Reng...goreng...goreng...garing, hampir disetiap sudut kota dimanapun kita menginjakkan kaki pedagang yang paling umum kita temui tidak lain dan tidak bukan...tukang gorengan. Yap, gorengan dan semua hal yang berhubungan dengan proses memasak dengan melibatkan minyak goreng hasilnya memang sangat bersahabat dengan lidah kita, lidah orang Indonesia. Tidak heran jika konsumsi minyak goreng tumbuh dari tahun ke tahun. Catatan Gabungan Pengusaha Kepala sawit Indonesia (Gapki), konsumsi Minyak Goreng Tahun 2019 sebesar 8,82 kg/kapita/tahun. Prediksi konsumsi minyak sawit untuk kategori makanan dalam Negeri mengalami peningkatan pada tahun 2020 sebesar 9,02 kg/kapita/tahun, 2021 sebesar 9,23 kg/kapita/tahun, dan 2022 sebesar 9,45 kg/kapita/tahun. Merujuk kepada estimasi data produksi hasil olahan Ditjen Perkebunan Crude Palm Oil alias CPO Tahun 2020 terjadi surplus minyak goreng yang mencapai 7,29 juta ton.
Realita saat ini, peningkatan konsumsi minyak sawit sedikit berkebalikan dengan produksi minyak sawit. Produktivitas perkebunan sawit milik BUMN, Swasta, dan Petani Swadaya di Indonesia dan Malaysia (dua negara utama produsen pemasok minyak sawit dunia) disebut menurun, sementara produksi minyak nabati jenis lain seperti minyak rapeseed dan minyak kedelai juga turun karena tergerus pesona minyak sawit yang jadi primadona (Nafisah & Amanta, 2022). Pandemi COVID-19, tidak stabilnya harga minyak sawit dunia, dan kebutuhan akan minyak sawit yang tinggi untuk program biodisel ditambah dengan permasalahan teknis lainnya dari segi produsen, seperti sulitnya akses petani untuk mendapatkan pupuk sawit dengan harga terjangkau, dan kurangnya penanaman kembali kebun sawit baru menjadi sekian banyak alasan kenapa harga minyak goreng saat ini menjadi tinggi dan keberadaannya pun menjadi langka. Â
Membaca situasi 'perminyak gorengan' dalam Negeri, Pemerintah kemudian mengeluarkan statmen untuk menahan ekspor minyak sawit ke luar Negeri sebelum kebutuhan dalam Negeri terpenuhi. No just words, Pemerintah mengeluarkan Permendag No 8 Tahun 2022 untuk mengukuhkannya. Lebih jauh, Pemerintah Juga mengeluarkan ketentuan terkait Harga eceran Tertinggi untuk mengantisipasi harga Minyak Goreng menjadi tidak terkendali di dalam Negeri. Kemudian, apa yang terjadi?
Menyusul kebijakan Pemerintah yang ditetapkan melaui Permendag No: 6 Tahun 2022 terkait satu harga untuk Minyak Goreng (MiGor) Rp.11.500,-/liter (MiGor Curah), Rp.13.500,/liter (MiGor Kemasan), Rp.14.000,-/liter (MiGor Kemasan Premium) mulai tanggal 1 Februari 2022, dimana sesuai Permendag : 3 Tahun 2022 pemberlakuannya melingkupi pasar modern dan tradisional, mengundang respon berupa penipisan stok hingga berujung kepada kelangkaan migor di masyarakat dalam tempo sekejap.
Masyarakat mulai gelisah, terutama para emak-emak sebagai wakil dari konsumen migor untuk kebutuhan rumah tangga dan para tukang gorengan alias pelaku usaha makanan. Meskipun telah diatur harga tertinggi untuk mendapatkan satu liter migor oleh Pemerintah, namun praktek di lapangan masih mengacu pada hukum ekonomi, dimana pada kondisi barang langka di pasaran maka disitu harga akan naik. Hal tersebut membuat bertambahnya pengeluaran untuk mendapatkan seliter atau dua liter migor.
Beragam isu terkait dengan kelangkaan migor yang menjadi headline berita dimana-mana. Kabar tentangnya, mengimbangi rame kasus crazy rich yang digadang-gadang sebagai affiliator akhir-akhir ini. Pemerintah sejatinya menangkap 'sinyal' kisruh di masyarakat dan berusaha meredam 'potensi' berkembang menjadi hal yang lebih serius. Pada tanggal 15 Maret 2022, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian menyatakan harga migor kemasan akan disesuaikan dengan harga keekonomian pasar.
Pemerintah tidak akan mengatur lagi harga migor kemasan. Akan tetapi, Pemerintah akan terus memperhatikan situasi penyaluran dan ketersediaan pasokan migor di tanah air. Tindakan pengawasan Pemerintah dilatarbelakangi oleh berbagai isu penyebab kelangkaan migor di masyarakat. Isu terkait pihak dari sektor industri yang ingin mengambil keuntungan pribadi dengan menjual CPO illegal ke luar Negeri, dan spekulan dalam Negeri yang menahan pasokan migor sambil menunggu Pemerintah mencabut kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Melihat fenomena lika liku permasalahan migor dalam Negeri ini, berasa seperti nonton film Superman vs Lex Luthor. Jika dalam setiap sekuelnya, Superman menjadi protagonis yang selalu menang pada akhir cerita setelah menghajar Lex Luthor si Crazy Rich, dimana pada bagian awal cerita sempat membuat Superman babak belur karena kryptonite...bagaimana ending kisah Superman vs Lex Luthor dalam sekuel "minyak goreng" ini?. Apa Superman tetap menjadi the hero atau harus pulang kampung dan kembali jadi Suparman si tukang Nembang karena dikalahan oleh Lex Luthor...let wait and see.
(Hanya sebuah pengamatan dan sedikit menyelipkan pemikiran...RE.) Â Â Â