Mohon tunggu...
Reny Fitriana
Reny Fitriana Mohon Tunggu... -

Alumnus PSTTI-UI, dosen, pemerhati dan penggiat Ekonomi Syariah

Selanjutnya

Tutup

Money

Menanti Optimalisasi Peran Zakat Sebagai Financial Safety Net di Era Jokowi-JK

4 September 2014   23:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zakat adalah salah satu bentuk ibadah yang memiliki dimensi sosial yang signifikan dalam menentukan tingkat kesejahteraan umat dan juga dapat mengentaskan kemiskinan.Di era kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz, zakat terbukti telah mensejahterkan umat, sehingga di masa itu tidak didapati lagi “mustahik” atau penerima zakat. Hal ini karena level masyarakatnya telah meningkat dari mustahik menjadi “muzakki” atau penerima zakat. Kondisi seperti ini tentunya menjadi dambaan bagi kita, dimana tak ada lagi ditemukan masyarakat yang fakir dan atau miskin.

Perintah untuk menunaikan zakat (tidak hanya zakat fitrah, tapi juga zakat maal yang telah memenuhi nisab/ketentuan) adalah wajib, salah satu dari rukun Islam, dan selalu dikaitkan dengan perintah mendirikan shalat. Hal ini bisa ditemukan di QS Al Baqarah: 43 dan QS At Taubah: 71. Begitu pentingnya perintah ini karena dampaknya yang luas bagi ekonomi umat, Khalifah Abu Bakar Sidik memerangi mereka yang enggan membayar zakat. Kalau program ini diberlakukan juga saat ini, betapa banyak mereka yang harus diperangi (ditindak).

Lalu bagaimana situasi zakat di negara-negara muslim saat ini? Apakah sudah berjalan dengan baik? Menurut Assoc Prof. Dr. Magda Ismail dari The Global University of Islamic Finance (INCEF) Malaysia dalam pemaparannya pada Konferensi Internasional “Inclusive Islamic Financial Sector” di Bank Indonesia, 28 Agustus 2014, disampaikan beberapa problema terkait zakat di negara-negara muslim saat ini. Problematika yang ada seperti peran zakat yang telah diabaikan sejak lama, sifat kontribusinya sukarela bukan kewajiban, langsung diberikan kepada masyarakat (semestinya melalui amil zakat), kemiskinan menyebar di “Islamic World”, dan program pengentasan kemiskinan yang ada sarat dengan riba.

Rekomendasi yang diberikan atas problematika ini adalah pemerintah harus mengambil inisiatif untuk menginstitusionalkan zakat, dan menjadikannya kewajiban bagi setiap muslim yang memenuhi ketentuan, dan pada semua tipe harta termasuk gaji bulanan, supaya tujuan zakat tercapai seperti kesejahteraan yang adil dan merata, penghapusan riba, dan pengentasan kemiskinan di masyarakat muslim dengan cara yang adil dan beretika.

Beberapa negara yang pemerintahannya telah menginstitusionalkan zakat adalah Saudi Arabia, Sudan, Malaysia, Pakistan. Di Saudi Arabia dan Sudan, Pengumpulan zakat sudah tersentralisasi dan sifatnya wajib, sedangkan di Malaysia telah terdesentralisasi tapi sifatnya masih sukarela. Sementara di Pakistan, kementerian agama bertanggung jawab dalam pengumpulan dan penanganan zakat, sayangnya masih mengalami hambatan diantaranya masyarakat di bawah garis kemiskinan jumlahnya sangat banyak, korupsi dan mismanajemen, ketidakpercayaan pada zakat, lembaga pengumpulnya dan sistem perbankan, lemahnya sistem komputerisasi. Sebagaimana dikutip dari makalah yang disampaikan oleh Dr. G. M Arif dari Pakistan Insitute of Economic Development pada kesempatan yang sama.

Bagaimana dengan pemerintahan di Indonesia? Zakat di Indonesia tidak termasuk dalam neraca keuangan dan kekayaan negara. Namun demikian pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UU No 38 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU NO 23 Tahun 2011) dan mempercayakan kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk mengumpulkan dan mengelola zakat umat di Indonesia. Apakah upaya- upaya ini saja cukup? Mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia dan mengalami fenomena pertumbuhan kelas menengah tercepat di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir. Sementara itu potensi Zakat di Indonesia sangat besar, pada tahun 2012 mencapai RP. 273 triliun atau 3,4% dari GDP walaupun realisasinya hanya Rp 2,7 triliun (Data Penelitian Bank Indonesia).

Sebagai perbandingan dengan negara tetangga Malaysia, menurut Assoc. Prof. Dr. Ahmad Zaki Hj Abd Latiff, Direktur Institut Kajian Zakat Malaysia (IKaZ) setelah diberlakukannya pemusatan pengumpulan zakat oleh negara, dimana perusahaan membayar zakat setelah dipotong pajak maximum 2,5% dari aggregate income dan individu muslim membayar zakatnya per bulan melalui pemotongan setelah bayar pajak, Malaysia mengalami kemajuan kesejahteraan yang signifikan. Zakat yang terkumpul mencapai 65,2 triliun Ringgit sehingga tingkat kemiskinan dapat dikurangi hingga 80%. Tidak ada salahnya bila Indonesia belajar dari negara-negara yang telah berhasil dalam mengelola zakat bagi kesejahteraan masyarakatnya.

Pentingnya pengelolaan zakat dikarenakan kualitas manajemen zakat itu ditentukan oleh kualitas pengelolaannya. Hal ini juga menjadi referensi bagi negara lain, terlebih lagi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, acap kali menjadi kiblat bagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. Menurut Dr. Irfan Syauqi Beik , Penasihat Senior BAZNAS, beberapa isu global dalam manajemen zakat yaitu, masalah lemahnya regulasi, inefisiensi dan inefektifitas performa institusi, kualitas SDM yang bervariasi, interpretasi fiqh yang berbeda, dan kerjasama global negara-negara muslim di dunia yang belum optimum. Respon untuk mengatasi global isu ini adalah sangat perlu dibentuknya kelompok kerja Internasional untuk zakat dan sedekah, International Working Group Zakat and Shodaqoh (IWGZS). Keberadaan IWGZS nantinya akan menghasilkan prinsip-prinsip utama dalam manajemen Zakat sebagai standarisasi global pengelolaan zakat. Selain itu IWGZS berfungsi pula sebagai lembaga supervisi dan konsultasi.

Persoalan zakat di Indonesia mengalami perbaikan dari masa ke masa, namun sayangnya belum menunjukkan kemajuan yang signifikan, terbukti dari nilai hasil pengumpulan zakat yang belum optimal dan masih banyak masyarakat yang menyalurkan zakat secara langsung, sehingga pendistribusiannya belum merata.Indonesia sebentar lagi akan memiliki pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Bapak Joko Widodo dan Bapak Muhammad Yusuf Kalla. Besar harapan akan ada kebijakan atau regulasi (Undang-undang dan peraturan pelaksanaanya) mengenai zakat yang pro kemajuan ekonomi ummat. Setelah itu nantinya akan diikuti dengan sosialisasi secara intensif dan ekspansif, pengelolaan yang terstandar, keteladanan para ulama, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah, serta program-program pendayagunaan yang menyentuh secara masif kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin.

Wallahu ‘alam bishowwab

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun