Mohon tunggu...
Politik

Ambang Batasku

31 Agustus 2016   07:56 Diperbarui: 31 Agustus 2016   20:19 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak berbentuk artinya semu, semu artinya samar, samar berarti eyang semar, eyang semar berarti orang sembilan yang rela me’tujuhkan dirinya. Mungkin sepenggal kalimat di atas sangat merujuk kepada ilmu neologisme. Ilmu neologisme adalah ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka. Komunikasi Politik adalah salah satu disiplin ilmu  yang mendapatkan julukan ini.

Melihat lebih jauh apa itu Komunikasi Politik, saya akan menjelaskan tentang apa itu Komunikasi Politik dan apa saja yang ada di dalamnya. Menurut Miriam Budiardjo, Komunikasi Politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa, penggolongan kepentingan (interest agregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. Lalu menurut Reolofs dan Barin Lund, komunikasi politik adalah politik yang berbicara atau untuk menempatkan masal ini, lebih tepat nya aktivis politik (politisasi) berbicara.

Di dalam Komunikasi Politik terdapat beberapa unsur yang terkandung di dalamnya. Yang pertama, komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak, dan efek. Dalam artikel ini saya menitik beratkan kepada pesan politik. Menurut Graber (1984:138) memandang pesan komunikasi politik dalam perspektif yang sangat luas. Menurutnya, pesan komunikasi politik dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, struktur, dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan politik. Menurut Muhtadi (2008:11) pesan komunikasi politik itu adalah seluruh budaya politik yang berkembang di suatu negara. Menurut Kochajat Harun dan Sumarno (2006:12), isi pesan politik akan terdiri dari seperangkat norma yang mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan serta panduan dan nilai-nilai idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan serta melestarikan sistem nilai yang sedang berlangsung.

Satu bulan yang lalu saya mendapatkan sebuah berita dari media elektronik yang berisikan.

Desah-desuh Pemilu 2019 sudah mulai terasa di tahun yang ber-shio monyet, ya tahun 2016. Mulai banyak partai yang mengambil ancang-ancang untuk mengikuti pemilihan yang diadakan 5 tahun sekali ini. Strategi-strategi diluncurkan untuk menghadapi pemilu. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh partai NASDEM. 

Partai yang diketuai oleh Surya Paloh ini mencangkan kenaikan ambang batas partai yang dahulu 3,5% menjadi 7%. Seperti kata pepatah “setiap ada ancangan pasti ada yang mencela”, eh maksud saya... ya itulah. Partai NASDEM mengajukan ancangan bukan tanpa alasan, mereka menganggap 3,5% dapat dengan mudah dicapai oleh partai politik. Sehingga gedung nusantara mempunyai banyak kepentingan.

Setelah membaca berita di atas mungkin saya sudah terlalu jauh menghayal dan membayangkan isi berita tersebut. Sehingga lupa menjelaskan apa itu ambang batas 3,5%, apa itu 5%, apa itu 7% dan tetek bengek nya. Jadi begini, suara dalam pemilu yang harus dicapai oleh partai politik adalah 3,5%, dengan ketentuan ini partai politik yang tidak memperoleh suara sebanyak 3,5%, tak berhak mempunyai perwakilan di DPR.

 Dewan redaksi media Indonesia Elman Saragih juga ikut member pendapat terhadap kasus ini. Menurut Elman Saragih, dinaikkan nya ambang batas dari 3,5% menjadi 5-7% adalah hal positif. Point pertama yang diusut oleh Elman Saragih adalah Presiden lebih efektif dalam mengurus Senayan dalam urusan pengambilan keputusan, dengan sedikitnya partai yang ada di Senayan. Maka kepentingan yang ada di sana juga berkurang, dan mudah untuk mencapai satu tujuan. 

Kemudian seperti 2 sisi mata uang, hal negatif dari hal ini adalah ketidak adilan bagi partai baru. Bagi partai baru, ambang batas adalah momok bagi mereka, namun beliau mengatakan bahwa “Indonesia saat ini sudah melewati masa transisi, Indonesia sudah lebih dewasa dalam urusan partai, sekarang bagaimana partai baru dan partai lama mengambil perhatian masyarakat.”

Lalu dari uraian di atas, saya menemukan beberapa pertanyaan.

  • Indonesia adalah negara demokrasi, apakah nilai demokrasi dapat berkurang karena kenaikan ambang batas?
  • Apakah terdapat partai besar yang berkuasa secara otoriter?
  • Apakah kenaikan ambang batas dapat berpengaruh dengan jumlah tindak korupsi?

Berikut jawaban atas pertanyaan di atas :

  • Demokrasi yang ada di Indonesia akan terus berjalan tanpa adanya nilai-nilai yang hilang pada demokrasi itu sendiri. Perjuangan mereka dalam meraih suara 7% untuk masuk ke Senayan adalah bagian dari demokrasi yang terkandung. Jadi kenaikan ambang batas ini tidak sama sekali mengurangi nilai demokrasi.
  • Baik partai besar maupun partai kecil apabila menyodorkan sesuatu yang baik bagi rakyat, berpihak bagi rakyat, serta berdiri atas kepetingan rakyat. Maka tidak ada kekuasaan partai besar yang otoriter, karena apabila partai baru melakukan strategi di atas maka kemungkinan mereka maju ke Senayan sangat besar.
  • Korupsi terjadi karena adanya kepentingan partai, apabila kader bangsa yang di Senayan tujuannya adalah “mencari makan” maka setiap kesempatan dijadikan ladang untuk mencari makan. Namun sebaliknya, apabila kader yang diajukan adalah kader yang berkualitas dari berbagai aspek dan tujuannya hanya untuk mensejahterakan rakyat, maka akan jauh dari KKN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun