Mohon tunggu...
Reno Maratur Munthe
Reno Maratur Munthe Mohon Tunggu... Penulis - Reno

Munthe Strategic and International Studies (MSIS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Eksistensi Buzzer Politik dan Reduksi Kekuatan Demokrasi Ditinjau dari Teori Kedaulatan Rakyat

8 November 2021   03:47 Diperbarui: 8 November 2021   05:32 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sejarah pemikiran tentang hukum dan politik, kita mengenal ajaran atau teori mengenai kedaulatan sebagai ide mengenai kekuasaan tertinggi, diantaranya kedulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, serta Kedaulatan hukum. Dalam praktik sejarahnya, kedaulatan Tuhan diwujudkan dalam peranan Raja yang mengambil keputusan atas nama Tuhan, ternyata Raja dalam beberapa bunga rampai sejarah terlena dengan kedaulatan tersebut, mengambil keputusan-keputusan telah jauh dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Raja menjadi zalim, the King can do wrong, kekuasaan Raja menjadi absolut. 

Dalam sejarah umat manusia absolutisme kekuasaan pernah terjadi, misalnya pada zaman Nabi Musa (13M), Raja Mesir Firaun, dikisahkan sangatlah angkuh, kejam dan mengaku bahwa dirinya merupakan "Tuhan". Semua rakyat takut dan tunduk, tidak ada yang berani melawan titahnya. Firaun tidak segan membunuh orang yang melawan perintahnya. Dalam cerita lain kekuasaan absolut terjadi di Eropa di bawah kekuasaan Raja Louis XIV yang juga berucap "La Etat C'est Moi!" (negara adalah saya). Kekuasaan raja tidak terbatasi oleh hukum. 

Alkisah seluruh absolutisme kekuasaan tersebut menjadi penyebab terjadinya perlawanan-perlawanan terhadapnya, dari cerita revolusi Perancis yang sebelumnya telebih dahulu terjadi dalam sejarah di Asia yaitu perlawanan rakyat bugis terhadap kezaliman penguasa diantaranya dengan cara meninggalkan daerahnya sesuai dengan filosofi yang dipegang yakni "Maradeka to-Wajo'e ade 'minapopuwang" yang artinya : "Rakyat Wajo itu merdeka hanya hukumlah yang dipertuan".

Hal ini juga kemudian menyulut gerakan rasionalisme yang mengkritisi gagasan kedaulatan Tuhan dan Raja (baca dalam hubungan konteks negara). Amarah rakyat terhadap kekuasaan yang absolut lalu bergeser menjadi kedaulatan rakyat. Rakyat yang dimaksud oleh Rousseau adalah kesatuan yang dibentuk individu-individu yang mempunyai kehendak, dan kehendak itu diperoleh dari individu-individu yang memiliki kehendak melalui perjanjian masyarakat yang oleh Rousseau disebut kehendak umum atau Volonte Generale. Gagasan Rousseau tersebut berangkat dari kesadaran individu-individu akan pentingnya pembelaan dan perlindungan diri pribadi yang kemudian mengikatkan diri untuk membentuk suatu entitas.

Kontrak sosial yang dikemukakan oleh Rousseau, mempunyai arti tersendiri bagi Dennis C. Muller, yang mengartikan bahwa konstitusi adalah bentuk konkret dari kontrak sosial, dimana warga negara bergabung dan menentukan serta mendefinisikan arti dari sebuah negara itu sendiri, bahkan warga negara sendiri yang menentukan isi kontrak yang akan dituangkan dalam konstitusi, yang mana isi kontrak tersebut mengatur tugas, kewajiban, dan hak tertentu dari masing-masing individu, penghargaan dan hukuman untuk mematuhi atau melanggar ketentuan kontrak tersebut.

Tidak berhenti sampai disitu, disamping ada kedaulatan rakyat muncul juga gagasan kedaulatan hukum yang bersanding saling melengkapi. Oleh karena demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun dengan baik bahkan mungkin menimbulkan anarki. Gagasan kedaulatan rakyat juga kemudian memantik munculnya paham mengenai konstitusionalisme mengenai pembatasan kekuasaan dan paham mengenai pentingnya perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang kemudian terkristal secara universal yang berangkat dari sejarah Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628), Bill of Rights (1689). Oleh karena pada dasarnya paham kedaulatan rakyat berbasis kepada penghormatan terhadap martabat manusia yang harus diperlakukan secara layak.

Dengan melihat bahwasanya instrumen teori kedaulatan rakyat yang telah dijabarkan oleh Rousseau adalah kesatuan yang dibentuk individu-individu yang mempunyai kehendak, dan kehendak itu diperoleh dari individu-individu yang memiliki kehendak melalui perjanjian masyarakat yang oleh Rousseau disebut kehendak umum atau Volonte Generale. Bila penulis menarik hal ini masuk ke dalam konteks pemilihan umum saat ini, pada dasarnya publik ingin berdaulat dalam penentuan siapa pemimpin yang akan menjadi pemimpin mereka. Tentunya melalui mekanisme pemilu yang terselenggara oleh penyelenggara pemilu dan sistem pemilu yang baik, maka akan menghasilkan pemenang terbaik yang tepat mengisi posisi yang dikontestasikan. Namun dengan kehadiran buzzer politik dalam pemilu yang bekerja di ranah media sosial seperti saat ini, melalui cara kerja yang menjatuhkan antar kandidat, menipu pemilih dengan menyebar citra yang tidak sebenarnya dari kandidat yang membayarnya, serta memanipulasi percakapan-percakapan yang mengundang publik untuk ikut terlibat namun ternyata hanya siasat yang sudah diolah dan dibuat guna maksud-maksud tertentu, membuat tindakan buzzer politik sangatlah mengganggu dan mengahcurkan daulat rakyat yang tadinya secara bersama-sama mengkehendaki untuk menghasilkan pemimpin yang mereka inginkan terbaik berdasarkan pandangan mereka, menjadi bukan kandidat tersebut yang keluar sebagai pemenang, namun kandidat yang didukung oleh si buzzer politik-lah yang menang.

Dennis C. Muller, yang mengartikan bahwa konstitusi adalah bentuk konkret dari kontrak sosial......., yang mana salah satunya menjunjung hak tertentu dari masing-masing individu, penghargaan dan hukuman untuk mematuhi atau melanggar ketentuan kontrak tersebut. Bila dikaitkan dengan kondisi pemilu di zaman modern saat ini yang "dihantui" oleh para buzzer politik, maka dapat dilihat betapa warga negara yang sepakat mengikatkan diri mereka kedalam kontrak sosial guna mencapai keinginan yang mereka cita-citakan, dimana diberikannya hukuman bagi pelanggar kontrak yang sudah dibuat. Tentunya kerja buzzer politik seperti menjatuhkan kandidat lawan, menimbulkan dan memantik informasi yang tidak benar, menghasut dan banyak lainnya, sudah dapat digolongkan sebagai sebuah tindakan menciderai demokrasi dan cita-cita yang dibuat oleh publik itu sendiri. Oleh sebab itu hukuman yang penulis anggap tidak hanya cukup pada sanksi sosial saja yang diberikan, namun juga perlu diberikannya sanksi tegas dalam pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan ataupun aturan pemilu yang secara rinci dan eksplisit mengatur terkait hukuman bagi buzzer politik. 

-RM. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun