Kebutuhan akan minuman aromatik seperti teh, kopi, serbuk rempah-rempah yang memberikan rasa tersendiri selalu diminati, karena selain memberikan pengalaman rasa yang unik, jika sudah menjadi kebiasaan hal ini menjadi kebutuhan bahkan bisa jadi komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan ketersediaan stok untuk dinikmati secara personal.Â
Kebiasaan ngopi pun sudah menjadi kebutuhan harian semenjak banyaknya kedai kopi baru yang bermunculan, walau pada akhirnya yang ditawarkan adalah kopi susu, perisa kopi, sirup kopi, dan minuman kopi ala-ala karena permintaan konsumen merubah kedai kopi untuk ngopi menjadi kedai serba ada karena kebutuhan : konsumsi, publikasi, diskusi, dan resepsi. Hal ini biasa terjadi dalam sistem penyelenggaraan makanan/food service pada umumnya.Â
Namun, ketika penikmat kopi asli disuguhkan dengan kopi-kopi yang bukan lagi sajian kopi asli dan dicampur dengan sesuatu yang tidak cocok karena hasil improvisasi yang tidak diuji cobakan dengan selera penikmat kopi, maka akan ada kerinduan meneguk kopi yang asli dari biji kopi sungguhan karena esensi dan fungsi menikmati kopi adalah merasakan manfaat kafeinnya, dimana ada fungsi menenangkan yang tidak bisa dicampurkan dengan kebutuhan menu-menu pelengkapnya.Â
Kopi Hawu, ini bukanlah jenis kopi namun sebutan untuk seduhan biji kopi apapun yang menggunakan teknik mendidihkan airnya dengan menggunakan hawu/kompor zaman baheula/zaman dulu sebelum orang-orang menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah, gas, elektrik, atau bahkan induksi.Â
Hawu bagi orang sunda di Tasikmalaya masih eksis digunakan sebagai alternatif alat masak, salah satunya digunakan untuk mendidihkan air yang digunakan untuk keperluan minum kopi, sederhana sekali dalam penyebutannya karena orang sunda disini menyukai kopi dan dimasak di hawu, jadilah sebutannya kopi hawu, tidak ada keterangan yang njelimet secara historis atau arkeologis. Hal ini juga berpengaruh pada gaya hidupnya yang tidak rumit, tentu saja hal ini diperlukan ketika kecepatan arus informasi apapun terjadi terutama tuntutan hidup.Â
Kopi hawu memiliki filosofi sederhana bagi penikmatnya, kebetulan yang saya cicipi dan nikmati adalah biji kopi dari kebun sendiri yaitu jenis kopi robusta yang dikawinkan dengan tanaman kopi yang sudah ada yaitu biji  kopi dari galunggung, rasanya jika sudah diseduh dari roastingan tradisional dan cukup dihaluskan dengan ditutu/digerus dan diseduh ala kopi tubruk itu terasa sekali kesegaran dan aroma yang dominan seperti kesegaran embun yang jikalau datang ke hutan pada pagi hari aromanya seperti itu ditambah aroma lumut yang basah, untuk rasa kopinya cenderung asam namun tidak tajam, saya rekomendasikan untuk dibuat dengan cara V60 saja jika biji kopi seperti ini dalam teknik olah ala kedai kopi.Â
Kopi hawu secara filosofis mengembalikan esensi meramu sumber daya alam secara alami dan tidak merepotkan penikmatnya, seperti berkomunikasi bahwa : inilah kemudahan hidup, cukup kumpulkan beberapa genting, gunakan ranting dan tumpuk sesuai kebutuhan, gunakan wajan/kastrol/panci untuk menyeduh air dengan api yang dibakar dari ranting, tunggu mendidih dan tuang pada kopi yang ingin dinikmati.Â
Memang untuk menikmatinya harus di area yang pas karena menggunakan hawu dan ada asap yang dikeluarkan, maka dari itu kopi hawu mengingatkan bahwa area terbuka hijau harus dipertahankan bahkan disediakan, Â semodern apapun dinamika kehidupan yang dikelilingi inovasi teknologi, manusia dan alam masih terikat untuk saling membutuhkan, sebagai pengingat juga bahwa apapun yang dimakan/diminum berasal dari alam, namun banyak yang abai sehingga tidak peduli.Â
Kopi hawu menjadi refleksi ekologi bahwa kecepatan disrupsi akan kalah dengan pesona ketenangan dari hal-hal yang berkembang dan bertumbuh sesuai dengan momentumnya karena melewati fase-fase alamiah.Â
Sudahkah menikmati kopi alami tanpa tambahan apapun ? Itulah rasa asli biji kopi.Â