Mohon tunggu...
Muhamad Hamka
Muhamad Hamka Mohon Tunggu... -

"Yang tertulis akan abadi"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik "Aji Mumpung"

16 Oktober 2012   21:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:46 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tawaran empuknya kursi kekuasaan memang bisa membuat orang lupa diri. Sehingga segala cara digunakan asalkan kekuasaan bisa di duduki. Maka tak heran kalau banyak orang memanfaatkan setiap cela sekecil apapun, asal bisa menerobos jantung kekuasaan.

Kekuasaan dalam locus apapun merupakan amanah yang dipertanggung-jawabkan, tidak hanya secara profanitas (di dunia) tapi juga secara eskatologis (di akhirat nanti). Itulah sejatinya kekuasaan. Namun tak jarang banyak orang karena syahwat kekuasaan yang sudah memuncak diubun-ubun, ia tak peduli lagi apakah ia sanggup memikul amanah tersebut, yang penting ia dapat menduduki kursi kekuasaan walau dengan cara apapaun.

Tulisan Kanda Muchlis Gayo (MG) “Penjabat dan Demokrasi di Aceh” di media online Lintas Gayo menarik untuk dicermati. Disamping memberikan analisa hukum soal adanya perbedaan kewenangan pejabat dan penjabat, tulisan MG juga sarat dengan informasi. Bagi saya yang punya minat pada kajian sosial-politik, tulisan ini memberikan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya selama ini.

Pasalnya, Penjabat Bupati Aceh Tengah, Ir. Mohd. Tanwier hadir di Aceh Tengah dengan menimbulkan sejumlah polemik. Pertama, Mohd. Tanwier bukan penjabat yang diusulkan DPRK Aceh Tengah ke Penjabat Gubernur Aceh, Tarmizi Karim. Dimana yang diusulkan oleh DPRK adalah Drs. Taufik dan Drs. Ismariska MM. Lain yang diusulkan lain yang ditetapkan, sehingga menimbulkan resistensi publik.

Kedua, kedatangan Penjabat Tanwier yang biasa dipanggil Baong ini disambut unjuk rasa oleh sejumlah elemen generasi muda Aceh Tengah. Sehingga ini bisa diindikasikan kehadiran Baong tak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Aceh Tengah. Tapi kenapa penjabat Tarmizi Karim begitu ngotot mengirim Tanwier ke Takengon?

Inilah pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya selama ini. Namun dengan tulisan MG yang analitik dan informative, pertanyaan tersebut terjawab. Bahwa Ir. Mohd. Tanwier MM berhasil menduduki kursi kekuasaan (Penjabat Bupati Aceh Tengah) dengan tanpa hambatan karena ada relasi kepentingan (keluarga) dengan Tarmizi Karim.

Sebagaimana informasi MG dalam artikelnya, Ir. Tarmizi Karim merupakan anak emas mantan Gubernur Aceh Prof. Syamsuddin Mahmud. Sementara Ir. Mohd. Tanwier merupakan (katanya) menantu Prof. Syamsuddin. Sungguh luar biasa, sebuah “persekutuan” kepentingan (keluarga) yang sangat setia. Namun sayangnya persekutuan kepentingan tersebut mencederai kepentingan banyak orang.

Bangunan relasi kekuasaan model Syamsuddin Mahmud-Tarmizi Karim-Mohd. Tanwier ini, dalam dinamika politik Indonesia biasa disebut sebagai politik aji mumpung. Lakukan sesuka hatimu-kelola kekuasaan tersebut dengan sesukamu, mumpung masih berkuasa. Sehingga tak peduli dengan protes masyarakat, tak peduli dengan usulan wakil rakyat, asalkan persekutuan kepentingan keluarga bisa menemukan “lahan subur untuk merumput.”

Dalam rezim despostis Orde Baru, politik aji mumpung ini dikenal luas oleh para aktivis dengan istilah AMPI. Istilah AMPI yang ini bukan singkatan dari Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (organisasi sayap partai Golkar), tapi singkatan dari (Anak, Menantu, Ponakan, Ipar). Istilah ini sering dipakai oleh para aktivis untuk menyebut perilaku nepotisme (yang menggurita) para elite Orde Baru.

Sebutlah “suhu” Orde Baru, Suharto yang menjadi ikon dari politik aji mumpung ini. Ia memberikan sejumlah privilege (hak istimewa) untuk anak-anaknya dalam menggunakan asset negara berbisnis. Mulai dari Tommy Suharto dengan sedan timornya hingga yang memantik reaksi keras publik adalah pengangkatan Hardianti Rukmana dan Bob Hasan, anak dan kawan dekatnya sebagai Menteri Kabinet dalam masa-masa terakhir kekuasaan Mbah Harto.

Dimana menurut hampir sebagaian besar pengamat waktu itu, kedua orang ini (Hardianti dan Bob Hasan) sama sekali tidak punya kapasitas dan kualitas untuk menduduki kursi menteri. Namun dengan kekuasaanya yang absolute, tidak ada yang berani menentang keputusan Suharto tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun