Mohon tunggu...
Reny Payus
Reny Payus Mohon Tunggu... -

Membaca Saja Aku Sulit

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepenggal Malam

30 September 2012   19:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Apa kau bahagia?”, tanyamu. Aku tersenyum, mengangguk. Menatap lurus ke arah kilatan-kilatan lampu kendaraan yang  hilir mudik. Mereka tak ubahnya aku, berseliweran. Entah di mana dan akan ke mana. Kau menyangga dagu dan menutup mulutmu, menatapku lekat. Aku menarik nafas, meraih segenap kekuatan untuk membalas tatapanmu. Ku sadari rasanya masih seperti dulu, meski tak semudah itu.

“Ya!”, kataku. Kita tahu hatiku berkhianat.  Sama halnya dirimu. Kurasakan  molekul molekul  air mulai menggenangi sudut sudut mataku. Aku menengadah memandang langit, seolah tertarik dengan awan awan  yang berarak.  Aku mengerjap ngerjap, mencoba membendung  air mata agar tidak menjatuhkanku.  Lihat lah bulan di atas sana. Awan awan itu kini mengulumnya dengan kelam. Sinar pudar perlahan hilang berganti pekat. Tahu kah kau jika kehadiranmu tak lebih dari mega mendung ? Menumpahkan  kembali sang hitam, ke atas hari-hari yang pernah kau bantu bersihkan dengan lengkung bianglala. Terimakasih….

Kau bangkit, melangkah ke samping tempat dudukku. Wangimu menyeruak, masih memancarkan aroma memabukkan yang dulu.  Otakku memuntahkan sedetik kenangan. Aku menghirupnya dalam resah. Sejenak  ia melayang , lalu berbuah formula anti gravitasi. Berjuang mematriku pada logika penghilang imaji. Kau! Kau bukan nafasku. Namun kau mampu menghentikan detak jantungku.   Seberapa hirap  logika pada cinta?

 “Kumohon maafkan aku.” Hembusan nafasmu menghangatkan wajah. Aku membeku.  Kurasakan bibirmu mendarat lembut di keningku.  Aku menutup mata,  menikmatinya walau sesaat.  ini lah yang selalu dan akan selalu aku rindukan.

Kau mengusap lembut kepalaku, lalu  pergi.  Aku membuka mata, nanar menatap kertas senada pelangi . Bahkan undanganmu tertawa mengejekku yang hampir mati digerogoti sepi. Untaian abjadnya menerjang  menusuk setiap inci pericardiumku. Bulir bulir air memberontak memecah ceruk mataku. Terburai membentuk sungai di pipi. Mengalir deras seiring lenyap punggungmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun