Mohon tunggu...
Rere Muninggar
Rere Muninggar Mohon Tunggu... -

Hobi membaca dan menulis apa saja yang bisa dibaca dan ditulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Waiting

13 Desember 2013   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="300" caption="WAITING"][/caption]

“Hujan pasti akan datang. Percayalah padaku. Aku akan selalu bersamamu, disaat hujan datang”

Lebih dari seribu kali setiap hujan datang dalam 17 tahun terakhir aku masih disini. Tetap disini, berdiri tegap di bawah percikan hujan yang mengguyurku. Sungguh sangat terasa percikan airnya menghunjam hatiku. Iramanya yang sudah sangat aku hafal diluar kepala senantiasa mendendangkan lagu kegelisahan, seolah ia tahu apa yang aku rasakan. Tik..Tik..Tik...nadanya seakan mengejekku, menyindirku, dan menghinaku. Hampir 17 tahun dia seperti itu kepadaku, di tempat yang sama, di bawah pohon mahoni di pinggir jalan setapak diperumahan tempatku tinggal. Tanpa teduhan payung, dia bebas menyerangku dari sisi manapun.

“Seandainya kamu tahu isi hatiku,”gumamku kepada hujan “pasti hatimu akan melebur menjadi satu dengan butiran-butiranmu yang terjatuh ke tanah dan tenggelam didalamnya.”

“Sinta, ayo kesini. Lebih seru jika kena air hujan di tengah jalan seperti ini.” Seru anak laki-laki kepadaku. Usianya sekitar 8 tahun. Dia melambaikan tangan kearahku, memintaku untuk datang ketengah jalan dan menemaninya bermain di bawah percikan air hujan. Ketika aku hendak melangkahkan kaki untuk bergabung dengannya, aku mendengar teriakan suara anak perempuan disampingku berdiri.

“Tidak mau. Nanti aku dimarahi Mama.”

“Tidak apa-apa, ayo!” Teriak anak laki-laki itu lagi. Anak perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya keras-keras. Anak laki-laki menarik nafas kecewa dan menghampirinya. “Kamu takut dimarahi mama kamu atau kamu takut dengan air hujan? Tidak perlu takut, percayalah padaku. Aku akan selalu bersamamu disaat hujan datang” katanya dalam.

Air mataku terjatuh, bersama dengan butiran-butiran hujan yang menetes dari atas kepalaku.

“Risan, lihatlah. Sebesar ini aku masih saja takut dengan air hujan. Sungguh bodoh ya aku.” Batinku. Kakiku sudah kaku. Hampir satu jam penuh aku berdiri dibawah pohon mahoni tanpa ada jawaban satupun.

“Sinta.” Teriak seorang lelaki berbadan tinggi tegap dari kejauhan, berlari-lari menghampiriku dengan membawa payung warna purple kesukaanku. Sandi adalah teman sekantor kak Haris, kakakku satu-satunya. Sandi sudah seperti kakak bagimu. Dia selalu ada disaat aku membutuhkannya.

“Mau berapa lama lagi kamu berada disini? Lihatlah, kamu sudah basah kuyup”

“Sampai dunia tidak menumpahkan air hujan lagi. Sampai tulangku merapuh, rambutku memutih, dan sampai...” aku menelan ludah pahit “sampai Risan ada disini.”

Sandi menatapku sedih. Matanya menelusuri jalanan didepan kami sejenak.

“Dia tidak akan datang. Tidak akan pernah.” Katanya pilu. Saat itu juga hatiku terasa begitu pilu, tergores, dan bahkan hancur. Tenggorokanku tercekat, air mataku tertahan diujung kesedihanku. Aku menoleh ke samping, dimana tempat anak-anak kecil itu berada. Namun mereka sudah menghilang terbawa angin hujan. Hanya kenangan-kenangan indah yang masih terlihat segar disana.

Aku adalah mahasiswi fakultas Ekonomi disalah satu Universitas Swasta terkemuka di Yogyakarta. Jurnalis adalah pekerjaan sampinganku, sesuatu pekerjaan dan hobi sekaligus disaat aku memiliki banyak waktu luang dikala hujan datang. Melalui tulisan-tulisankulah aku dapat menuangkan segala hal yang ada dibenakku, termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Seseorang yang aku tunggu. Seseorang yang sudah menemaniku sejak kami masih bayi, atau mungkin sejak kami masih menjadi janin. Kami berdua tumbuh dan berkembang bersama, hingga dia pergi jauh dari pandanganku, dibawah gemerisiknya air hujan, jauh...semakin jauh tenggelam dalam kabut tebal.

“Woeee, melamun saja, ” Seru kak Haris mengagetkanku. “Sandi menunggu kamu di kantin tuh.”

“Kak Haris kenapa ke kampus? Bukannya kak Haris jadwalnya ke kantor?” Aku menatap kak Haris tanpa semangat. Namun dia seakan tidak mau tahu isi hatiku, dia memaksaku menemui Sandi, seseorang yang tidak mudah menyerah menunggu jawabanku lima tahun terakhir ini.

Aku menemui Sandi di Kantin, tempat favorit dia ketika menjemputku dari kantornya. Dia tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya sekedarnya.

“Hujannya sangat deras, ya?” Tanya Sandi mengawali perbincangannya. Aku duduk didepannya. Aku menganggukkan kepala 2 kali. Sandi bercerita panjang lebar tentang aktifitasnya pada hari itu. Seperti biasa, aku hanya menjadi pendengar yang baik. Sesekali aku menganggukkan kepala, tersenyum, dan sesekali memasang wajah serius disaat dia membeberkan Tugas Akhirnya yang sama sekali tidak aku pahami. Disela-sela perbincangan kami, gemuruh guntur menggelegar dan halilintar menari-nari diatas awan yang muram. Keinginanku untuk menerjang hujan sekali dalam hidupku kembali menggebu-gebu. Seakan ada pancuran air hujan yang naik ke atas ubun-ubun dan hendak menerjang seluruh pikiran-pikiranku di dalam benakku hingga keluar dari kepalaku. Jantungku berdegub kencang, keringat dingin mengaliri setiap ruas-ruas sendi tubuhku. Suara Sandi semakin kabur, dan aku hanya dapat mendengar jantungku yang seakan berpindah ke telingaku. Hasrat itu muncul tiba-tiba tak terkendali. Aku ingin lari ke tengah-tengah hujan!

“Aku sudah tidak tahan lagi. Aku ingin ke sana” kataku spontan.

“Apa?” tanya Sandi kebingungan. Pernyataanku ternyata memotong pembicaraannya.

“Maaf aku harus pergi.” Kataku singkat dan hendak berdiri. Namun Sandi menahanku. Dia tidak mengeluarkan kata sepatah katapun. Aku memohon kepadanya melalui pandangan mataku kepadanya. Aku sudah tidak bisa menunggu terlalu lama lagi. 17 tahun adalah waktu yang sangat panjang menanti kehadirannya dan inilah saatnya aku bersikap tegas pada diriku sendiri. Hatiku bertekad jika aku nanti masih tidak dapat bertemu dengan Risan lagi, aku berjanji hujan kali ini adalah hujan terakhir dimana aku menunggu di bawah pohon mahoni, pohon yang penuh kenangan indah bersamanya.

Dengan satu harapan dan satu tekad, aku berlari menuju pintu keluar untuk mencoba bersahabat dengan hujan. Kulihat hujan diluar sana. Hujannya begitu deras. Percikan airnya yang terbawa oleh angin menerpa wajahku dan menyibak rambut panjangku yang terjatuh bebas diatas pinggulku. Kupejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara disekitarku. Kesegarannya merasuk jiwaku. Kutelentangkan kedua tanganku, berdoa memohon kepada Tuhan untuk menjadikan hari ini adalah hari yang dapat menjawab segala penantianku.

Tidak perlu waktu lama untuk aku membuka mata dan berjalan perlahan-lahan mencoba bersahabat dengan hujan. Kurasakan tetesan demi tetesan menyentuh kulitku, menelusuri setiap pori-pori tubuhku, dan memberikan energi baru yang belum pernah aku dapatkan selama aku berteman dengannya. Seluruh badanku basah kuyup! Dan aku sangat menikmatinya. Kakiku semakin cepat melangkah. Berlari..berlari..dan aku berlari semakin kencang. Aku tidak peduli dengan derasnya hujan sekarang. Aku hanya ingin segera sampai di tempat tujuan.

Hampir 2KM jarak yang aku tempuh untuk menuju tempat itu. Nafasku tersengal-sengal, tapi aku tidak perduli. Aku berhenti sejenak untuk mengatur nafasku. Dunia serasa berputar, seakan ada air mancur didalam tubuhku yang semakin kencang mendorong tekadku untuk mencapai tujuan.

“Aku harus bertahan.” Kataku menyemangati diri sendiri.

Aku tidak akan menyerah. Tempat yang aku tuju sudah ada didepan mata. Aku akan mencari jawabannya disana. Sudah sangat lelah hatiku menunggunya sekian lama.

Aku sudah hampir sampai ditempat yang aku tuju. Aku menghentikan langkahku sejenak. Aku menata nafas dan hatiku untuk menunggu jawabannya. Tubuhku gemetar dan kedinginan. Mataku masih berkunang-kunang. Siap atau tidak aku harus mengambil keputusan yang terbaik untukku. Pada akhirnya aku harus memiliki rasa ikhlas setelah nanti aku mengetahui jawabannya. Jika memang takdir berkehendak, jodoh tidak akan pernah terelakkan.

Ketika aku hendak melangkahkan kaki menuju pohon mahoni, aku melihat sesosok bayangan berdiri di depanku, sesosok pria dewasa di bawah pohon mahoni, ditempat biasa aku menunggu seseorang disana. Bayangan itu membelakangiku. Sosoknya begitu tegap, jangkung, namun juga gagah, lebih gagah daripada Sandi. Rambut ikalnya yang sebahu melambai ke kanan dan ke kiri searah dengan tiupan angin hujan. Seperti tidak percaya, ku husap mataku berkali-kali dari tetesan air hujan yang masih setia mengguyurku. Dan aku berharap, jawaban masih tersimpan disana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun