Penjual jamu sering terlihat menjual jamu dengan cara digendong dengan alat sederhana yang hanya bermodalkan kain lurik, kain jarik, dan carangka/gendongan yang terbuat dari hoe/rotan yang dianyam kemudian digendong.
Gendongan tersebut beratnya diperkirakan 20-25 kg untuk keseluruhan jamu ketika masih penuh, dan penjual jamu gendong akan berkeliling ke rumah-rumah menawarkan jamunya dengan berbagai khasiat dan rasa.Â
Bagaimana dengan jamu dorong ? Pernahkah melihatnya? Di Tasikamalaya ada penjual jamu dorong yang masih eksis dan diminati lintas generasi, namanya Mbok Tumi.
Ia terbiasa menjual jamu dorongnya setiap jam 6 pagi dengan beberapa menu jamunya seperti : kunyit asam, Jamu Menthol, Temulawak, dan Anggur Jamu (yang dibuat dari daun poko/Mentha arvensis).Â
Mbok Tumi hanya mematok harga Rp. 3.000 saja per gelasnya yang terdiri dari jamu utama (kunyit asam saja atau ingin campur) dan setelah jamu utama dipesan dan dinikmati, Mbok Tumi akan memberikan pemanisnya yang dibuat dari gula merah (gula kawung) untuk diberikan kembali.Â
Eksistensi jamu dorong Mbok Tumi belum bisa mengalahkan jamu-jamu yang diracik di kedai jamu ala kafe dengan teknik modern, karena ketika menikmati jamu dorong Mbok Tumi.
Ada pengalaman tersendiri, seperti cerita Mbok Tumi tentang pengalaman pindah/migrasinya dari Solo ke Tasikmalaya, menceritakan berbagai komoditas liar yang diolah sendiri oleh Mbok Tumi, dan membuat resep jamu yang layak konsumsi dengan mencobanya beberapa kali oleh Mbok Tumi sendiri.Â
Penggemar jamu di Tasikmalaya daerah pedesaan bisa dibilang banyak karena hampir rute jamu dorong Mbok Tumi selalu ada yang beli.
Dimulai dari konsumennya adalah para petani yang akan berangkat ke sawah, guru-guru yang akan berangkat ke sekolah, anak-anak yang terbiasa minum jamu untuk kesehatan dan kebugaran.
Atau, ada saja remaja yang sedang haid atau datang bulan, ibu-ibu muda yang sudah melahirkan dan menyusui dan pesan racikan jamu dorongnya buatan Mbok Tumi, dan Bapak-bapak yang meminum jamu sebagai alternatif minuman aromatik selain kopi dan teh.Â
Artinya, jamu dorong ini masih potensial dijual, dan Mbok Tumi hanya berjualan dari jam 6 pagi sampai jam 11 menjelang siang. Waktu yang sebentar untuk memastikan jamu dorongnya habis dengan pelanggan yang sudah tetap dan rutin.Â
Jamu kekinian yang diolah macam-macam belum bisa menjangkau semua kalangan karena beberapa kendala karena: harganya yang lebih tinggi dari jamu dorong atau jamu gendong, harus pergi ke kafe dan untuk kebiasaan masyarakat di Tasikmalaya, pergi ke kafe artinya harus mempersiapkan pakaian yang sesuai karena tempat publik seperti ini adanya di perkotaan.
Sedangkan menikmati jamu dorong Mbok Tumi cukup memakai pakaian santai seperti ibu-ibu yang keluar dari rumahnya memakai daster dan ingin menikmati jamu dan tidak ribet dengan urusan tampilan, nama-nama jamu yang diolah kekinian sering menyulitkan definisi konsumen karena tidak terbiasa dan belum bisa membayangkan tampilannya seperti: Turmenic Sparkling For Summer Drinks (maksudnya jika diterjemahkan adalah kunyit asam yang ditambah soda dan disajikan dingin), ini sangatlah rumit dimengerti oleh para penikmat jamu tradisional yang dengan sederhananya menyebutkan : Jamu Kunyit Asam. Itu sudah cukup.Â
Namun, untuk kebutuhan inovasi produk jamu,tentunya resep-resep jamu kekinian perlu dikembangkan untuk kepraktisan, namun ketika perubahan ini terjadi, hal-hal tradisional yang sudah menjadi kebiasaan dan tradisi tidak harus hilang begitu saja, karena masih ada pengolahnya dan penikmatnya.Â
Segelas jamu dorong Mbok Tumi bisa dinikmati di pagi hari, berikut video yang disampaikan untuk melengkapi kelas etnografi (disampaikan dalam bahasa inggris karena audiens dari manca negara dalam tema fenomenologi jamu).Â
sumber video : Youtube Center for Study Indonesian Food AnthropologyÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H