Contoh pengaruh imperialisme yang tertarik pada komoditas rempah-rempah di Asia Tenggara salah satunya adalah Indonesia (Nusantara) dengan pulau incarannya adalah Pulau Maluku. Bahkan ada buku tersendiri yang menceritakan tentang eksotisme rempah-rempah sampai-sampai ingin ditukar dengan Manhattan (New York, Amerika Serikat) yang ditulis oleh jurnalis Inggris, Giles Milton. Komoditas menggiurkan itu adalah pala.Â
Sedangkan bahasan erotisme, dimulai dari dari bangsa-bangsa arab, The poetics of spice: romantic consumerism and the exotic secara singkat menjelaskan fungsi beberapa rempah-rempah di daerah tersebut digunakan untuk keperkasaan (bisa dibilang ramuan obat kuat) yang bertujuan sebagai daya pikat pada putri-putri sultan di Jazirah arab, sehingga rempah-rempah adalah komoditas premium.Â
Bahrt dalam bahasa arab berarti rempah-rempah yang mengacu pada kombinasi rempah-rempah dengan perpaduan dari lokasi penghasilnya dan saat ini baharat difungsikan bukan sebagai obat kuat saja namun sebagai bumbu masak yang dominasinya menggunakan komoditas : lada hitam, kapulaga, jinten, cengkeh, ketumbar, kayu manis, pala, dan paprika.
Bagaimana dengan rempah-rempah hari ini ? adakah fungsi lain yang berpengaruh menjadi suatu fenomena selain fenomena melonjaknya harga-harga komoditas ? Indonesia jika berdaulat dalam perdagangan tembakau bisa menjual narasi budaya dan kekuatan historisnya, namun kembali lagi, seberapa kuat pertanian rempah-rempah di Indonesia bisa bertahan ? Karena kompetitor yang memiliki Konsil riset rempah-rempah yang terus melakukan penelitian rempah-rempah adalah India.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H