Artinya, jamu dorong ini masih potensial dijual, dan Mbok Tumi hanya berjualan dari jam 6 pagi sampai jam 11 menjelang siang. Waktu yang sebentar untuk memastikan jamu dorongnya habis dengan pelanggan yang sudah tetap dan rutin.Â
Jamu kekinian yang diolah macam-macam belum bisa menjangkau semua kalangan karena beberapa kendala karena: harganya yang lebih tinggi dari jamu dorong atau jamu gendong, harus pergi ke kafe dan untuk kebiasaan masyarakat di Tasikmalaya, pergi ke kafe artinya harus mempersiapkan pakaian yang sesuai karena tempat publik seperti ini adanya di perkotaan.
Sedangkan menikmati jamu dorong Mbok Tumi cukup memakai pakaian santai seperti ibu-ibu yang keluar dari rumahnya memakai daster dan ingin menikmati jamu dan tidak ribet dengan urusan tampilan, nama-nama jamu yang diolah kekinian sering menyulitkan definisi konsumen karena tidak terbiasa dan belum bisa membayangkan tampilannya seperti: Turmenic Sparkling For Summer Drinks (maksudnya jika diterjemahkan adalah kunyit asam yang ditambah soda dan disajikan dingin), ini sangatlah rumit dimengerti oleh para penikmat jamu tradisional yang dengan sederhananya menyebutkan : Jamu Kunyit Asam. Itu sudah cukup.Â
Namun, untuk kebutuhan inovasi produk jamu,tentunya resep-resep jamu kekinian perlu dikembangkan untuk kepraktisan, namun ketika perubahan ini terjadi, hal-hal tradisional yang sudah menjadi kebiasaan dan tradisi tidak harus hilang begitu saja, karena masih ada pengolahnya dan penikmatnya.Â
Segelas jamu dorong Mbok Tumi bisa dinikmati di pagi hari, berikut video yang disampaikan untuk melengkapi kelas etnografi (disampaikan dalam bahasa inggris karena audiens dari manca negara dalam tema fenomenologi jamu).Â
sumber video : Youtube Center for Study Indonesian Food AnthropologyÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H