Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu SKPD tertua dan yang paling dihormati di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun belakangan ini muncul berbagai pemberitaan miring tentang Satpol PP. Pada dasarnya tugas Satpol PP sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010, yaitu Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat
Namun dalam realitasnya banyak anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta yang kurang memahami keseluruhan Peraturan Daerah yang ada di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Hak Asasi Manusia (HAM), sosiologi masyarakat perkotaan di Jakarta dan norma sosial yang berkembang di Jakarta. Selain itu, masih banyak anggota Satpol PP Provinsi DKI Jakarta yang tidak memahami teknis tindakan administratif dalam rangka melakukan penertiban non yustisia terhadap pelanggaran Perda. Sehingga banyak terjadi tindakan aparat Satpol PP yang terkesan arogan dan represif dalam melakukan penertiban. Selain itu, sering terjadi salah kaprah di internal Satpol PP dalam memahami pengaduan masyarakat terkait penertiban. Hal ini jelas menjadi indikasi utama dari lemahnya proses penegakkan Perda di Provinsi DKI Jakarta.
Salah satu faktor penyebab terjadinya hal ini adalah pola pembinaan SDM aparat Satpol PP Provinsi DKI Jakarta yang ada dalam Diklat Pembentukan Polisi Pamong Praja Tingkat Dasar Pola 300 jam pelajaran Tahun Anggaran 2012 tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 38 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja. Misalkan bina olah fisik (binsik) jauh lebih banyak porsi waktunya dibandingkan dengan porsi berada di kelas (materi) dan dalam bina olah fisik tersebut sering terjadi tindak kekerasan / bullying terhadap peserta diklat, yang melewati batas kewajaran dan menyimpang dari tujuan Diklat Pol PP (Pada pelaksanaan Diklat Pol PP Tahun 2013 ada 1 orang yang meninggal dalam pelaksanaan diklat, namun hal ini ditutupi). Seringkali kegiatan fisik di lapangan dibuat melampaui batas kemanusiaan, seperti pada saat makan siang, siswa harus menukar makanannya dengan siswa lain, perilaku ini dapat menjadi sarana penularan penyakit antar siswa. Dengan sistem pendidikan yang sedemikian rupa tidak mengherankan jika pada praktek di tempat kerja dan berhadapan dengan masyarakat di lapangan, perilaku kekerasan atau arogansi aparat Satpol PP pada saat penertiban menjadi pendekatan yang digunakan. Target output diklat untuk membentuk mindset dan karakter kepamongan yang memiliki kompetensi dasar sebagai penegak Perda kurang optimal karena kondisi fisik peserta didik yang tidak mendukung akibat adanya materi bina olah fisik yang berlebihan tersebut.
Selain itu, penyelenggaraan diklat pada tahun 2012 dan 2013 di Dodik Belanegara Rindam Siliwangi melalui mekanisme penunjukan langsung melanggar Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pasal 38 ayat 5 huruf f, yaitu sewa penginapan/hotel/ruang rapat yang tarifnya terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Aturan lain yang dilanggar adalah UU 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) pada pasal 3 ayat 2, yaitu tarif atas jenis PNPB harus ditetapkan didalam UU atau PP, seperti halnya Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengatur tarif PNPB nya kedalam PP Nomor 71 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif PNPB pada Departemen Dalam Negeri. Dodik Belanegara Rindam Siliwangi jelas tidak punya payung hukum untuk mengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga ada indikasi penyimpangan anggaran dalam penyelenggaraan diklat pembentukan polisi pamong praja tahun anggaran 2012. Penyewaan lokasi diklat tidak pernah melampirkan bukti setoran ke negara, padahal Dodik Belanegara Rindam Siliwangi merupakan instansi pemerintahan. Namun sayang hal tersebut tidak diungkapkan dalam proses audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lebih lanjut. Pada tahun 2012 anggaran untuk Diklat Dasar Polisi Pamong Praja mencapai 4.5M, dengan anggaran sebesar itu tidak wajar jika diklat dilakukan di Dodik Rindam Siliwangi dan dengan fasilitas diklat yang minim dan tidak memenuhi standar, seperti terbatasnya jumlah kelas, jumlah meja dan kursi yang tidak layak, peserta didik harus berpindah – pindah kelas dan seringkali diadakan kelas gabungan karena kekurangan kelas. Dengan anggaran 4.5M seharusnya Satpol PP dapat menggunakan tempat diklat dengan fasilitas lebih baik.
Tulisan ini dibuat tidak untuk menyudutkan siapapun, tulisan ini dibuat dengan harapan dapat menjadikan Organisasi Satpol PP menjadi lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H