Mohon tunggu...
Nimas Ayu Kirana
Nimas Ayu Kirana Mohon Tunggu... -

sastra adalah bahasa. bahasa butuh media. media butuh massa. massa adalah anda semua.. .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Kehamilan

17 Januari 2014   21:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penghuni kontrakan geger. Perempuan itu hamil. Mereka ramai, saling bisik. Mendadak wajah para perempuan bersuami yang tinggal di kontrakan itu masam. Seolah suami merekalah dalang dari kehamilan perempuan itu. Kepala mereka penuh dengan dakwaan dan pertanyaan. Saling tuduh dan curiga. Siapa yang menghamili perempuan itu ? Siapa yang harus bertanggung jawab atas kehamilannya?
Disisi lain, si perempuan hamil justru malah tenang-tenang saja. Seolah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal suasana di luar sedang ricuh membicarakan kehamilannya. Berita kehamilan perempuan itu sampai juga ke telinga tuan tanah (pemilik kontrakan). Sang tuan tanah lantas langsung mengusir perempuan itu, dianggapnya ia telah menorehkan aib. Tanpa banyak cincong, perempuan itu langsung bergegas minggat. Ia kemasi barang-barang, dan langsung buru-buru pergi tinggalkan kontrakan. Meski sebenarnya ia juga tidak tahu harus pergi kemana.
Menjelang malam, perempuan itu sudah enyah dari kontrakan. Ia terjang dingin malam yang menusuk tulang. Remang jalan tak buat ia bimbang. Esoknya, suasana kompleks kontrakan kembali tenang. Dan di depan telah dipasang iklan : ada kamar kosong ! silakan hubungi 081 830 xxx xxx.
Seorang lelaki muda, mantan mahasiswa, diam-diam mengikuti kepergian perempuan itu. Ia tinggalkan kontrakannya. Ia serasa ikut merasakan apa yang tengah hinggap di hati perempuan hamil itu. Maka ia putuskan untuk mengikuti perempuan itu, kemanapun ia akan pergi.
“ Mengapa Anda mengikuti saya ?” tanya perempuan hamil itu suatu ketika. Lelaki muda itu hanya bergeming.
Hari demi hari lelaki muda itu selalu mengikuti jejak si perempuan hamil. Bila si perempuan berhenti, lelaki itu juga ikut berhenti. Ketika si perempuan menoleh ke arahnya, lelaki itu langsung buru-buru berpaling ke arah lain. Demikianlah, dua orang asing, menuju arah yang sama, arah entah, mengukir jejak, mencipta jarak. Si lelaki tak letih mengintai, si perempuan senantiasa hati-hati di intai.
Suatu waktu si perempuan mencoba bertanya lagi pada si lelaki muda, dengan pertanyaan yang sama, “Mengapa Anda mengikuti saya ?”. Lelaki itu pura-pura terkejut. Dengan gaya limbung ia akhirnya mau menjawab, “ Tidak setiap peristiwa mesti ditanya. Bukankah saya pun juga tidak pernah bertanya, mengapa Anda hamil ?”.
“ Tapi setiap tanya, pasti akan mencari jawab, kan?!” tukas si perempuan. Itulah percakapan pertama mereka. Percakapan yang mengikat mereka ke dalam nasib yang mungkin saja sama.
Perempuan kembali diam. Ia merogoh ke dalam tasnya. Ia mengambil jajan. Jajan inilah yang menjadi bekalnya selama di jalan. Bahan metabolisme tubuhnya, mengganti energi yang terbagi. Sementara itu, si lelaki hanya mengisi perutnya dengan air putih, selain mengisi parunya dengan asap rokok. Berbeda dari biasanya, kali ini perempuan itu menawarkan makanan pada si lelaki muda. Si lelaki tidak menolak, lantas mereka ngemil bersama. Dari sakunya si lelaki mengeluarkan sebungkus rokok. Mengambil sebatang, menyulutnya, lalu dihisapnya.
“ Kemana Anda akan pergi ?” tanya si Lelaki memulai pembicaraan.
“Kemana kereta itu akan berangkat?” Si perempuan balik bertanya.
“ Ke arah kanan atau kiri tentunya,” jawab si lelaki sekenanya.
“ Kalau begitu saya akan pergi ke arah kiri.”
“ Kenapa?”
“ Di arah kanan biasanya banyak orang, sedang saya ingin sendiri. Saya ingin sepi. “
Dan ketika sebuah kereta bersiap berangkat ke arah kiri, perempuan itu bergegas menaikinya. Karena bingung, lelaki itu tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Tekadnya sudah bulat kini. Ia akan mengikuti perempuan itu kemanapun ia pergi, dan sampai kapanpun.
“ Nona, kita akan bersama selamanya !” seru si lelaki.
***
Mereka tiba di suatu penginapan. Menikmati malam bersama. Tidak ada lagi rasa pegal, sebal, maupun kesal. Malah sebersit gairah memancar pada paras mereka. Siapa tau gairah itu sisa semalam, menunggu dituntaskan pada malam-malam berikutnya.
“ Apa yang telah ku lakukan terhadapmu semalam? Apa yang telah kita lakukan?” Tanya si lelaki tiba-tiba. Sementara si perempuan malah asyik menyruput teh hangat yang disediakan pihak penginapan.
“ Apa yang akan kita lakukan selanjutnya? “ tanya si lelaki lagi.
“ Tidak setiap peristiwa mesti ditanya? Bukan begitu katamu?”
“ Tapi kita tidak mungkin berdiam di sini selamanya. Kita harus pergi !” ajak lelaki itu, meski tampak bimbang.
Sementara si perempuan tetap tenang, seakan tidak menghiraukan ajakan si lelaki.
“ Kemana kita akan pergi ? “ tanya si lelaki lagi.
“ Bagiku dari dulu sudah jelas : ke arah kiri ! “
***
Entah sudah berapa malam mereka lalui bersama. Malam yang gerah maupun bergairah. Namun, pada suatu malam, mereka tiba lagi di stasiun tempat pertama kali mereka bertemu. Seperti dulu, mereka duduk-duduk di peron, ngemil bareng, menunggu salah satu kereta yang akan berangkat esok pagi. Tentu saja, kereta yang menuju arah kiri yang dipilih.
Tetapi belakangan, si lelaki tampak gelisah. Ia gelisah lantaran tahu bahwa si perempuan sudah waktunya melahirkan. Ia berpikir, kemana semestinya si perempuan itu melahirkan. Ia tidak mau bertanya pada si perempuan, karena sudah pasti akan dijawabnya : di kiri ! Semalaman si lelaki gelisah. Malam sudah hampir pagi, namun sejak tadi tidak ada kereta yang bergerak ke arah kiri. Itu sebabnya si perempuan hanya duduk saja di kursi, sesekali terlihat mengantuk dan merubah posisi tidurnya. Si lelaki tetap terjaga sambil terus memperhatikannya. Tetapi, tiba-tiba perempuan itu mengerang. Seperti ada yang tertahan. Mungkin rasa sakit atau... si lelaki sibuk menduga : mungkin dia kedinginan, atau.. ia akan melahirkan, pikir lelaki itu.
“ Nona, anda kenapa? Atau sudah waktunya melahirkan ? Sebentar, saya cari taksi. Kita harus segera ke rumah sakit.”
Si perempuan menarik lengan lelaki itu.
“ Tidak usah ! Saya biasa begini. “
Perempuan itu menurunkan tubuhnya dari bangku ruang tunggu, lantas nglesot ke lantai stasiun yang kotor dan berdebu.
“ Saya ingin bertanya pada anda, tuan !” kata perempuan itu.
“ Hemm.. Silakan !”
“ Tolong jawab dengan tegas : apa yang anda inginkan dari saya ? Kenapa anda mengikuti saya terus ? “
“ Begini, “ jawab si lelaki sambil menatap nanar kedua bola mata perempuan itu. “ Saya ingin menjadi ayah bagi anak dalam rahimmu !”
“ Hah ? Kenapa ?”
“ Tidak setiap peristiwa bisa ditanya. Itu keyakinan saya sejak dulu. “
“ Aneh! Bahkan kita tak saling mengenal. Sekian lama kita bersama, namun kita belum pernah sekalipun bertukar nama. Bagaimana mungkin anda.. “
“ Ini sudah menjadi keputusanku, Nona ! sela si lelaki. “ Dan mungkin juga sudah tertulis dalam kurikulum Tuhan.“ tegasnya lagi.
“ Baiklah, saya penuhi keinginanmu !” jawab si perempuan.
Tidak lama kemudian perempuan itu mengerang lagi, menarik nafas, mengambil tenaga dengan memegang erat bahu dan tangan si lelaki. Lantas, sesaat kemudian, lahirlah bayi lelaki yang tampan rupawan.
“ Saya bahagia dengan kelahiran ini, sebab sekarang jelas sudah ayahnya, yaitu Anda ! Terima kasih. “
Lelaki itu hanya diam. Terharu. Pada akhirnya ia pun bisa menjadi seorang ayah. Selama ini ia begitu banyak membenamkan benih dalam sekian rahim perempuan, dan selalu tidak siap menjadi ayah.
“ Saya juga bahagia. Saya sekarang seorang ayah. Sudah saatnya saya yang menentukan arah perjalanan kita selanjutnya. Sebentar lagi kita akan menumpang pada kereta yang bergerak ke arah kanan.”
“ Di situ banyak orang. Di situlah kita akan bahagia bersama orang lain. “
Mereka tersenyum, berpelukan, diantara tangis bayi yang membahana. Sejenak suasana stasiun menjadi pecah. Orang-orang berkerumun mengelilingi mereka. Mereka menjadi tontonan di tengah gegas jadwal kerja tiap orang. Setelah situasi kembali seperti semula, setelah setiap orang kembali ke urusannya masing-masing, sepasang ayah-ibu baru itu membungkus buah hati mereka dengan penuh kasih sayang. Pagi itu mereka naik kereta yang bergerak ke arah kanan. Belakangan si lelaki diketahui bernama Don dan si perempuan bernama Juan, sedang si bayi, mereka beri nama Don Juan.
***
Sekartadji dua, 02 :25 a.m

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun