Mohon tunggu...
WAHYUNI SU
WAHYUNI SU Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, jurnalis web, penerjemah ('translator'), editor ... masih terus belajar tentang segala sesuatu

'... memegang teguh disiplin lahir dan batin,percaya pada diri sendiri, dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi maupun golongan'

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Meghan Markle, Bukan Sekadar Korban Rasisme?

13 Maret 2021   17:11 Diperbarui: 13 Maret 2021   17:26 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wawancara Oprah Winfrey dengan Meghan Markle dan suaminya, Pangeran Harry, yang disiarkan oleh jaringan televisi CBS pada Minggu (7/3) lalu selain sukses menjadi berita utama di media massa ternyata juga sangat eksplosif dan terus bergema di ranah publik bahkan sampai beberapa hari setelah tayang.

Ada banyak topik 'lezat' yang terungkap selama wawancara itu berlangsung. Misalnya, sebagaimana dilansir CNET (12/3), Meghan menuturkan bagaimana dia harus bertahan terhadap 'pikiran untuk bunuh diri' yang terus menerus menerornya tanpa ada seorang pun di lingkup istana. 

Sementara Harry memaparkan bahwa sang ayah Pangeran Charles memutuskan tidak akan menerima panggilan telponnya untuk sementara waktu dan menghentikan aliran dana kerajaan untuk menyokong kehidupannya.

Namun yang paling memicu kegemparan publik adalah saat mereka berdua menceritakan pada Oprah bahwa semasa Meghan mengandung anak pertamanya, seorang anggota keluarga kerajaan entah siapa menyatakan keprihatinannya tentang seberapa gelap warna kulit bayi Archie saat lahir kelak. Perang medsos antara kelompok 'American Twitter' pro Meghan-Harry melawan 'Britain Twitter'  di pihak kontra berlangsung sengit selama dua jam paska tayangan berakhir.

Pihak Istana Buckingham yang dikenal tak pernah bergeming terhadap pusaran isu media massa seputar kehidupan pribadi keluarga kerajaan, akhirnya merespon dengan mengeluarkan penyataan bahwa "Masalah yang diangkat, terutama berkaitan dengan rasIisme), sangat memprihatinkan. Meskipun ada beberapa pemahaman yang mungkin berbeda, semua ditanggapi dengan sangat serius dan akan ditangani secara internal oleh keluarga (kerajaan)."

Di mata Karen Stollznow, PhD;  peneliti di Pusat Penelitian Sosial dan Budaya Griffith, kasus 'pemberontakan' Meghan ini lebih dari sekedar bertujuan mengangkat isu rasisme belaka

Menurut Karen, dalam opininya untuk Psychology Today (12/3), meski keluarga kerajaan masih terjerat dalam sejarah kolonialisme dan rasisme sehingga wanita multi-ras dengan ibu berkulit hitam dan ayah berkulit putih seperti Meghan dipandang oleh beberapa orang sebagai tidak cukup "berdarah murni" berdasarkan konsep mitos "darah biru" kerajaan; tetapi ada sejumlah fakta lain yang tidak boleh diabaikan.

Selama bertahun-tahun liputan media negatif tentang Meghan beredar nyaris tanpa henti ternyata mengusung juga unsur seksisme, nasionalisme, dan klasisme.

Meghan kerap kali dicap 'terlalu berani', 'terlalu blak-blakan', dan 'terlalu feminis'. Dia telah dikritik karena berbagai 'kejahatan' sepele seperti menyilangkan kaki, memakai cat kuku gelap, mengenakan gaun satu bahu, dan kegemarannya pada pakaian hitam. Dia diserang hebat di media sosial karena menutup pintu mobilnya sendiri, alih-alih mengizinkan seorang ajudan melakukannya seperti yang biasa dilakukan oleh kalangan atas.

Selain itu kenyataan bahwa dia bukan berkebangsaan Inggris juga turut terseret dalam pelabelan dirinya oleh media massa di negeri Ratu Elizabeth itu. Meghan disebut "orang Amerika yang bercerai." Kebangsaan Meghan tampaknya menjadi masalah bagi sebagian orang yang kemudian menggambarkannya sebagai "terlalu multikultural" dan "terlalu Amerika".

Sistem pengelompokkan masyarakat berdasarkan kelas sosial yang masih tertanam kuat di Inggris juga membuat Meghan yang notabene "orang biasa" dipandang rendah karena latar belakang sosial ekonominya. Dia memiliki masa kecil yang sederhana, tumbuh di kalangan kelas menengah Los Angeles, di mana ayahnya bekerja sebagai sinematografer dan ibunya seorang pekerja sosial. Tabloid seakan terpacu untuk menodai reputasi Meghan dan meremehkannya karena bekerja sebagai pelayan dan aktris.

Karen melihat berbagai jenis prasangka sering kali bersinggungan dan tumpang tindih satu sama lain yang dialamatkan pada Meghan Markle mencerminkan sikap kuno pers Inggris, masyarakat umum dan, tampaknya, beberapa anggota keluarga kerajaan (Psychology Today, 12 Maret 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun