoga negara ini segera diparingi Sang Nata yang berkarakter seperti ujaran pewayangan tersebut diatas, amien
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H