Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 yang lalu tak dapat dibantah sebagai Pilpres paling “memabukan” paska reformasi bergulir tahun 1998 silam. Betapa tidak, kontestasi politik yang melibatkan dua Calon Presiden (Capres) ini menyajikan dinamika dan kompetensi politik yang menguras energi bangsa.
Jagad politik tanah air pun menjadi terbelah oleh dua kutub politik. Kutub Merah Putih di satu sudut dengan mengusung duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai Capres-Cawapres. Sementara disudut yang lain, Kutub Indonesia Hebat “membopong” duet Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Capres-Cawapres. Persaingan dua kutub ini berlangsung dengan dinamis, seru, dan menegangkan. Bahkan, akibat gelombang dukungan yang tidak lagi berjalan dalam kanal yang sehat, keterbelahan politik pun menjalar ke seluruh elemen bangsa.
Media yang notabene menjadi salah satu pilar penting demokrasi ikut terbelah, partai politik terbelah, organisasi (baik profesi, keagamaan, paguyuban, kedaerahan ) juga ikut terbelah, bahkan ada juga “keluarga” yang menjadi terbelah akibat urusan dukung-mendukung ini. Hingga Presiden Widodo usai dilantik pun, keterbelahan politik ini tidak juga kunjung usai. Yang paling terang adalah keterbelahan media pada dua kutub politik di atas. Bahkan hingga hari ini, “parlemen dunia maya” belum sepi dari persaingan dua kutub yang berseberangan tersebut.
Namun ada pembelajaran positif yang dapat diambil dari kontestasi Pilpres 2014, yakni keterlibatan masyarakat luas dalam membangun demokrasi yang berkualitas. Munculnya banyak kelompok relawan yang mendukung Presiden Widodo merupakan preseden yang mencerahkan bagi proses demokratisasi bangsa ini. Hanya sayangnya, ekspektasi publik yang kuat tersebut kehilangan progresifitas, tatkala Presiden Widodo masih di posisikan sebagai “petugas partai” oleh partai pengusungnya.
Trio KMP
Predikat “petugas partai” yang melekat kepada Presiden Widodo bukan tanpa kosekwensi serius. Pertama, predikat “petugas partai” ini mendegredasikan kepercayaan rakyat, wabilkhusus para pendukung presiden Widodo saat Pilpres. Degradasinya kepercayaan rakyat ini otomatis menurunkan popularitas Joko Widodo yang notabene “menjulang” karena kemasan pencitraan.
Kedua, saya kira ini yang menjadi persoalan fundamental. Bahwa predikat “petugas partai” yang melekat pada Presiden Joko Widodo merupakan “politik simbol” yang menegaskan bahwa ia hanyalah presiden boneka yang di kendalikan oleh pihak lain. Adanya dugaan tentang cengkraman Trio KMP (Kalla, Mega, dan Palloh) dalam melaju navigasi pemerintahan Presiden Widodo sepertinya bukan isapan jempol belaka. Seperti apa saja pengaruh Trio KMP ini dalam “menagatur” kebijakan pemerintahan Preside Widodo, berikut ini saya ulaskan satu persatu.
Drama kenaikan harga BBM yang walaupun akhirnya di turunkan kembali harganya, oleh banyak pihak menduga di “arsiteki” oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Tak jelas apa motif JK, karena ia yang paling kencang bersuara di balik kebijakan anti nalar tersebut. Anggota DPR PDI Perjuangan, Efendi Simbolon bahkan dengan agak keras menyindir Wapres Kalla perihal sikapnya yang begitu bernafsu menaikan harga BBM, “Saya nggak tahu ya ada apa dibalik itu. Yang saya tanya cuma kenapa JK bernafsu sekali?”, demikian pernyataan Simbolon seperti dilansir kompas.com (4 November 2014). Apapun alasan JK dengan sikapnya tersebut, satu hal yang bisa kita tangkap adalah Wakil Presiden JK—yang tak bisa dipandang remeh kontribusinya dalam memenangkan kontestasi Pilpres—nampaknya punya power untuk “mengatur” Presiden Widodo.
Sementara itu, Megawati sukar dibantah punya peran penting dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan Presiden Widodo. Ekspektasi publik dan para relawan yang besar agar kursi Menteri Hukum dan HAM di isi oleh orang professional justru di tempati oleh Yassona Laoly, kader PDI Perjuangan yang di sorong Megawati Soekarnoputri.
Besarnya pengaruh Ketua Umum PDI Perjuangan ini dalam “mengatur” Presiden Widodo juga dapat dilihat dari pencalonan Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman beberapa waktu yang lalu. PencalonanBudi ini pun memanen kritik yang luas dari publik. Radio BBC Indonesia menulis “Keputusan Jokowi mengundang kritik karena keterikatan Budi dengan kasus rekening gendut pejabat Polri serta pengaruh Megawati Soekarnoputri, karena Budi pernah menjadi ajudan Megawati saat ia menjadi presiden”, BBC Indonesia (16 Februari 2015).
Bahkan setelah Budi di tetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tanggal 13 Januari 2015, Presiden Widodo malah tetap mengajukan nama Budi Gunawan ke DPR untuk di uji kelayakan dan kepatutan. Sikap “ngotot” Jokowi ini dinilai oleh banyak pihak akibat kuatnya pengaruh Mega. Sehingga, walaupun pencalonan Budi Gunawan sudah dibatalkan oleh Presiden Widodo, tetapi tidak bisa menghapuskan jejak dari ingatan publik bahwa Presiden Widodo tidak bisa lepas dari “tangan” Megawati yang notabene punya saham paling besar untuk mendudukan Joko Widodo sebagai Presiden.
Yang juga tak kalah riuh dari kritikan publik adalah keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat HM Prasetyo, kader Partai Nasdem sebagai Jaksa Agung. Padahal sebelumnya Presiden Widodo berjanji memilih kalangan professional untuk kursi Jaksa Agung, apalagi track record Prasetyo yang diragukan. “ICW saja tidak tahu siapa dia, track recordnya tidak jelas. Pantaslah kalau di ragukan”. Demikian krtikan pedas dari Emerson Yuntho, KordinatorDivisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW seperti yang dikutip oleh portal berita www. jatengpos.co (21 November 2014).
Sehingga tak heran kalau banyak pihak menduga, bahwa Prasetyo adalah titipan Surya Palloh. Sukar memang untuk dibantah bahwa Presiden Widodo memilih Prasetyo sebagai Jaksa Agung karena pengaruh Surya Palloh yang tidak disangsikan lagi sebagai salah satu penopang utama bangunan kekuasaan Presiden Widodo.
Predikat “petugas partai” yang melekat pada Presiden Widodo merupakan wajah muram bagi demokrasi kita. Karena demokrasi hanya “berdansa” dalam lekak-lekuk kepentingan para elit politik dan konconya. Sehingga jangan heran kalau demokrasi pun tergeletak dalam seringai elitkrasi, yakni demokrasi bersolek dari para elit, oleh elit dan untuk kehendak privat para elit politik itu sendiri.
Oleh karena itu, agar Presiden Widodo tidak tersandera dalam tekanan politik pihak lain, maka Presiden Jokowi harus segera “bertaubat” dari cengkeraman kepentingan privat para elit politik tersebut. Sehingga demokrasi kembali mengabdi pada kebaikan umum (bonum comunie), dan bangsa ini tidak lagi di sibukan oleh kegaduhan-kegaduhan politik yang tak berfaedah.
Tulisan ini sudah di muat di portal berita www.lintasgayo.co (21/2/205)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H