Genap sudah sebulan sejak Ganool diblokir oleh pemerintah kita. Berdasarkan data dari Wikipedia situs Ganool sendiri sudah ada sejak tahun 2009 dan tidak pernah mengganti alamat domain-nya hingga awal Agustus lalu ketika diblokir di seluruh Indonesia. Keputusan ini memang menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Tapi sebelum kita membahasnya, Ganool.com sempat mengganti alamat situs atau url ke Ganool.video namun kembali diblokir dan kini menggunakan alamat Ganool.my.id
Kasus "blokir memblokir" sebenarnya bukan pertama kali dialami Ganool, setidaknya bukan dari Indonesia. Sebelumnya Ganool pernah menjadi incaran pihak FBI dan beberapa korporasi film luar negeri yang merasa dirugikan. Meskipun kabar ini hanya dikonfirmasi oleh sang pendiri Ganool sendiri melalui laman facebooknya namun tidak menutup kemungkinan hal itu merupakan sebuah kebenaran, karena sudah menjadi "cerita lama" jika situs-situs download seperti ini menjadi incaran banyak pihak. Masih lekat di ingatan bagaimana situs download terbesar di dunia ThePirateBay.org ditutup oleh pemerintah Amerika Serikat namun langsung menimbulkan kecaman dari banyak orang di berbagai negara yang selama ini merasa "terbantu" dengan adanya situs Peer 2 Peer seperti ThePirateBay.
Ironis memang, ternyata situs seperti ini memiliki massa pendukung yang tidak sedikit bahkan bisa dibilang fanatik dan loyal. Alasannya cuma satu, karena mereka terbantu mendownload film dengan gratis. Analoginya hampir sama dengan kisah Robin Hood, yang sering membagi bagikan barang atau makanan hasil rampokan ke penduduk miskin yang lebih membutuhkan. Tidak heran banyak yang mengelu-elukan sosok seperti Robin Hood, pembela masyarakat miskin dan penentang kaum kaya yang rakus.
Jika kita runtun ke belakang kenapa hal seperti ini bisa terjadi maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat kita tidak punya daya beli yang cukup untuk membeli film kualitas original yang harganya bisa mencapai lebih dari Rp.50.000. Upah Minimum Regional (UMR) di beberapa kota besar memang sudah mencapai angka 2 juta per bulan yang jika dibagi 30 hari menjadi sekitar 60 ribu/hari. Sangat tidak logis jika mereka mengorbankan upah mereka selama satu hari hanya untuk membeli "satu judul film" original. Jelas saja mereka akan lebih memilih membeli film bajakan di Glodok dengan harga 5 ribu perbuah (dapat 12 judul film) atau download gratis di situs seperti G dengan cukup membeli kuota internet dengan harga 150 ribu per bulan.
Sekali lagi bentuk download ilegal memang tidak bisa dibenarkan namun ini sudah menjadi penyakit sosial dan perlu dicari solusi dengan pendekatan yang normatif dan tidak agresif. Karena menutup satu situs sejenis bisa menumbuhkan puluhan situs lain plus rasa "dendam" dari masyarakat yang membuat mereka semakin ingin membeli barang bajakan atau download gratis di tempat lain.
Saya sendiri sebagai akademisi lebih memilih jalan "memurahkan" harga kepingan dvd film original termasuk harga nonton bioskop di beberapa lokasi tertentu. Sehingga film original bukan lagi menjadi barang mewah yang tak terbeli melainkan bisa menjadi bagian yang melekat di pikiran masyarakat karena mereka memang mampu membelinya dan tidak punya alasan untuk mencari barang bajakan dengan kualitas yang lebih buruk.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H