Setelah melewati pelbagai dinamika dan dialektika politik yang cukup keras, akhirnya Ir. Tagore Abubakar berhasil lolos ke Senayan mewakili Aceh bersama dua belas anggota DPR terpilih lainya. Keberhasilan Tagore bertahta di Senayan membawa harapan segar bagi seluruh rakyat Gayo.
Tagore yang di kenal luas sebagai tokoh politik Gayo yang konsisten menyuarakan kepentingan Gayo dan pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) diharapkan dapat menjadi wakil rakyat Gayo yang gesit dan konsisten dalam menyuarakan kepentingan Gayo dan wilayah tengah di level nasional. Sehingga Jakarta (pemerintah pusat) akan serius dan sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan Gayo dan wilayah tengah yang selama ini cendrung di abaikan.
Politik alienasi yang di bangun-mainkan oleh Aceh (Pesisir) selama ini membuat Gayo tersudut dalam area marginal. Di level nasional misalnya, Gayo selalu ‘tiarap’ dalam subordinasi dan hegemoni Aceh (Pesisir). Sehingga besar harapan seluruh rakyat Gayo, bahwa keberadaan Tagore di Senayan dapat menghadirkan spirit baru dan gelora perubahan bagi masa depan Gayo dan wilayah tengah yang lebih baik.
Sebab, kita semua mahfum bahwa dinamika dan dialektika politik yang berlaku di Senayan meniscayakan politikus yang vokal, ‘berbeda’ dan keras. Dan ketiga kategori ini ada pada diri Tagore. Hal ini semakin di perkuat dengan posisi mantan Bupati Bener Meriah ini sebagai legislator dari partai pemenang pemilu sekaligus partai penguasa, PDI Perjuangan.
Namun, semua hal di atas akan sia-sia belaka tatkala tidak di dukung oleh political will dan political sacrifice yang kuat dari Tagore. Dari perspektif political will (kemauan politik), tentubanyak orang di tanoh Gayo tidak meragukan lagi komitmen dan kemauan politik Tagore untuk Gayo dan wilayah tengah. Semua orang boleh jadi sepakat bahwa konsistensi perjuangan Tagore untuk perubahan di Gayo sudah given, tidak ada keraguan di sana. Namun ketika di hubungkan dengan political sacrifice (pengorbanan politik) maka boleh jadi masih ada keraguan yang hadir di sana.
Ego kultural
Penyebab kegagalan calon legislator asal Gayo yang maju ke Senayan selama ini, salah satunya dan punya pengaruh yang signifikan adalah akibat masih kuatnya ego kultural (urang ini-urang itu) yang mencengkram nalar politik elit Gayo. Hal ini membawa kosekuensi politik yang tidak menguntungkan, dimana elit politik Gayo yang melaju ke Senayan kehilangan legitimasi kultural secara kolektif dari rakyat Gayo. Dan celakanya lagi, chauvinisme politik macam ini justru kian menganga saat momentum pemilu tiba, akibat di provokasi oleh para politikus yang berusaha mentanak citra dan elektabilitas dengan cara instan.
Namun, keberhasilan Tagore menjadi wakil rakyat Gayo di DPR RI adalah sesuatu yang berbeda. Dalam pengertian, lolosnya Ketua KP3 ALA ini mendampingi dua belas anggota DPR Aceh terpilih lainnya bukan di sebabkan oleh solidnya legitimasi kultural rakyat Gayo, tetapi lebih disebabkan oleh momentum politik yang bersahabat dengan pergerakan politik Tagore.
Gema perlawanan Tagore yang kuat terhadap qanun diskriminatif ‘Wali Nanggroe’ dan qanun rasis ‘Lambang dan Bendera Aceh’ melahirkan simpati dan dukungan yang besar dari masyarakat Gayo dan wilayah tengah umumnya. Kedua qanun yang menciderai akal sehat ini berhasil menjadi common enemy (musuh bersama) seluruh rakyat Gayo, sehingga dengan sendirinya ‘kesadaran primordial’ sebagai urang Gayo semakin mengental. Pada titik inilah, Tagore berhasil menuai berkah politik, oleh karena perannya sebagai salah satu tokoh politik Gayo paling depan yang menolak kedua produk hukum anti nalar tersebut.
Pergerakan politik Tagore kian mendapat tempat di hati rakyat Gayo ketika DPD Partai Golkar Aceh tidak memasukan mantan Ketua Golkar Kabupaten Bener Meriah ini dalam daftar calon legislative DPR RI. Keputusan ini tentunya sangat paradoks, mengingat Tagore adalah kader senior dan tokoh Golkar wilayah Tengah yang tidak perlu di ragukan lagi khidmatnya pada partai Beringin tersebut. Politik anti nalar yang di skenariokan oleh elit Golkar Aceh ini justru menjadi bomerang, karena kian memosisikan Tagore sebagai pihak yang di zalimi. Simpati dan dukungan masyarakat Gayo untuk Tagore pun kian mengalir.
Momentum politik yang bersahabat bagi Tagore tidak berhenti sampai di sini saja. Kisruh politik antara kelompok Laskar Merah Putih Kabupaten Aceh Tengah dan Partai Aceh wilayah Aceh Tengah yang meletus beberapa hari sebelum dilaksanakannya pemilu legislative, justru semakin memosisikan Tagore sebagai politikus yang terzalimi. Peristiwa ini justru menguatkan solidaritas dan simpati rakyat Gayo kepada Tagore. Dari pelbagai rentetan peristiwa politik di depan, terlepas apakah semuanya hanya kebetulan belaka atau memang by design, yang pasti popularitas dan elektabilitas Tagore kian melejit.
Dari ulasan di atas sudah jelas bagi kita, bahwa berhasilnya Tagore bertahta di Senayan lebih dominasi oleh momentum politik menguntungkan yang mampu di racik serta di elaborasi dengan baik; ketimbang kesadaran kultural secara kolektif urang Gayo sebagai pihak (suku) yang kerap di marginalkan dalam segala aspek pembangunan di Aceh.
Milik urang Gayo
Sekarang kita tinggal menunggu ‘pengorbanan politik’ Tagore untuk istiqomah menjadi wakil seluruh rakyat Gayo dan tidak terfragmentasi dalam ego kultural (urang ini-urang itu). Karena ketika Tagore sudah mengikrarkan diri sebagai calon anggota DPR RI pada waktu itu, maka pada saat itu juga ia sudah selesai dengan dirinya dan sudah selesai dengan segala bentuk atribut kelompok yang melingkupi pergerakan politiknya. Sejak saat itu, Tagore sudah seutuhnya menjadi milik seluruh urang Gayo.
Untuk itu, visi dan agenda politik Tagore kedepan harus selaras dengan denyut aspirasi seluruh urang Gayo. Kalau Tagore bisa memanifestasikan political sacrifice ini secara konsisten dan sungguh-sungguh, maka saya percaya ia akan menjadi wakil rakyat Gayo yang merakyat, bukan sekadar mewakili rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H