Saat ini marak sekali pembahasan quiet quitting di berbagai sosial media. Sebenarnya istilah Quiet quitting ini sudah lama ada dan sering terjadi dalam dunia kerja.Â
Hanya saja menurut survey yang dilakukan oleh Gallup mengungkapkan bahwa tingkat stress karyawan ini cenderung meningkat dari 38% di tahun 2019 menjadi 43% di tahun 2020.Â
Tingkat stress yang cukup tinggi ini secara tidak langsung berpengaruh pada naiknya pelaku quiet quitting.Â
Quiet quitting adalah tindakan dimana seorang karyawan memutuskan untuk bekerja seperlunya sesuai tanggungjawab dan tingkatan gaji yang dia peroleh.Â
Pelaku quiet quitting biasanya membatasi dirinya untuk tidak terlalu sering berinteraksi di lingkungan kerja baik secara langsung ataupun melalui media chat.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan quiet quitting. Selain faktor eksternal, seperti tidak puas dengan penilaian kinerja, tidak mendapatkan gaji yang sesuai, tidak diperlakukan dengan adil, atau mendapatkan beban pekerjaan yang melibihi porsi jabatan, faktor internal dari karyawan sebagai pelaku quiet quitting juga sangat berpengaruh.Â
Biasanya, karyawan yang berani melakukan quiet quitting adalah karyawan yang memendam kekecewaan cukup besar pada perusahaan namun memiliki kemampuan atau skill yang mumpuni untuk menyelesaikan semua beban kerjanya sendiri.
Percayalah, quiet quitting tak lebih seperti bom waktu yang tersimpan di dalam benak karyawan anda. Saat dia tak mampu lagi menahannya, maka ledakan yang terjadi biasanya akan cukup dahsyat dan mampu membuat anda sebagai bos terperanga.Â
Berikut beberapa faktor internal yang mempengaruhi karyawan melakukan quiet quitting;