Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Mindful Eating-nya Orang Sunda

13 November 2022   14:50 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:33 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah mindful eating atau pola makan dengan penuh kesadaran rasanya sudah dilakukan oleh banyak orang dan tidak harus selalu mengacu pada pola makannya orang asing kan? 

Karena orang Indonesia punya rasa yang lebih kompleks, komoditas yang lebih beragam, dan pilihan jajanan yang serba ada, bahkan sudah melalui improvisasi para pengolahnya. 

Menelisik definisi mindful eating ini lebih banyak mengacu pada definisi ahli diet atau pakar dietetika dari Amerika, Inggris, Australia, tentunya jelas berbeda baik secara geografis maupun psikologis.

Sedangkan mindful eating ini kan harus bisa dinikmati, coba saja lihat apa yang disarankan secara sederhana setelah trend mindful eating ini menjadi pola makan penuh kesadaran, kebanyakan mempertimbangkan: notice (memperhatikan), observe (mengamati), feel (merasakan), taste (mengecap), dan enjoy (menikmati). 

Rasanya setiap orang sudah bisa melakukan ini bahkan sering. Namun, bagaimana jika mindful eating-nya versi orang sunda?

Jawabannya tentu saja akan sangat subjektif, namun tata cara makan orang sunda dengan menu-menu dadakan yang menyengarkan bukti bahwa orang sunda juga melakukan mindful eating, karena prinsipnya hampir sama seperti : 

Memperhatikan jenis lalapan yang akan dinikmati dan kebanyakan mengambil dari pekarangan rumah, tanaman obat keluarga, membeli di tukang sayur keliling, pasar tradisional atau bahkan swalayan. 

Mengamati, tentu saja secara turun-temurun pengetahuan mengamati apa saja yang dihidangkan oleh para pendahulunya selalu diikuti oleh generasi selanjutnya, misalnya saja menyediakan ikan bakar gurame sambal cobek, siapa yang menemukannya pertama kali ? itu tidak terdokumentasi.

Namun jika keluarga orang sunda memiliki kolam ikan disekitar rumahnya, pasti akan merekomendasikan jenis ikan gurame dan akan menyarankan sambal cobek karena bumbunya tersedia di lahan tanaman obat keluarga (resep sambal cobek pada umumnya: kencur, jeruk nipis, kemiri, kunyit, garam, ketumbar, merica, cabai), bahan-bahan tersebut tersedia. 

Merasakan, jangankan dinikmati sendiri. Kebersamaan orang sunda ketika makan itu disebut "reujeungan" (makan bersama-sama menikmati suatu hidangan yang disajikan). 

Jika mindful eatingnya orang-orang Amerika, Eropa, dan Australia selalu memperlihatkan makan sendiri, dinikmati sendiri, dan menghasilkan hal-hal positif.

Tapi mereka lupa menyisipkan tradisi kekeluargaan dan banyol, yang mana memang diakui kalau orang sunda itu humoris, bahkan ketika menikmati makanan saja ada saja banyolan-banyolan yang menyenangkan (tentunya tidak perlu dibawa perasaan, karena konteksnya sedang melebur kerinduan dalam kebersamaan). Kurang mindful eating apa lagi ? udah sangat komplit ini. 

Namun, jarang dibahas dalam kultur urban yang selalu mengadopsi habis-habisan gaya-gaya dari luar negeri, dimana hal ini malah jadi merepotkan karena perbedaan komoditas dan kebiasaan. 

Mengecap, ini tidak hanya orang sunda, para pengolah orang Indonesia yang dari kecil sering makan di rumah atau merasakan cita rasa sekeliling, itu sudah setahap lebih potensial dalam pengecapan. 

Misalnya: seorang lansia orang sunda akan memberikan kesan aneh jika disajikan sambal terasi yang encer, karena adanya kebiasaan bahwa sambal terasi encer itu untuk sambal siram, jika sambal cocol tentu harus pekat karena akan dicocol oleh lalapan. 

Itulah pengalaman menikmati makanan dengan mengecap dari kebiasaan makan. Dan itu adalah suatu keberagaman dan gaya makan para pendahulu yang tentunya tidak perlu dikritisi. 

Justru harus menjadi bahan kajian dengan diawali "mengapa", agar budaya makan dan merasakan hidangan orang-orang Indonesia ini semakin menjadi gaya tersendiri. 

Ini akan menjadi suatu keuntungan, bayangkan saja jika semur jengkol mendunia, permintaan komoditas jengkol akan meningkat dan menambah rantai bisnis mikro menjadi makro. 

Dan ketergantungan komoditas akan terlupakan dengan sendirinya, dan Indonesia akan menjadi produsen kembali, itu dampak langsungnya adalah harga bahan pangan akan sangat murah karena berlimpah sisa dari permintaan. Hanya kapan ini akan terjadi ? 

Menikmati, orang sunda menikmati makanan itu tidak kaku, apapun itu jika dinikmati bersama walau sedikit akan sangat membuat bahagia, misalnya mereka akan menunggu orang yang dinanti-nanti sekalipun itu anak kecil. 

Contoh lain, para cucu-cucu orang sunda akan menunggu aki-nini (kakek-nenek) nya dahulu untuk mengambil jenis karbohidrat atau nasi jika sedang makan bersama, kemudian anaknya, kemudian cucunya. Itu adalah contoh aplikatif tentang cara menghormati yang lebih tua dengan sopan dari menenikmati suatu makanan. 

Tentunya, tidak hanya orang sunda, ada banyak etnis yang punya Mindful Eatingnya masing-masing, bagaimana versi para kompasianer menikmatinya ? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun