Mohon tunggu...
Rerika Munita
Rerika Munita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jambi

Suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dampak Money Politik (Politik Uang) terhadap Demokrasi di Indonesia

7 Maret 2023   23:15 Diperbarui: 7 Maret 2023   23:20 3772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sampaikan bahaya politik uang yang dapat merusak demokrasi. Hal ini disampaikan Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran saat melakukan sosialisasi pengembangan desa anti politik uang.

Praktik politik uang akan menyebabkan dampak negatif jangka panjang, yang jika terus dibiarkan terjadi dapat merugikan banyak pihak. Tidak hanya merugikan masyarakat, bahkan dapat meluas hingga merugikan negara karena kemungkinan munculnya berbagai permasalahan baru akibat praktik politik uang. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap beberapa literatur, politik uang menghasilkan 3 (tiga) dampak, yakni 1 (satu) dampak langsung dan 2 (dua) dampak jangka panjang sebagai berikut:

1. Pidana Penjara dan Denda bagi Pelaku

Pidana penjara dan denda merupakan dampak langsung yang akan terjadi ketika praktik politik uang dilakukan. Dalam Pemilu dan Pemilihan, praktik politik uang merupakan salah satu jenis pelanggaran yang ancamannya berupa pidana penjara dan denda. Hal itu disebutkan secara jelas dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilu dan UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya yang mengatur tentang Pemilihan.

Ancaman pidana yang diberlakukan dalam Pemilu bagi pelaku politik uang, disebutkan pada Pasal 523 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Dimana pidana paling rendah adalah penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) serta paling pidana paling tinggi adalah penjara 4 (empat) tahun dan denda Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Ancaman pidana Pemilu ini menyasar pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pada tahapan kampanye dan masa tenang. Sedangkan pada hari pemungutan suara berlaku bagi setiap orang.

Sementara dalam Pemilihan, ancaman pidana yang diberlakukan bagi pelaku politik uang disebutkan pada Pasal 187A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 2015 beserta perubahannya, dimana pelaku diancam pidana paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan serta denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sementara bagi penerima, diancam pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan serta denda paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Sejatinya, negara memberlakukan hukum pidana dalam Pemilu/Pemilihan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir yang menjadi pilihan untuk mencegah terjadinya politik uang. Namun perlu diingat, dalam ilmu hukum, khususnya ilmu perundang-undangan ada asas lazim yang berlaku di seluruh belahan bumi, termasuk di Indonesia. Asas itu adalah asas fiksi hukum (presumtio iures de iure/semua orang dianggap tahu hukum yang sedang berlaku dan mengikat dirinya). Jika mengacu pada asas tersebut, maka ketidaktahuan atas aturan pidana politik uang bukan menjadi pemaaf bagi pelaku ataupun penerima yang hendak dikenakan ketentuan pidana tersebut.

Jika melihat peristiwa politik uang yang terjadi di Kabupaten Serang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten Tahun 2017, ternyata yang terkena dampak pidana penjara dan denda adalah masyarakat biasa, bukan bagian dari tim pemenangan pasangan calon. Fakta tersebut didapat setelah melihat isi putusan Pengadilan Banten Nomor 33/PID.PEMILU-/2017/PT.BTN yang mengabulkan permohonan banding terdakwa atas nama Afrizal Nur CH atas putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 158/pid.sus.pemilu/-2017/PN.srg.

Dalam putusan tersebut, Pengadilan Tinggi Banten memutuskan untuk menerima banding dari terdakwa, dan terdakwa diadili dengan pidana penjara 12 (dua belas) bulan dan denda Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dimana dalam putusan PN Serang sebelumnya terdakwa dipidana penjara 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Putusan hakim tersebut berasal dari beberapa fakta yang muncul selama persidangan yang kemudian menjadi pertimbangan putusan. Fakta-fakta yang dimaksud adalah:

1) Bahwa terdakwa adalah seorang buruh harian lepas berusia 51 (lima puluh satu) tahun dan tidak ada Pendidikan;

2) Bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan adalah atas permintaan H. RAHMAT (DPO) kepada saksi HIDAYAT WIJAYA DIPURA dan terdakwa dengan bahasa "bantu saya untuk memperoleh suara di wilayah Ciruas".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun