Mohon tunggu...
Rere Muninggar
Rere Muninggar Mohon Tunggu... -

Hobi membaca dan menulis apa saja yang bisa dibaca dan ditulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Sebuah Nama Sebuah Kisah

23 Desember 2013   09:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rere Muninggar

No. 266

“Nduk, Ibu melakukan ini bukan berarti ibu tidak sayang kepadamu. Mengertilah.”

Salam rindu untuk bundaku yang terkasih, bunda yang sangat aku sayangi dan aku cintai. Bunda yang setiap mataku terbuka ataupun tertutup, bayanganmu selalu hadir di setiap sayap-sayap kehidupanku. Parasmu yang cantik dan penuh kasih sayang, selalu membuatku rindu dan membawa nama engkau kedalam setiap rusuk-rusuk doaku. Aku berharap bunda selalu dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjaga dan memberikan kesejukan jiwa disetiap langkahmu.

Bun, apakah bunda masih ingat isi surat bunda yang sudah sampai ditanganku dua minggu yang lalu? Iya, didalam surat itu, engkau menuliskan banyak kata yang sangat menyentuh hatiku, memberikan sebuah jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini hanya aku simpan untukku seorang. Aku jadi ingat masa lalu yang hampir membuatku putus asa dan sempat ingin kabur dari kehidupanku.

Aku ingat betul ketika itu tahun 1994 aku duduk dibangku kelas satu sekolah dasar, hampir setiap hari bunda memarahiku dan Ammar. Jika yang salah adalah Ammar, aku selalu engkau kaitkan dengannya. Alhasil, aku selalu menjadi tersangka utama akibat perbuatan Ammar. Namun jika aku yang salah, bunda hanya memarahiku saja, tidak dengan adikku. Bagiku saat itu tidak adil. Terlebih saat ayah semalaman tidak pulang karena berjudi dengan teman-teman sekantornya, selalu aku yang engkau pinta untuk mendatangi kantor ayah setelah adzan subuh selesai dikumandangkan. Bunda tahu sendiri bahwa jarak rumah kontrakan dengan kantor ayah hampir setengah kilometer jauhnya. Namun saat itu bunda seakan tidak perduli, terus memaksaku seperti itu hampir setiap pagi. Walau udara masih sangat dingin dan terkadang masih hujan, dengan mata setengah terbuka, aku menelusuri jalanan gelap pedesaan menuju kantor ayah dan memintanya untuk pulang. Sesampainya ayah di rumah, bunda kembali tertidur lelap. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti sebuah kesetiaan dan kesejahteraan dalam biduk rumah tangga. Yang aku tahu hanyalah mendapatkan uang saku dan bekal dipagi hari saat akan berangkat ke sekolah.

Dan seandainya bunda tahu, uang saku seratus rupiah yang bunda beri, sangat kecil dibandingkan uang saku teman-temanku. Terkadang jika bunda tidak memiliki uang banyak untuk memberiku uang sebagai uang saku, engkau hanya memberiku bekal kentang rebus 2 buah. Sedangkan Ammar yang masih duduk dibangku taman kanak-kanak, bunda memberinya seratus rupiah. Sebenarnya dalam hati aku ingin memberontak, kenapa bunda selalu membedakan aku dengan Ammar, padahal aku adalah anak yang paling besar.

Semua rasa protesku tidak cukup sampai disitu. Ketika kenaikkan kelas tiga sekolah dasar, engkau menitipkanku kepada nenek di Jawa Timur, sedangkan Ammar engkau bawa bersama ayah dan aku tidak tahu kalian pergi kemana, hingga aku tahu setelah membaca surat yang engkau kirimkan dua minggu lalu. Betapa sakitnya hatiku saat itu, lebih sakit daripada tidak diberi uang seratus rupiah sebagai uang saku. Kala itu aku berfikir bahwa ayah dan bunda tidak menginginkanku, membenciku karena kenakalanku, sehingga engkau tega menitipkan aku kepada nenek. Jauh dilubuk hatiku, meskipun setiap hari bunda memarahiku karena kenakalanku, aku masih tetap nyaman tinggal bersama dengan ayah dan juga bunda, apalagi dengan adikku satu-satunya, meskipun dia sering membuatku jengkel. Pemberontakan seorang anak kecil hanyalah mampu untuk di pendam, yang justru menciptakan rasa keras kepala dan kurang perduli terhadap orang terdekatnya.

Waktu berlalu begitu cepat. Saat usiaku menginjak remaja, sikapku semakin brutal. Setiap hari pulang malam, tidak pernah belajar, tidak pernah memperhatikan betul peringatan nenek. Aku merasa nenek tidak punya kuasa dalam hidupku, karena engkaupun tidak pernah ikut campur bahkan tidak pernah mempedulikan aku. Yang bunda lakukan hanyalah mengirim uang jajan setiap bulan sebagai rasa tanggung jawab bunda sebagai seorang ibu.

Bundaku yang terkasih, apakah bunda ingat saat amarahku yang hebat ketika itu? Ketika bunda mengunjungiku, mengingat waktu itu engkau tinggal di Muntilan, itulah yang aku tahu dari ayah. Saat itu, bunda sangat marah ketika ada teman perempuan sebayaku datang ke rumah nenek untuk belajar bersamaku malam itu. Dari mulut ke mulut tetangga rumah, bunda mendengar bahwa temanku adalah perempuan yang tidak memiliki martabat, setiap malam berkencan dengan teman sepermainanku di kampung. Yang membuatku kesal kenapa engkau mempercayainya begitu saja, sehingga engkau memarahiku begitu hebat? Aku sangat marah dan mencaci maki bunda begitu kejamnya, hingga tanpa terasa air mata sudah menggenangi wajah cantikmu. Dan malam itu, aku tidak pulang.

Engkau pulang ke Jawa Tengah dengan membawa rasa kecewa dan sedih didalam hati. Dengan enggan aku menghantarkan bunda ke terminal bersama paman. Tanpa ada salam perpisahan dan kecupan hangat, engkau melangkahkan kaki menuju bis yang terparkir tidak jauh dari hadapan kita. Wajahmu begitu sayu. Aku tidak perduli. Justru didalam hatiku, aku sangat senang saat engkau pergi jauh dariku.

Bundaku sayang, setiap malam aku tidak pernah melupakan setiap kisah yang kita jalani, baik saat aku merasakan kesedihan sendirian, ataupun saat kita bersedih dan menangis bersama. Ketika waktuku duduk dibangku Sekolah Menengah keatas, aku sedikit kurang percaya ketika bunda memintaku untuk tinggal bersamamu, bersama ayah, dan Ammar. Bunda memboyongku dari Jawa Timur ke Muntilan untuk mencoba memperbaiki hubungan kita yang dulu sempat memburuk. Engkau melakukan pendekatan secara halus terhadapku. Engkau tidak segan-segan mengantarku ke sekolahku yang baru, untuk pertama kalinya dalam hidupku. Engkau bersedia hujan mengguyur seluruh tubuhmu tanpa alas jas hujan sehelaipun, demi menghantarkan bekal makanku. Disitulah aku baru menyadari, bahwa hidup bunda selama ini tidak semulus yang aku bayangkan.

Bun, air mataku tidak ada henti-hentinya menangis ketika engkau bercerita kenapa aku dititipkan kepada nenek saat itu didalam isi suratmu. Aku baru tahu, bahwa waktu itu ayah dipecat dari perusahaan dari tempatnya bekerja karena difitnah melakukan korupsi. Dengan bekal fisik yang kurang lengkap, ayah dan bunda mencari pekerjaan di perusahaan-perusahaan di Yogyakarta. Namun mereka semua menolak ayah dan bunda, dengan alasan kalian tidak memiliki anggota tubuh yang sempurna meskipun pendidikan kalian tinggi kala itu. Kaki ayah terpaksa harus di amputasi ketika beliau mengalami kecelakaan kereta api diusianya yang baru sepuluh tahun. Dan bundapun juga demikian, terlahir dengan tidak memiliki anggota tubuh yang sempurna. Hingga akhirnya ayah dan bunda putus asa, dan engkau memutuskan untuk membawaku serta Ammar keluar dari kota Yogyakarta meninggalkan ayah seorang diri menuju rumah nenek di Jawa Timur. Bunda menitipkan aku kepada nenek dengan perasaan hancur namun juga iba. Kemudian bunda dan Ammar memilih tinggal bersama saudara bunda yang lain mengingat hubungan bunda dengan nenek tidak begitu baik karena kondisi fisik bunda sebagai salah satu alasannya.

Bunda juga bercerita bahwa ayah akhirnya memilih tinggal dan mencari kerja di kota kelahirannya, Surabaya. Ayah bekerja seadanya. Bundapun juga demikian. Setiap hari engkau memasak kue-kue kecil yang dititipkan diwarung-warung sekitar rumah yang untungnya tidak seberapa. Pernah suatu hari hampir dua bulan ayah tidak mengunjungi bunda dan Ammar, sedangkan uang bunda tinggal seribu rupiah. Untuk mengganjal perut yang kosong, engkau membelanjakan uang tersebut dengan setengah kilogram ketela pohon. Bunda memasaknya dan menyantapnya bersama Ammar dengan hati getir. Engkau menahan tangis sembari berusaha menghilangkan rasa khawatir untuk nasib kehidupan berikutnya. Namun aku sedikit lega setelah engkau bercerita bahwa malam harinya ayah mengunjungi bunda dengan membawa uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan selama satu bulan ke depan.

Sepertinya dewi fortuna belum memihak bunda dan ayah ketika kalian merantau ke Muntilan, kota kecil yang menyimpan sejuta cerita. Disana bunda dan ayah bekerja membanting tulang demi mencukupi kehidupan kalian disana, dan harus mengirimiku uang setiap bulannya. Ayah bekerja menjadi juru masak dirumah dinas orang asing yang bekerja disebuah Yayasan Penyandang Cacat diJawa Tengah, sedangkan bunda membuka warung kelontong di pinggir jalan tidak jauh dari rumah kontrakan. Gaji sebagai juru masak di kota kecil tidaklah cukup untuk kebutuhan bulanan dan biaya sekolah kami anak-anakmu. Terlebih saat itu bunda mengandung Anjani, adik perempuanku yang sekarang sudah duduk dibangku kelas empat sekolah dasar. Dengan penuh syukur dan tanpa keluh kesah, bunda tidak segan membantu ayah mencari nafkah. Apapun akan kalian lakukan demi pendidikan dan kebahagiaan anak-anakmu kelak.

Bundaku yang paling aku hormati, seandainya bunda bercerita dari dulu, aku tidak akan menyesal hingga hari ini. Aku sungguh sangat tidak enak hati telah memperlakukan bunda sedemikian rupa, kurang peka terhadap kepingan-kepingan angan yang sudah bunda sampaikan kepadaku. Kini aku menyadari, bahwa pengorbananmu begitu sangat tulus, sampai-sampai engkaupun enggan mencurahkan kegelisahaan dan kekawatiran hatimu kepadaku. Dengan keterbatasan yang engkau miliki, engkau berjuang demi anak-anakmu, tidak perduli cemoohan orang ataupun saudara yang telah memandangmu sebelah mata karena predikat cacat yang bunda sandang. Ketahuilah bundaku sayang, aku tidak malu memiliki kedua orang tua seperti ayah dan bunda, dimataku kalian sungguh sangatlah sempurna. Lihatlah anak-anakmu ini yang terlahir dengan utuh dan sempurna, dengan tanganku ini aku berjanji kepadamu untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat nama baikmu. Akan aku buktikan kepada mereka yang telah enggan mengalihkan pandangannya kepadamu, bahwa engkau sungguhlah sangat layak untuk dijadikan panutan. Bagaimanapun keadaanmu, aku bangga memiliki bunda yang dapat menaikkan derajat anak-anaknya hingga seperti sekarang ini. Sekarang gilirankulah yang akan menaikkan derajat bunda. Hanya kasih sayangmulah yang mampu merubahku menjadi seperti saat ini, anak yang dulu tidak memperdulikanmu, anak yang membuatmu selalu menadahkan tanganmu kepada sang Pencipta, yang menjadikanmu berjuang keras untuk membuktikan bahwa engkaupun mampu memiliki anak-anak yang sempurna seperti orang lain miliki dengan berbagai keterbatasan yang engkau miliki.

Malaikat cantikku, bunda tidak perlu meminta maaf kepadaku, seharusnya akulah yang meminta maaf kepada bunda. Berapapun permintaan maaf yang aku ucapkan, tidak dapat menebus semua kesalahan yang telah aku lakukan di masa lalu. Namun dengan kasihmu, engkau mengampuni semua kesalahanku, dan menegaskan kepadaku bahwa engkau memiliki tujuan dalam hidupku. Ya, kini aku menyadari bahwa apa yang bunda lakukan, semata-mata hanyalah untuk masa depanku. Setiap bait yang engkau tuliskan ke dalam sebuah kertas putih yang engkau kirimkan kepadaku, ada sebuah rasa getir yang merasuki jiwamu, saat engkau mengatakan bahwa engkau menyayangiku. Kata-kata itulah yang aku tunggu-tunggu selama ini. Kata-kata yang sebenarnya membuatku semakin merasa bersalah. Namun dengan kekuatan hatimu, aku menjadi yakin bahwa bunda telah memaafkan segala kesalahan-kesalahanku. Sudah cukup penderitaan yang engkau alami, bunda. Dan aku tidak akan mengijinkan mereka mengetuk pintu rumahmu kembali.

Bunda, ijinkanlah aku untuk membalas semua pengorbanan dan limpahan kasih sayangmu kepadaku. Meski apapun yang aku lakukan sekarang belumlah cukup untuk membalas semua yang telah engkau curahkan kepadaku, namun setidaknya melihatmu tersenyum sekarang ini adalah sebuah impian yang terus dan terus ingin aku gapai, sebagai bukti bahwa aku telah berubah menjadi lebih baik berkatmu. Bunda, aku sangat mencintaimu lebih dari apapun. Tidak akan aku biarkan air mata kesedihan nampak lagi di wajah cantikmu. Engkau adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi panutan hidupku, yang siap memelukku kapanpun yang aku mau. Dan tunggulah sebentar bundaku sayang, aku akan segera pulang memelukmu erat dan mengecupmu hangat. Siapkanlah senyuman terindahmu untuk menyambut kepulanganku. Bukalah pintu hatimu selebar yang engkau mau untuk aku dapat masuk kedalam dekapan kasihmu. Teriring doa, dari malaikat kecilmu.

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community di http://www.kompasiana.com/androgini dan silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun