Mohon tunggu...
ren Muhammad
ren Muhammad Mohon Tunggu... -

heart peacemaker editor in @NouraBooks (Mizan Group); author; writer; ceo @khatulistiwamda; president & editor-in-chief @SquadPost; lovers of beauty and life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sukarno: Pahlawan Islam Asia-Afrika

14 Juni 2016   14:41 Diperbarui: 14 Juni 2016   14:51 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

JARUM waktu telah menunjuk pada angka 09.45 WIB. Hari itu, 71 tahun silam, Jumat jatuh ada 9 Ramadhan. Sukarno-Hatta telah berdiri gagah di hadapan para pejuang revolusi demi mengumandangkan Proklamasi. Itulah penanda sejarah kelahiran bayi Indonesia di kancah dunia internasional. Pekik merdeka dari segenap hadirin, seketika meruak ke seantero negeri—bahkan menjalar hingga ke penjuru dunia! Era Nusantara baru saja dipungkasi. Sukarno mencatatkan dirinya sebagai Manusia Indonesia Pertama. Hatta menjadi “saudara kandungnya.” Sebagai pemula, maka menjadi wajar belaka bila segala dari mereka adalah perpaduan kehormatan yang disalahartikan. Semua masih serba awal, baru, dan butuh penamaan.

Lima belas tahun berselang, seorang lelaki tampan paruh baya, necis, berkacamata, berpeci hitam, dengan setelan jas dan celana pantalon putih, lengkap dengan jam merk Rolex melingkar di pergelangan tangan kanannya, naik ke podium paling terhormat sedunia pada Jumat, 30 September 1960. Sukarno tampil apik dan terpandang. Meski negara yang ia pimpin masih seumur jagung, Sukarno tahu cara menghormati diri sendiri. Ia paham bagaimana membuat kehormatan negara-bangsanya dihargai masyarakat internasioal. Di hadapan para pembesar negara-bangsa yang hadir di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Sidang Umum ke-XV itu, Sukarno menyampaikan pidato sepanjang 47 halaman, berjudul To Build the World Anew: Membangun Tatanan Dunia Baru.

Pidato itu sarat tenaga perlawanan. Perwakilan dari suara jutaan manusia tertindas dari negerinya, bangsa Asia, dan juga Afrika. Pidato yang tak berteletele dan langsung menusuk jantung peradaban manusia pada paragraf keempatnya. Mata para hadirin yang sebagian besar adalah presiden dari negara Eropa dan tentu Amerika, sontak kena colok oleh kobaran semangat yang ia gelorakan. Saat itu, bahkan hingga kini, belum pernah ada lagi singa podium yang sanggup memaksa para penentu dunia mendengar suaranya yang menggelegar, dan meminta mereka melaksanakan manifesto yang ia bacakan. Ia seolah mengejewantah jadi pemimpin tunggal dunia.

Lelaki sarat perbawa itu, yang usianya telah menginjak angka 59, masih perkasa dan bertaji baja. Lima tahun sebelumnya, Sukarno mengajak para pendiri negara di Asia-Afrika berkonferensi di Bandung, demi menciptakan wajah dunia yang lebih cerah tinimbang apa yang telah dibangun oleh imperialisme dan kolonialisme. Lalu di depan para kolonialis modern di PBB, ia mengaku jijik melihat tingkah polah bangsa kulit putih yang merasa mengungguli bangsa lain—terutama bangsanya, Indonesia.

Amerika, selaku negara pemenang Perang Dunia II, yang mengusung demokrasi, ia tusuk tepat di ulu hatinya. Presiden pemberani itu mengatakan bahwa nasionalisme yang digemakan Declaration of Independence, adalah kakek imperialisme, dan bapaknya kapitalisme. Sedang bagi bangsa Asia juga Afrika, nasionalisme telah memantik semangat pembebasan menuju kemerdekaan. Ia mengaku terilhami Lincoln, Lenin, Cromwell, Garibaldi, Mazzini. Namun tokoh yang dikaguminya adalah Sekao Toure, Nehru, Nasser, Norodom Sihanouk, Mao Tse Tung, dan Nikita Krushcev.

Sukarno menuding Amerika yang tak adil dengan menolak keanggotaan Tiongkok di PBB. Ia pun mempertanyakan Amerika yang terus meniup gelora Perang Dingin dengan Uni Soviet. Pada Jumat bersejarah itu, mata para pembesar Amerika dan Eropa terbeliak melihat seorang manusia Timur tampil begitu percaya diri. Lengkap dengan kecerdasan tutur dan rasio yang ia miliki.

Negara Indonesia yang baru 19 tahun ia pimpin, memang bukan negara Islam. Tapi pidatonya yang fenomenal itu, ia buka dengan (QS. al-Hujurat [49]: 13): "Hai, sekalian manusia, sesungguhnya aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsabangsa dan bersukusuku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah yang lebih takwa kepada-Ku."

Nukilan ayat al-Quran itulah modal utama terbesar baginya untuk menelanjangi kepongahan bangsa Barat. Usai membongkar kegalatan Declaration of Independence dan Manifesto Komunis yang gasal, Sukarno mengajukan tawaran menarik tentang adicita baru berkelas dunia, Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan Global, Musyawarah Mufakat, dan Keadilan Dunia.

Sepotong ayat al-Quran itu pula yang lantas membuat para raja negeri berasas Islam kebakaran jenggot. Setidaknya, sejak era modern dibingkai PBB dengan sekian pembakuan terorganisir, tak satu pun pemimpin Arab yang mengutip al-Quran dalam pidato mereka dan menggelorakannya dalam perjuangan melawan kolonialisme. Sukarno yang tak berdarah Arab itulah pemimpin pertama sebuah negara, yang cergas membacakan ayat al-Quran di forum internasional.

Seakan tak puas menguliti dunia Barat, Sukarno yang berbicara atas nama 92 juta rakyatnya, memungkasi pidato legendaris itu dengan kalimat yang bahkan hingga hari ini belum juga berani dilontarkan oleh para pemimpin Asia setelah kepulangannya ke Rumah Asal:

"Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal, kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun