Perubahan iklim kian terasa dampaknya dimuka bumi, khususnya di tanah yang kaya akan sumber daya alam dan kehidupan.
Tetes demi tetes air mulai berjatuhan dari keindahan salju yang terletak di pegunungan Jayawijaya, perubahan iklim ektrim menyebabkan pencairan terjadi pada "Salju Abadi" yang pada saat ini sudah tidak abadi.
Berbagai ancaman terus menghantui dengan cairnya es di dataran tinggi Jayawijaya, mulai dari naiknya permukaan laut yang menyebabkan peningkatan panas laut, sehingga akan membahayakan ekosistem laut.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan es yang mencair di pegunungan Jayawijaya, Papua akan berdampak pada peningkatan tinggi muka laut yang nantinya dapat merusak ekosistem laut di wilayah tersebut.
"Pencairan tutupan es Papua berdampak pada peningkatan tinggi muka laut regional dan global," ungkap Donaldi Sukma Permana, Koordinator penelitian Klimatologi di Puslitbang BMKG dalam seminar daring, selasa (22/8).
Diketahui, seiring berjalannya waktu ketebalan es mengalami penurunan sebanyak satu meter per tahunnya. Kondisi semakin memburuk di tahun 2015 hingga 2016, dengan dilandanya Indonesia oleh El Nino (Pemanasan suhu muka laut), sehingga suhu permukaan menjadi lebih hangat dan mengakibatkan gletser mencair hingga lima meter per tahunnya.
BMKG mencatat ketebalan es di Desember 2022 hanya tersisa 6 meter, sehingga muncul kekhawatiran salju abadi di puncak Jayawijaya Papua akan mencair dengan cepat dan hilang sekitar tahun 2025-2027.
Hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan oleh BMKG bersama Ohio state University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter.
Dalam beberapa dekade terakhir, Uni Eropa mengambil tindakan tegas terhadap perubahan iklim, yang menghasilkan emisi UE lebih dari 31% pada tahun 2022 dibandingkan dengan tingkat tahun 1990. Penyebab utamanya yaitu meningkatnya penggunaan energi terbarukan dan berkurangnya penggunaan fosil yang intensif karbon.
Saat ini, sasaran lebih ambisius ditetapkan yang mencakup pengurangan bersih sebesar 55% atau lebih di bawah tingkat tahun 1990 pada tahun 2030 dan sasaran netralitas iklim pada tahun 2050. Untuk mencapai sasaran ini dibutuhkan pengurangan emisi yang lebihg tinggi melalui transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih terbarukan.
Artinya, ini juga menghentikan penggundulan hutan, menggunakan lahan secara berkelanjutan, dan memulihkan alam hingga mencapai titik dimana pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer seimbang dengan penangkapan dan penyimpanan gas-gas di hutan, lautan, dan tanah.