Ekspektasi masyarakat Aceh yang cukup besar terhadap kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (ZIKIR) sepertinya hanya menjadi harapan yang utopis. Zikir yang diharapkan akan menghadirkan perubahan yang radikal dalam pemerintahanya justru memperlihatkan wajah pemerintahan yang bopeng.
Praktik “bagi-bagi kue kekuasaan” yang di paradekan secara telanjang oleh pemerintahan ZIKIR menghentak kesadaran kolektif rakyat Aceh. Mengangkat orang yang meninggal dan pejabat yang tersandung korupsi menjadi elit birokrasi jelas merupakan tindakan yang tak saja irasional, tapi juga mencenderai kewarasan publik. Bagaimana mau menjalankan birokrasi yang efektif dan efesien, sementara proses pengangkatan elit birokrasinya penuh dengan ketidak-warasan.
Kangker Kekuasaan
Apapun alasan dari Gubernur Zaini Abdullah soal tindakan yang tak masuk akal ini, tetap tidak bisa meredam kewarasan publik. Publik Aceh otomatis bisa menilai bahwa pemerintahan ZIKIR sedang menjadikan panggung kekuasaan yang mereka miliki saat ini sebagai medium untuk membangun “kangker kekuasaan.”
Kangker kekuasaan” ini tidak saja menjadikan demokrasi kian menjauh dari kepentingan kerakyatan, tapi juga bakal menumbuh-suburkan korupsi kekuasaan. Lantas menjadi pertanyaan bagi kita semua, inikah hasil pilkada 9 April setahun silam yang notabene dilewati dengan penuh keprihatinan, dimana beberapa nyawa orang tak berdosa melayang secara sia-sia.
Kita tentu berharap bahwa pemerintahan ZIKIR tetap memosisikan kehendak publik diatas segala-galanya. Berharap bahwa kehendak publik (res-publica) tetap menjadi pendulum dalam aktus kekuasaan ZIKIR, tanpa di distorsi oleh arogansi kehendak privat (res-privata) para elit dilingkaran kekuasaan. Karena ingat, menjadi elit tak sekonyong-konyong meloncat dari langit, tapi karena di dukung oleh suara dan kehendak rakyat. Hal ini sudah dilukiskan dengan begitu reflektif oleh Bung Karno puluhan tahun silam, sebagaimana yang dikutip oleh Cindy Adams (2007) “janganlah lupa demi tujuan kita, bahwa pemimpin berasal dari rakyat bukan berada diatas rakyat.”
Kalau kekuasaan ZIKIR--yang notabene di peroleh melalui jalan demokrasi ini--tak dibereskan dari ajang “pembagian kue kekuasaan” maka janji perubahan yang mereka gaungkan hanya menjadi pepesan kosong. Padahal demokrasi meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).
Elitkrasi
Atau boleh jadi benar tesis yang mengatakan demokrasi Aceh sekarang sudah ditelikung oleh syahwat elitkrasi. Elitkrasi merupakan kekuasaan yang dibangun diatas kehendak privat elit politik; dari elit, oleh elit, dan untuk elit beserta kroni-kroninya. Kalau tesis ini betul, maka demokrasi Aceh sedang direduksi dalam wajah prosedural, guna melempangkan jalan para elit dalam menebar kangker kekuasaan.
Tesis ini semakin menemukan kesahiannya. Pasalnya, ditengah pelbagai problema yang masih melilit sebagaian rakyat Aceh hari ini, DPRA mengesahkan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahun 2013 yang ironisnya jauh dari hajat publik. Bahkan puluhan miliar APBA dikucurkan untuk Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Anggaran operasional untuk Wali Nanggroe sejumlah 40 miliar ini jelas sangat berkelimpahan bila dibandingkan dengan tugas pokok dan fungsinya. Alangkah lebih bijaknya kalau anggaran yang berkelimpahan tersebut digunakan untuk membangun kualitas SDM guru dan siswa Aceh serta beasiswa untuk putra-putri terbaik Aceh.
Namun itulah kekuasaan, punya potensi bertumbuh mencakar langit.” Begitulah refleksi seorang Sosiolog Jerman terhadap kekuasaan. Dan di Aceh hari ini, potensi tersebut sudah mulai menemukan habitusnya. Kondisi DPRA yang didominasi oleh partai penguasa (Partai Aceh) menjadikan legislative Aceh sebagai lembaga macan tumpul, bahkan setali tiga uang dengan kebijakan-kebijakan irasional eksekutif. Hal ini berkencendrungan menjadikan parlemen Aceh sekadar sebagai “stempel” dalam memuluskan kebijakan-kebijakan irasional eksekutif.
Political Sacrifice
Untuk itu, sebagai tanggung-jawab publik yang masih waras, tugas kita adalah tak boleh berhenti mengkritisi jalannya pemerintahan yang menyimpang. Dalam hal ini, penulis berharap adanya kearifan dari ZIKIR untuk bersedia melakukan pengorbanan politik (political sacrifice).Political sacrifice ini adalah adanya itikad kuat ZIKIR untuk memosisikan kepentingan seluruh rakyat Aceh sebagai pendulum (arus utama) dalam menjalankan roda kekuasaanya.
Pengorbanan politik ini merupakan ikhtiar yang mulia dan membutuhkan kemauan yang kuat. Karena akan muncul resistensi dari kelompok status quo. Namun semuanya bisa diatasi jika ZIKIR memantapkan visi bersama untuk senantiasa istiqomah memosisikan kepentingan rakyat di atas segala-galanya.
Pengorbanan politik ini adalah tradisi yang hilang dalam aktus politik di negeri ini, baik di skala nasional maupun di Aceh sendiri. Padahal pengorbanan politik ini merupakan kearifan yang diwariskan oleh leluhur dan merupakan fotsoen politik Islam, namun hari ini sudah terkooptasi oleh kuatnya arus pragmatisme dan hedonisme dalam memburu kekuasaan.
Kalau ZIKIR mau berkorban untuk membangun tradisi politik yang betul-betul berorientasi kerakyatan secara konsisten, maka bisa dipastikan masa depan Aceh akan gemilang. Dan sekali lagi, ini bakal terwujud ketika pemimpin Aceh tak berleha-leha diatas kenestapaan rakyat.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di situs berita Atjeh Link (6/3/2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H