Kira-kira apa yang anda rasakan jika harus memasuki lembaga pemasyarakatan (penjara)? Deg-degan? Stress? Takut? Kurang lebih seperti itulah perasaan saya ketika pertama kali tiba di Lapas Anak Wanita Tangerang (Sabtu, 4 September 2010). Seribu bayang-bayang sudah menghantui pikiran saya; wajah-wajah sangar, ucapan-ucapan kasar, penyambutan yang tidak ramah, bahkan perlakuan yang bisa saja mengancam nyawa.
Namun, bayangan-bayangan menakutkan itu segera hilang ketika masuk ke dalam lapas. Bangunan yang terkesan kuno itu lebih mirip sekolah dengan sebuah kebun besar bertanamkan bunga-bunga dan buah-buahan di tengahnya. Apalagi, ketika melihat para penghuni datang berbondong-bondong ke ruang pertemuan untuk sholat ashar berjamaah.
“Assalammualaikum, kak. Ada yang bisa saya bantu bawain, gak?” tanya mereka kepada saya dan teman-teman (yang datang untuk mengadakan acara buka puasa bersama). Bahkan, perlakuan mereka kepada orang asing lebih ramah dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menyandang embel-embel ‘NARAPIDANA’!
Saya pun menjadi semakin penasaran untuk berkenalan dengan mereka. Ternyata, banyak hal yang sudah menyebabkan teman-teman baru saya itu akhirnya menjadi penghuni lapas; mulai dari sebotol minuman ringan curian, sekoper shabu, sampai pembunuhan berencana. Mereka pun tidak punya pilihan selain menerima vonis untuk menghuni lapas; bisa beberapa bulan atau bahkan seumur hidup.
Kebebasan mereka mendadak hilang. Semua menjadi penuh aturan, mulai dari jam untuk tidur dan makan, waktu untuk keluar masuk sel, hingga warna pakaian yang hanya terdiri dari warna merah, kuning, dan merah muda. Dan konsekuensi terberatnya adalah terpisah dari orang tua, suami, anak-anak, dan kerabat. Tidak jarang keterpisahan ini membuat mereka tertekan.
“Saya suka nangis sendiri kalau ingat Mama, Kak,” kisah seorang gadis 16 tahun yang divonis 2 tahun 6 bulan penjara setelah tertangkap tangan sedang menjaga gudang penyimpanan shabu milik bosnya di Bogor. Bagaimana tidak? Selama satu setengah tahun menghuni lapas tidak ada satu pun keluarga yang mengunjunginya.
Kebebasan pun sementara hanya bisa mereka angan-angankan. Namun, keterpenjaraan itu tidak serta merta membuat mereka merasa putus asa. Ada semangat yang terpancar dari wajah mereka. Bukan hanya karena ketrampilan-ketrampilan yang mereka dapat di dalam lapas, tetapi lebih dari itu; semangat untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah. Setiap hari selalu ada kajian keislaman yang mereka dapatkan.
“Iya, kan nama lainnya Pondok Pesantren An-Nisa, Kak,” celetuk seorang gadis berusia 15 tahun yang harus kembali menghuni Lapas untuk kedua kalinya.
Di balik keterpenjaraan, mereka justru memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengenal Allah. “Makanya saya bersyukur karena Allah justru ngasih apa yang nggak saya dapat waktu hidup di luar dulu,” ucap seorang ibu 2 anak yang divonis 10 tahun penjara karena sebuah kasus yang tidak ingin diceritakannya pada saya. Bayangkan! Bahkan, hidup sebagai tahanan pun masih bisa membuatnya bersyukur!
Lalu, bagaimana dengan kita yang sampai sekarang masih bisa menghirup udara bebas?
Setiap hari kita bisa makan, minum, dan tidur semaunya. Kita pun bisa berkarya dan bekerja dengan bebas serta mengenakan pakaian berwarna dan bermodel apapun tanpa ada yang mengatur. Selain itu kita juga bisa melenggang bebas keluar dan masuk rumah sesukanya tanpa harus takut dianggap sebagai ‘BURONAN’. Adakah kita bersyukur?
Kita pun memiliki kebebasan untuk mengunjungi ibu, bapak, istri, suami, anak, adik, dan kakak kapanpun tanpa harus mendapatkan pengawalan dari sipir lapas. Namun, tidak jarang kita mengabaikan perhatian dari keluarga dan menganggapnya sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Sudahkah kita mengucap Alhamdulillah atas kasih sayang mereka? Sudahkah kita memberi kecupan terima kasih kepada suami atau istri hari ini? Pernahkah kita memeluk dengan hangat anak-anak ataupun adik-kakak kita? Atau jangan-jangan kita mencium tangan Bapak-Ibu hanya sekali dalam setahun ketika meminta maaf saat Lebaran?
Segala hal bisa kita nikmati dalam kebebasan ini. Namun, tidak jarang justru kebebasan itu yang membuat kita seolah tidak memiliki waktu untuk mengenal Allah dan mensyukuri anugerahNya. Jika mau berkaca dari teman-teman baru saya—para penghuni lapas, seharusnya kitalah yang paling wajib untuk bersyukur dengan sederet nikmat kebebasan! Mungkin rasa syukur itu juga yang membuat teman-teman saya lebih menikmati hidupnya yang terpenjara daripada kebanyakan orang-orang bebas seperti kita (karena sebagaimana firman Allah dalam Q.S Ibrahim ayat 7 bahwa “Allah akan menambah kenikmatanNya bagi orang yang bersyukur”).
Jadi tunggu apalagi? Jangan sampai ucapan syukur itu baru akan kita ucapkan ketika ruh sudah sampai ke tenggorokan. Naudzubillah min zalik.
Sekalipun ramadhan sudah berlalu, InsyaAllah masih banyak anugerah Allah yang bisa kita syukuri di 11 bulan ke depan. Semoga semakin hari kita bisa menjadi umat semakin pandai mensyukuri nikmat, ujian, karunia, anugerah, cobaan, musibah, atau apapun yang diberikan Allah kepada kita.
Taqaballahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1431 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Wassalam,
Reno PB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H