Ketika melewati sebuah papan iklan besar bergambar anak mantan presiden dengan sikap hormat tapi kata yang ditulis adalah siap, saya jadi ingin bertanya pada mamang ojek online yang mengantarkan saya kali itu.
Mau pilih siapa nanti, mang?
Dia kemudian menyebutkan kandidat capres yang dia pilih. Pertanyaan basa basi saya menjadi sesi curhat. Keluhan pun dimulai.Â
Betapa beratnya hidup di rezim sekarang ini, mbak. Saya ini pegawai pemerintah tapi untuk mengomentari kinerja pemerintah takut-takut nanti tercyduk. Belum lagi ulama kita, agama kita sangat dizalimi.
Kata-katanya kemudian terdengar bagai suara-suara sumbang dari kaset kusut, kadang terdengar jelas, kadang hilang bersama hembusan angin. Semangatnya curhat harus terhenti ketika saya bilang, "Stop, mang!" Saya sudah sampai.Â
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas jasa antar dan pandangan politiknya. Mamang ojek tadi saya kira mewakili banyak suara yang dicekoki sedemikian rupa oleh berbagai berita provokasi.
Begitu besar dampak dari berita sejenis sehingga kedua belah kubu capres pun harus berjibaku mengandeng ulama dan apapun yang berhubungan dengan Islam agar lebih 'menjual'.
Mungkin tidak hanya saya yang merasa begitu jengah ketika mendengar obrolan, membuka akun medsos, TV, dan membaca koran isinya didominasi pilihan politik dengan bumbu isu agama yang semakin menjadi-jadi.
Isu yang dibawa pun fokus pada agama mayoritas itu saja. Padahal dalam tubuh umat mayoritas ini sendiri pun, banyak suara-suara yang tidak sinkron.
Ketika menuliskan atau menyampaikan kritikan apapun yang berkaitan Islam, agama mayoritas penduduk di negeri ini, semua orang jadi lebih berhati-hati bahkan jika memungkinkan lebih baik menghindar daripada... daripada...
Makin hari pemeluknya menjadi semakin sensitif. Sedikit saja mengkritik bisa jadi berakhir sebagai penista, meski sesama saudara seiman.