Wawancara Oprah Winfrey dengan Meghan Markle dan suaminya, Pangeran Harry, yang disiarkan oleh jaringan televisi CBS pada Minggu (7/3) lalu selain sukses menjadi berita utama di media massa ternyata juga sangat eksplosif dan terus bergema di ranah publik bahkan sampai beberapa hari setelah tayang.
Ada banyak topik 'lezat' yang terungkap selama wawancara itu berlangsung. Misalnya, sebagaimana dilansir CNET (12/3), Meghan menuturkan bagaimana dia harus bertahan terhadap 'pikiran untuk bunuh diri' yang terus menerus menerornya tanpa ada seorang pun di lingkup istana.Â
Sementara Harry memaparkan bahwa sang ayah Pangeran Charles memutuskan tidak akan menerima panggilan telponnya untuk sementara waktu dan menghentikan aliran dana kerajaan untuk menyokong kehidupannya.
Namun yang paling memicu kegemparan publik adalah saat mereka berdua menceritakan pada Oprah bahwa semasa Meghan mengandung anak pertamanya, seorang anggota keluarga kerajaan entah siapa menyatakan keprihatinannya tentang seberapa gelap warna kulit bayi Archie saat lahir kelak. Perang medsos antara kelompok 'American Twitter' pro Meghan-Harry melawan 'Britain Twitter' di pihak kontra berlangsung sengit selama dua jam paska tayangan berakhir.
Pihak Istana Buckingham yang dikenal tak pernah bergeming terhadap pusaran isu media massa seputar kehidupan pribadi keluarga kerajaan, akhirnya merespon dengan mengeluarkan penyataan bahwa "Masalah yang diangkat, terutama berkaitan dengan rasIisme), sangat memprihatinkan. Meskipun ada beberapa pemahaman yang mungkin berbeda, semua ditanggapi dengan sangat serius dan akan ditangani secara internal oleh keluarga (kerajaan)."
Di mata Karen Stollznow, PhD; Â peneliti di Pusat Penelitian Sosial dan Budaya Griffith, kasus 'pemberontakan' Meghan ini lebih dari sekedar bertujuan mengangkat isu rasisme belaka
Menurut Karen, dalam opininya untuk Psychology Today (12/3), meski keluarga kerajaan masih terjerat dalam sejarah kolonialisme dan rasisme sehingga wanita multi-ras dengan ibu berkulit hitam dan ayah berkulit putih seperti Meghan dipandang oleh beberapa orang sebagai tidak cukup "berdarah murni" berdasarkan konsep mitos "darah biru" kerajaan; tetapi ada sejumlah fakta lain yang tidak boleh diabaikan.
Selama bertahun-tahun liputan media negatif tentang Meghan beredar nyaris tanpa henti ternyata mengusung juga unsur seksisme, nasionalisme, dan klasisme.
Meghan kerap kali dicap 'terlalu berani', 'terlalu blak-blakan', dan 'terlalu feminis'. Dia telah dikritik karena berbagai 'kejahatan' sepele seperti menyilangkan kaki, memakai cat kuku gelap, mengenakan gaun satu bahu, dan kegemarannya pada pakaian hitam. Dia diserang hebat di media sosial karena menutup pintu mobilnya sendiri, alih-alih mengizinkan seorang ajudan melakukannya seperti yang biasa dilakukan oleh kalangan atas.
Selain itu kenyataan bahwa dia bukan berkebangsaan Inggris juga turut terseret dalam pelabelan dirinya oleh media massa di negeri Ratu Elizabeth itu. Meghan disebut "orang Amerika yang bercerai." Kebangsaan Meghan tampaknya menjadi masalah bagi sebagian orang yang kemudian menggambarkannya sebagai "terlalu multikultural" dan "terlalu Amerika".
Sistem pengelompokkan masyarakat berdasarkan kelas sosial yang masih tertanam kuat di Inggris juga membuat Meghan yang notabene "orang biasa" dipandang rendah karena latar belakang sosial ekonominya. Dia memiliki masa kecil yang sederhana, tumbuh di kalangan kelas menengah Los Angeles, di mana ayahnya bekerja sebagai sinematografer dan ibunya seorang pekerja sosial. Tabloid seakan terpacu untuk menodai reputasi Meghan dan meremehkannya karena bekerja sebagai pelayan dan aktris.