Siapa yang tidak mengenal Presiden Pertama Indonesia dan orator unggul yang dimiliki negeri ini, beliau adalah Ir. Soekarno yang ternyata memiliki kedalaman cita rasa yang bisa membangkitkan kualitas masakan Indonesia dari pengalamannya menikmati suatu hidangan.Â
Hal ini jarang diperhatikan kembali mengenai diplomasi pangan dan hidangan saat ini, dimana masakan Indonesia otentik sulit ditemukan dari jangkauan pasar global, bahkan jika ingin menikmati masakan yang ada dalam buku ini harus menyempatkan waktu untuk berkelana, bisa saja mengikuti resepnya, namun tidak terbayang contoh display hidangannya seperti apa. Seperti berimajinasi dan mencoba improvisasi dalam setiap resepnya.Â
Buku ini dicetak pertama kali pada tahun 1967 oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia dan saat ini cetakan selanjutnya sudah banyak beredar dan masih mempertahankan isinya.Â
Hal yang menjadi perhatian dan pengalaman mengikuti resep dari buku mustikarasa yaitu :Â
Ejaan lawasÂ
Hal ini cukup menyulitkan pembaca dari generasi millenial dan Z, dimana tidak terbiasa membaca ejaan lawas sehingga bukannya merasa klasik dan otentik malah menambah malas melanjutkan membaca karena perlu menyesuaikan ejaan, apalagi jika ingin memasak ulang (recook) setiap resep yang ada di buku ini.Â
Minim Gambar, Foto, atau SketsaÂ
Rasanya kurang ciamik jika buku masakan apalagi buku resep tidak bergambar, karena tujuan orang membaca buku kumpulan resep adalah mendapatkan referensi dan bayangan masakan dengan membaca tutorial yang tercantum dalam catatan resep, seperti resep-resep yang tidak terbayang akan bahan-bahannya dan cara pembuatannya, sehingga perlu berimajinasi dan menebak seperti apa tampilan hidangannya.
Hal ini cukup membuat kesulitan. Harapan kedepannya pada cetakan selanjutnya, buku ini perlu bekerja sama dengan para ilustrator untuk menampilkan visualisasi yang pas.Â
Komposisi Bahan dan Peralatan Masak yang Sudah Jarang DitemukanÂ
Seperti yang tercantum pada halaman 34 dan 35 Â buku ini menyebutkan berbagai komposisi bahan tanpa contoh foto atau gambar seperti "petsai, prei, lontjang" Â karena menyebutkan satu komoditas belum tentu persepsinya sama, misalkan orang sunda menyebut pisang itu cau, berbeda dengan orang jawa yang menyebut pisang itu gedang. Untuk orang sunda gedang itu pepaya.Â
Hal seperti ini juga membuat pusing yang ingin mempraktikkan berbelanja dimana kejelasan komposisi bahan itu perlu rinci karena itu merupakan penentu kelengkapan cita rasa.Â
Adapun komposisi yang sulit ditemukan bisa diganti yang menyerupai. Seperti jika tidak ada saosin, bisa diganti dengan pok coy. Seperti itulah realita belanja komposisi bahan-bahan yang akan diolah.Â
Peralatan masak yang digunakan pun penyebutannya tidak populer, sehingga imajinasi pembaca selalu mengarah apakah resep ini tertuju pada kategori masakan tradisional yang tidak bisa menggunakan peralatan modern masa kini ?Â