Dibatalkannya sebuah perjanjian dengan cara sepihak merupakan peristiwa yang sering terjadi dalam dunia praktik bisnis di lapangan.
Meskipun pihak-pihak yang sebagai subjek telah membuat dan terikat dalam perjanjian yang sah sesuai syarat sahnya suatu perjanjian.
Namun, sebelum jangka waktu perjanjian berakhir, salah satu pihak dalam perjanjian tersebut kadangkala melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak saja.
Walaupun demikian, pintu masuk seperti apakah yang bisa dipakai oleh para pihak dalam mengajukan gugatannya? Apakah dalam bentuk Wanprestasi ataukah dalam bentuk Perbuatan Melawan Hukum?
Berdasarkan problematika hukum yang muncul dari pembatalan perjanjian secara sepihak, Mahkamah Agung (MA) sebagai tingkatan struktural peradilan tertinggi di Indonesia, sudah mempunyai pendapat yang konsisten.
MA berpendapat bahwa bilamana salah satu pihak yang telah mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, maka pihak yang telah membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum.
 Yurisprudensi: 1. Putusan MA RI No. 1051 K/Pdt/2014 2. Putusan MA RI No. 580 PK/Pdt/2015 3. Putusan MA RI No. 28 K/Pdt/2016Â
Sebagai contoh: Dalam putusan MA RI No. 1051 K/Pdt/2014 tersebut, MA berpendapat bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/ Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Putusan ini kemudian diperkuat pada putusan Peninjauan Kembali No. 580 PK/Pdt/2015.
Dalam pertimbangannya MA menegaskan bahwa penghentian perjanjian secara sepihak merupakan perbuatan melawan hukum.