Aku akan ingat betul persisnya apa yang telah terjadi belakangan hari ini. Di bulan Oktober, menjelang UTS dan bahkan hingga UTS (Ulangan Tengah Semester) tiba. Aku si gadis pemimpi besar masih saja disibukkan dengan segala rutinitas yang membuat sebagian orang mungkin akan terheran-heran akan tingkahku belakangan hari ini. Mulai dari berangkat pagi dan kembali ke kos malam harinya (kalau yang ini sudah biasa), bolak-balik ke rektorat-ditmawa-sekretariat departemen (yang ini gak biasa-banget) sampai yang telat masuk ke kelas kuliah dan diusir oleh dosen-dan-dianggap-menganggu-serta tidak diperbolehkan masuk karna ya tadi, telat masuk kuliah.
Dosen tidak mau tahu apa yang kita lakukan sebelum masuk ke kelasnya. Apa alasan kenapa kita telat masuk ke kelasnya. Atau apapun itu. Yang mereka tau hanyalah memastikan mahasiswanya hadir tepat waktu dan mendengarkan materi kuliah saat di kelas dengan seksama (padahal mahasiswanya ngantuk, bosen, sampai tidur di kelas karena metode penyampaian dosen yang seperti itu-itu saja). Menjejali otak. Penuh dengan teori-teori ahli dan ilmuan yang selalu ada pembaharuan (karena bidang sosial selalu berkembang). Penuh dengan rumus yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan yang akan sebenarnya mahasiswanya jalani kelak. Menjejalkan semua itu dalam durasi 100menit. Aku rasa aku cukup muak dengan semua itu. Aku tidak bisa berdiam diri saja. Aku tidak bisa memaksakan fisik ini yang setiap harinya harus dijejalkan dengan doktrin-doktrin ahli-yang bahkan mahasiswanya pun tidak kenal siapa mereka. Ditambah dengan tugas-tugas setelah kelas selesai. Kamu mungkin yang sama sebagai mahasiswa, juga merasakan hal yang sama. Huhh, rasanya kembali ke jaman penjajahan Belanda dan Jepang (aku mungkin tidak tahu bagian ini, tapi aku sedikit sok tahu dari buku-buku sejarah dan ya penuturan guru-guruku). Rasanya seperti masuk dan hidup di era neo-kolonialisme kalau bisa aku katakan seperti itu. Semuanya serba otoriter.
Aku akan ingat betul persisnya bagaimana cara mereka kaum pemangku kepentingan menolak dan menentang apa yang aku lakukan. Berusaha menjatuhkan mimpi besar orang lain. Tidak justru menguatkan. Merangkul. Mengayomi. Berusaha menyimpulkan apa yang harus aku lakukan. Seolah hanya sebuah alur mekanisme yang sangat panjang dan sudah di atur sedemikian rupa yang justru membuat semakin bobroknya negeri ini. Waktu. Seolah berlalu dengan begitu cepatnya disetiap hitungannya. Berusaha ingin segera meninggalkan tanpa peduli. Menjadi hal yang genting untuk saat-saat ini. Disetiap sekonnya, menit, hingga per jamnya akan menjadi hal yang saling mempertaruhkan pilihan. Ketika kamu harus memilih salah satu kepentingan yang sebenarnya harus terselesaikan dalam satu waktu. Selalu saja prioritas yang diutamakan. Pun bagi mereka yang menganggap memiliki kedudukann dan peranan lebih high class dibanding kami kaum pribumi, selalu merasa ingin di nomor satukan dalam hal pelayanan publik. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?
Aku akan ingat betul bagaimana caranya orang itu, iya orang itu. Menghardik kami. Dengan jarak umur yang tidak begitu jauh. Hanya sekitar 3-4 tahun diatasku. Tapi dia seolah memiliki kekuasaan yang sebegitu hebat sampai bisa-bisanya ia melakukan itu kepada kami. Desisannya, lengkingan, nada, mimik muka, retorika, dan intonasinya. Aku paham betul karena di departemenku, komunikasi aku belajar tentang semua itu. Aku secara pribadi, merasa seperti ditampar dengan keras sekali atas ucapannya kepada kami. Mungkin temanku tidak mendengar persis yang orang jangkung itu katakan karena akulah yang berhadapan langsung dengannya dan berbicara persis dihadapannya. Dengan langkah sigap seperti tentara, dan perasaan muak aku segera menarik temanku untuk meninggalkan orang itu untuk yang pertama kali. Sosok yang sebenarnya aku kagumi karena ia banyak berkontribusi kepada beasiswa yang aku dapatkan. Bidikmisi. Ada apa dengan bidikmisi? Apa salahnya dengan seorang mahasiswa yang menjadi penerima beasiswa ini? Salahkah seorang mahasiswa penerima bidikmisi ini mempunyai mimpi besar? Hahahaha. Ingin rasannya aku tertawa. Dan mentertawakan pikiran-pikiran yang tidak masuk akal itu. Jelasnya, aku gak ngerti lagi. Bukankah mempunyai mimpi dan tekad yang besar itu menjadi sebuah keharusan bagi mereka penerima beasiswa bidikmisi? Misi mereka sederhana.
Membuat kehidupan mereka lebih baik lagi. Namun, dalam prosesnya dapatlah kalian lihat, mereka seringkali dimarjinalkan (aku mengerti istilah ini dari kuliah sosiologi pedesaan yang banyak membahas kaum pribumi dan non pribumi) dari lingkungannya. Dikucilkan seolah dipandang rendah dan tidak satu strata dengan mereka kaum pemilik modal (yang ini juga sama. Tapi didapatkan dari kuliah ekonomi umum). Kesal sekali rasanya jika aku mengingat apa yang telah terjadi. Aku pikir, Allah sedang menguji kesabaranku. Karena Laa yukallifullahu nafsan Illa Wus’aha. Kan? Allah tidak akan menguji hambanya diluar kemampuannya (aku dapatkan yang itu dari mentoring agama sewaktu semester 2) dan itu membekas sangat ampuh hingga saat ini. Aku selalu menjalani dan menikmati setiap prosesnya.
Aku akan ingat betul bagaimana caraku menikmati perjalanan ini di setiap prosesnya. Termasuk bagaimana caranya aku menguatkan diri sendiri untuk terus maju dan melangkah. Tentunya untuk menyelesaikan ini semua seoptimal mungkin. Dan bagaimana caranya kia dapat saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya (temanku, Arafah Purnama).
Senin, 20 Oktober 2014 Pukul 23.10
Ditulis di tengah kegalauan menjelang UTS di Kamar Kos, Dramaga Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H